PEDAGANG  kaki lima bukan hal yang awam dijumpai pada berbagai kota di Indonesia. Jumlahnya kian hari semakin membengkak di tengah derasnya arus urbanisasi dan perkembangan sektor ekonomi di perkotaan.

Termasuk di Kota Denpasar, ibu kota Provinsi Bali ini, hampir di setiap ruas jalan dapat ditemukan pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan berbagai jenis produknya seperti makanan, minuman, pakaian, alat elektronik, kepingan cakram musik (CD), perabotan rumah tangga dan sebagainya.

Kehadiran PKL ini bagi konsumen mungkin akan sangat menguntungkan karena memudahkan dan mendekatkan mereka mendapatkan berbagai produk yang dibutuhkan.

Namun, di sisi lain juga berdampak pada kesemrawutan wajah Kota Denpasar karena tak jarang PKL menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan dan juga membuang sampah seenaknya hingga meluber ke jalanan.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Kota Denpasar Ida Bagus Rahoela berpandangan bahwa Denpasar sebagai destinasi wisata, bukan berarti tidak memerlukan PKL. “Namun keberadaannya mesti tertata dan senantiasa memperhatikan aspek kebersihan serta kesehatannya,” ujarnya di sela-sela berkunjung ke Yoyakarta belum lama ini bersama para awak media.

Sisi positif yang dapat diteladani dari Yogyakarta, di antaranya betapa terjalin sinergi antara satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang satu dengan yang lainnya, termasuk dalam menangani PKL.

“Di Yogyakarta, misalnya Dinas Kesehatan rutin mengecek makanan yang dijajakan PKL, selain Dinas Ketertiban juga mengawasi pelaksanaan regulasi terkait PKL yang ujung-ujungnya untuk memberikan kenyamanan pada pengunjung,” kata Rahoela.

Betapa deretan PKL di kawasan Jalan Malioboro, Yogyakarta, telah menjadi bukti keberhasilan penataan PKL di sana karena justru menjadi daya tarik wisata tersendiri yang membedakannya dengan daerah wisata lainnya di Indonesia.

“Wali Kota Denpasar sendiri tidak apriori terhadap masyarakat dari kelompok, suku, dan agama mana yang menjadi pedagang kaki lima. Asalkan mereka dapat memberikan pelayanan yang terbaik yakni memperhatikan sisi kebersihan, kesehatan, tertib dan ramah sehingga masyarakat Denpasar merasa nyaman ketika berbelanja,” ujarnya.

Hanya saja, Rahoela tidak memungkiri juga untuk memecahkan permasalahan PKL di Denpasar relatif lebih rumit dibandingkan dengan Yogyakarta, selain karena penduduk lebih heterogen, dipengaruhi pula faktor budaya. Intinya, kata dia, di Denpasar membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif.

“Di Yogyakarta budayanya masih sangat terkait dengan keraton dan sultan dan masyarakat sangat menghormati sistem nilai seperti itu sedangkan di Denpasar dengan penduduk yang sangat heterogen tidak jarang aspirasi datang dari masyarakat, bukan hanya dari pemimpin saja,” katanya.

Moratorium PKL Jumlah pedagang kaki lima (PKL) di Yogyakarta cukup banyak, untuk di kawasan Malioboro saja jumlahnya mencapai lebih dari 2.400 pedagang. Mereka sudah terbagi-bagi “jam operasinya”, ada yang mulai dari pagi hingga malam, dan dari malam hingga keesokan harinya.

Kepala Seksi Ketertiban, Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Rikardi Putro Mukti Wibisono mengatakan, selain di kawasan Malioboro masih banyak lagi ruas-ruas jalan di kota itu yang diperuntukkan bagi PKL. Ruas jalan yang boleh dijadikan tempat berjualan sudah diatur dalam Perda Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2010.

“Untuk pengeluaran izin PKL dikeluarkan melalui keputusan camat. Tetapi sejak 2010 sudah dibatasi (dimoratorium) pengeluaran izin PKL supaya Yogyakarta tidak disesaki dengan PKL,” katanya.

Izin yang diberikan bagi PKL tidak hanya mengatur zona, akan tetapi juga ditentukan waktu buka dan tutupnya. Untuk mendapatkan izin tersebut dari camat, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya alias gratis.

“Meskipun izin dikeluarkan oleh Camat, bukan berarti dia dapat mengeluarkan dengan seenaknya karena harus mengacu pada peraturan daerah dan regulasi lainnya yang terkait seperti perihal zona berdagang,” ucapnya.

Apabila PKL tidak memperhatikan kebersihan atau higienitas barang yang dijual, tambah dia, izin yang diberikan dapat dikaji ulang. Pun ketika PKL sudah bisa mengontrak tempat atau kios sendiri, maka izinnya tidak diperpanjang.

Di sisi lain, ketika ada hal-hal yang hendak dikoordinasikan Pemkot Yogyakarta kepada para pedagang kaki lima, pemerintah tidak harus menghubungi satu per satu pedagang, melainkan cukup kepada paguyuban masing-masing. “PKL di sini memiliki guyuban sehingga memudahkan kami untuk berkoordinasi,” kata Rikardo.

Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perda, termasuk juga soal PKL, Satuan Polisi Pamong Praja Pemkot Yogyakarta rata-rata melakukan operasi dua kali dalam sehari dan operasi gabungan hingga tiga kali dalam seminggu.

Secara total jumlah personel Satpol PP yang dikerahkan untuk melakukan pengawasan ada 198 orang yang dalam melaksanakan tugas dibagi menjadi tiga shift.

Ia menambahkan, tahun ini saja hingga pertengahan November sudah ditemukan total 936 pelanggaran, termasuk ada pelanggaran PKL juga. Dari jumlah pelanggaran itu, 637 di antaranya sudah disidangkan.

Keluhan Lewat UPIK Meskipun regulasi dan pengawasan lapangan di Yogyakarta sudah diatur sedemikian rupa dalam menata PKL, namun tidak bisa dipungkiri ada beberapa keluhan yang masih disampaikan masyarakat.

Pemkot Yogyakarta sendiri sudah membuat saluran khusus untuk menampung keluhan masyarakat yang dinamakan Unit Pelayanan Informasi Keluhan (UPIK).

“Jika ada PKL yang tidak tertib, masyarakat dapat menyampaikan keluhan lewat UPIK dengan mengirimkan pesan singkat (SMS) ke nomor 0812278001. UPIK ini sudah dibentuk sejak 2003,” kata Penatalaksana UPIK Kota Yogyakarta, Septirian Praditya.

Keluhan yang bisa disampaikan masyarakat lewat UPIK dapat bermacam-macam persoalan yang nantinya akan ditanggapi oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.

“SKPD mempunyai waktu 2 x 24 jam untuk menjawab atau menanggapi keluhan yang disampaikan masyarakat. Ke depannya direncanakan sebelum jawaban dari SKPD langsung ke masyarakat akan disampaikan dulu lewat humas,” ucap Septirian.

Berdasarkan evaluasi pihaknya, sejauh ini keberadaan UPIK cukup efektif untuk menjawab berbagai keluhan masyarakat.

Sementara itu terkait dengan berbagai terobosan yang sudah diambil Pemkot Yogyakarta yang telah menginspirasi, Kabag Humas dan Protokol Pemkot Denpasar Ida Bagus Rahoela mengatakan tidak kalah penting keterlibatan media massa untuk menginformasikan pada masyarakat.

“Harapan kami, media dapat menjadi agen penyadaran bagi masyarakat dan khususnya juga PKL untuk senantiasa taat terhadap regulasi yang ada. Masyarakat pun mestinya harus sadar pula menjaga kebersihan,” katanya. AN-MB