01_Makan Batu

“Makan Batu” Film Terbaik Denpasar Film Festival 2016

Denpasar (Metrobali.com)-

Tingginya peradaban sebuah kota dapat dilihat dari banyaknya ruang-ruang berkesenian (art space) dan beragamnya ekspresi masyarakat dalam berbagai bentuk di kota tersebut.  Pemerintah sebagai pemegang mandate untuk mengawal kehidupan bersama seyogyanya berupaya menumbuhkan dan menyokong keberadaan ruang-ruang seni (kreatif) serta prakarsa masyarakat untuk membangun kondisi kondusif untuk lahirnya karya-karya kreatif yang bermutu. Demikian tersirat dalam pidato Walikota Denpasar, IB Rai Dharmawijaya Mantra pada malam Penganugerahan Denpasar Film Festival (DFF) 2016 di Istana Taman Jepun, Denpasar, Minggu (21/8/2016). Karena itulah, menurut Rai Mantra, pihaknya menyokong penuh penyelenggaraan DFF yang pada tahun ini telah menginjak usia ketujuh.

“Saya ingin Denpasar menjadi kota yang kondusif  bagi berkembangnya berbagai ekspresi kreatif di mana itu nanti akan menjadi bekal masyarakatnya untuk mewujudkan kesejahteraannya,” ujar Rai Mantra di hadapan hadirin yang terdiri dari para Dewan Juri, birokrat di bidang kebudayaan, serta para pembuat dan penggemar film dokumenter dari berbagai daerah di Bali.

Salah satu upaya untuk menguatkan perfilman Nasional adalah dengan cara menumbuhkan dan menguatkan komunitas-komunitas perfilman di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mendukung setiap langkah dari masyarakat dan pemerintah daerah yang berupaya untuk memajukan perfilman di wilayahnya. Demikian Maman Wijaya, Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pada malam Penganugerahan Denpasar Film Festival (DFF) 2016 di Istana Taman Jepun, Denpasar, Minggu (21/8/2016). Karena itu pihaknya memberi apresasi yang sangat  tinggi pada pemerintah dan masyarakat film di Kota Denpasar yang mampu menjalin komunikasi dan sinergi yang baik dalam perfilman yang memungkinkan lahirnya para pembuat film dengan kemampuan teknis dan produktivitas yang tinggi.

“Ini hal baik yang harus terus dikembangkan untuk kemajuan perfilman Indonesia,” ujar Maman Wijaya .

Makan Batu, film dokumenter karya Ririen Dwi Lestari (Jakarta) yang mengisahkan perjuangan para ibu di Gunung Kendeng, Jawa Tengah, yang berjuang mempertahankan desa dan kawasan pertanian mereka yang terdesak pembangunan pabrik semen, dinobatkan sebagai Film Terbaik Denpasar Film Festival 2016 yang digelar

Film ini menyisihkan empat nominee lainnya yakni Love Behind Bars (Sigit Purwono – Denpasar), Sikola Baruak  (Gery Arsuma – Padang), Silent Blues of The Ocean  (Arfan Sabran & Andi F. Azzahra – Makassar), Tledhek  (Vicky Hendri Kurniawan – Banyuwangi). Atas kemenangan itu Makan Batu berhak memboyong trofi DFF dan hadiah uang tunai sebesar Rp20 juta.

Selain film terbaik, tahun ini Dewan Juri yang terdiri dari Slamet Rahardjo Djarot, Rio Helmi, Dr. Lawrence Blair, I Wayan Juniartha, Bre Redana, dan Prof. I Made Bandem memberi dua penghargaan khusus kepada film Silent Blues of The Ocean atas capaian sinematografinya dan Tledhek  untuk kemampuan bertuturnya. Kedua peraih penghargaan khusus ini memperoleh hadiah uang tunai masing-masing sebesar Rp5,5juta.

Pada Katergori Pelajar,  film  Penting  karya Ni Komang Ary Dharmayanti (SMK PGRI 1 Amlapura) tampil  sebagai Juara I, disusul Pemuek karya Ni Kadek Sriani  (SMAN 1 Susut, Bangli)  sebagai Juara II dan PDAM Leak  karya Gung Mayun  (SMAN 1 Semarapura )  sebagai Juara III.

Lomba film dokumenter merupakan program utama DFF. Program lainnya dalam festival yang sudah menginjak tahun ketujuh ini adalah pelatihan, pendampingan produksi,  pameran esai foto, diskusi, pemutaran film, dan lomba resensi film.

“Intinya adalah edukasi, apresiasi, dan kompetisi”, papar Agung Bawantara, Direktur DFF.

Pada 2016 ini, rangkaian program DFF diawali dengan Pelatihan Produksi Film Dokumenter yang diselenggarakan pada 15-19 Maret dengan instruktur Tonny Trimarsanto. Tonny adalah seorang pembuat film dokumenter yang telah memenangi sedikitnya lima penghargaan internasional di bidang ini. Meski materi yang disampaikan sama, kali ini penyelenggara menerapkan pendekatan baru yakni dengan metode perkemahan (camp) mengambil tempat di tepian Danau Buyan, Tabanan.

Peserta pelatihan adalah para pelajar SMP dan SMA di Kota Denpasar yang dipilih melalui seleksi. Keduanya mendapat jatah masing-masing lima kelompok. Jadi akan ada lima kelompok untuk SMP dan lima kelompok untuk SMA sehingga total peserta maskimal hanya 20-30 orang saja. Jumlah tersebut menurut Agung  ditetapkan dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan utama adalah agar intensitas komunikasi antara instruktur dan peserta pelatihan terjalin baik.

Dalam perkemahan tersebut, selain teori, peserta juga mendapat kesempatan praktek lapangan didampingi tenaga khusus yang disediakan penyelenggara. Pada akhir pelatihan semua kelompok peserta diwajibkan menyerahkan karya dokumenter berdurasi dua hingga empat menit yang mereka buat selama pelatihan. Di sela-sela kegiatan itu, setiap waktu senggang diisi dengan pemutaran film dan diskusi sehingga peserta mendapat banyak gambaran atau contoh kasus mengenai cara pembuatan yang salah atau sebaliknya.

“Dengan demikian ilmu yang mereka dapat akan lebih melekat dalam ingatan peserta,” jelas Agung.

Seusai pelatihan, imbuh Agung, peserta diwajibkan membuat produksi film dokumenter tentang Kota Denpasar sebagaimana yang mereka ajukan pada saat seleksi awal. Untuk produksi tersebut masing-masing kelompok mendapat dana stimulant dalam jumlah tertentu.

Project 88

Berdasar pengalaman tujuh tahun festival ini di mana di dalamnya selalu terdapat program pelatihan, DFF menemukan fakta bahwa salah satu hal krusial pada produksi film dokumenter di kalangan pemula adalah kemampuan menuturkan gagasan secara baik. Minimnya kesempatan berlatih karena berbagai kendala merupakan salah satu penyebab hal itu. Dari situ muncul gagasan menghadirkan pameran foto esai bertajuk “Project 88”. Konsep dasarnya adalah bagaimana menyajikan esai mengenai satu isu  melalui teks (narasi) sejumlah delapan alenia dan foto sejumlah delapan frame.  Bagi pemula, konsep ini boleh dikata merupakan tahapan langkah yang lebih mudah menuju produksi film dokumenter.  Bagi profesional, konsep ini merupakan alternatif bertutur yanng memberi ruang yang seimbang antara gambar dan narasi (teks).

 Lomba Resensi

Menyadari bahwa pergulatan seni dan kreativitas tak akan mengalami kemajuan  yang sehat tanpa kehadiran kritik yang sehat, maka DFF pun menyelenggarakan pelatihan dan lomba resensi film.  Pelatihan di isi oleh Bre Redana, wartawan senior Harian Kompas yang sekaligus mengepalai penjurian lomba resensi ini.

Diskusi Jaringan Festival Film

Menyelenggarakan festival film, apalagi di daerah, tentu saja mengalamani banyak tantangan. DFF berinisiatif untuk menjalin kerjasama dengan beberapa festival, yakni Malang Film Festival, Festival Film Surabaya, SODOC film festival (Solo) dan Festival Film Dokumenter (Yogya). DFF kemudian merealisasikan jalinan kerjasama ini dengan mengadakan diskusi jaringan festival film pada tgl 18 Agustus sebagai salah satu mata acara, yang dihadiri oleh Malang Film Festival (MaFiFest) dan Festival Film Surabaya (FFS). RED-MB