KERIS yang awalnya berfungsi sebagai senjata tikam, kini di Bali mempunyai banyak fungsi dalam kegiatan ritual dan seni budaya.

Kekhasan keris pusaka yang kini banyak dikoleksi para pencintanya maupun sebagai warisan menyangkut penampilan, fungsi, teknik garapan dan peristilahan.

Dari segi bentuk, keris mempunyai kekhasan yang mudah dibedakan dengan senjata tajam lainnya, karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, bahkan sering kali bilahnya berliku-liku.

Keris umumnya memiliki pamor yakni guratan-guratan logam cerah pada helai bilah, yang kini pengunaannya lebih menekankan pada benda aksesori dalam berbusana, simbul budaya atau benda koleksi karena nilai esterikanya.

Bahkan keris menjadi unsur penting dalam pementasan kesenian Bali, tutur Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia dalam Sarasehan Keris menyambut Hari Tumpek Landep, ritual persembahan khusus untuk kris pusaka yang dirayakan umat Hindu Sabtu (24/8).

Seniman serba bisa kelahiran Singapadu, Gianyar, 12 April 1948 atau 65 tahun silam itu menjelaskan, dalam drama tari arja, salah satu kesenian tradisional Bali, terdapat sejumlah lakon yang melibatkan keris pusaka sebagai kelengkapannya.

Dalam lakon Linggar Petak, sebuah lakon yang dikisahkan di bumi Den Bukit (Buleleng) misalnya dikisahkan I Langgar Petak, abdi kesayangan raja menghadap sang raja sambil menangis setelah mimpi kehilangan keris pusaka pemberian raja.

Demikian pula kisah mengenai keris pusaka yang memiliki kekuatan pelindung atau meningkatkan kekebalan sudah tidak asing lagi dalam cerita kesenian Bali tradisional.

Dalam kisah Jayaprana Layonsari misalnya diceritakan Patih Sawunggaling, algojo prabu Kalianget, Buleleng gagal membunuh Jayaprana di Teluk Terima, Bali barat, meskipun telah berkali-kali menikan dada I Jayaprana.

Keris andalan Sawunggaling tidak berhasil melukai kulit sang abdi raja keseyangan Prabu Kalianget dan akhirnya I Jayaprana menyerahkan keris miliknya kepada sang patih untuk mencabut nyawanya.

Dengan menggunakan keris tersebut barulah sang patih berhasil melaksanakan tugasnya untuk membunuh I Jayaprana. Dalam kisah itu terlihat bagaimana kekuatan sebuah keris pusaka (Pasikepan) patih Sawunggaling dilumpuhkan oleh kekuatan keris pusaka (gagemet) yang dikenakan oleh I Jaya Prana.

Prof Wayan Dibia, mantan Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang kini berubah status menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu menambahkan, demikian pula dalam dua perang puputan melawan penjajah Belanda hanya bersenjatkan keris pusaka.

Gagah berani Dalam perang Puputan Badung dan Kusamba (Klungkung) melawan penjajah dikisahkan para raja di Bali dengan gagah berani maju ke medan laga dengan bersenjatakan keris pusaka.

Keris-keris tersebut telah membuat mereka bagaikan kehilangan rasa takut menghadapi senjata dan meriam pasukan tentara Belanda. Dua keris pusaka Puri Klungkung yang diberi nama I Tanda Langlang dan Ki Lobar yang digunakan oleh Ida Dewa Agung Istri Kania dalam dalam perang Kusamba.

Demikian pula keris pusaka yang digunakan oleh Raja Badung dalam perang berdarah Puputan Badung adalah keris yang diberi nama Sri Jalak Kadingding dan I Singapraja.

Keduanya menunjukkan keris pusaka yang digunakan sebagai senjata karena diyakni memiliki kekuatan penghancur sekaligus pelindung.

Prof Dibia yang sukses puluhan kali memimpin tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara itu dalam cerita patopengan juga diungkapkan keris Ki Ganja Dungkul, keris pusaka Kerajaan Majapahit yang digunakan oleh Dalem Kresna Kepakisan diyakini sebagai senjata yang memiliki kekuatan meredakan amarah atau kebencian orang banyak.

Seperti yang sering dikisahkan dalam suatu pementasan pada awalnya orang-orang (wong-wong) Bali Aga memberontak untuk menyatakan penolakannya terhadap Dalem Kresna Kepakisan.

Pemberontakan orang Bali asli itu hampir saja membuat Dalem Kresna Kepakisan kembali ke Jawa, namun setelah mahapatih Gajah Mada mengirimkan satu perangkat busana keagungan, termasuk sebuah keris pusaka (Ki Ganja Dungkul) kepada Dalem Bali, akhirnya para pemberontak bisa berbalik diri hingga akhirnya menerima kehadiran Dalem Kresna Kepakisan sebagai Raja Bali.

Banyak tempat di Bali hingga sekarang di rumah pribadi maupun pura mewarisi keris-keris “Sungsungan” yang diyakini memiliki kekuatan pengobatan. Ketika ada warga masyarakat yang datang ke tempat itu memohon obat, pemangku, pemimpin upacara ritual akan memasukkan ujung keris pusaka ke dalam air suci yang telah disiapkan yang kemudian diminumkan kepada orang yang sakit tersebut.

Adapula yang mengoleskan minyak kelapa ke anak keris dan misak bekas olesan keris itu kemudian dijadikan bahan ramuan obat. Meskipun hal semacam itu sulit untuk diterima oleh akal sehat, namun kenyataannya banyak orang yang berhasil sembuh dari air maupun minyak keris pusaka tersebut.

Demikian pula banyak orang yang percaya bahwa memiliki atau memakai keris pusaka bisa terhindar dari berbagai marabahaya. Dengan kekuatan perlindungan sebuah keris dapat mengalihkan, bahkan mengubah sifat serangan dari yang negatif menjadi positif.

Dengan kekuatan seperti itu keris pusaka diyakni dapat meningkatkan daya kekebalan, kesaksian atau kharisma seseorang. Atas dasar keyakinan seperti itu banyak warga masyarakat yang melakukan perburuan keris yang “metaksu”.

Oleh sebab itu bertepatan dengan Hari Tumpek Landep, Sabtu (24/8) yang jatuh setiap 210 hari sekali, umat Hindu menggelar kegiatan ritual yang khusus ditujukan untuk keris pusaka, ujar tutur Prof Dibia. AN-MB