Jakarta (Metrobali.com)-

Tak lama lagi, tahun 2012 akan kita tinggalkan. Hanya dengan hitungan hari saja, tahun 2012 akan kita lewati. Tapi situasi hukum di negara Indonesia tak banyak berubah. Ketua umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Humphrey Djemat menilai, penegakan hukum sepanjang tahun 2012 masih berpusat pada kaum sandal jepit belaka. Ukurannya, sambung Humphrey, bisa dilihat dari proses pemberantasan korupsi yang terjadi, pemberantasan mafia hukum termasuk di kalangan para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, pemberantasan narkoba, pelaksanaan HAM dan prinsip-prinsip kehidupan pluralisme dijalankan, dan juga tak kalah pentingnya rasa keadilan masyarakat. Dari sejumlah proses itu, hukum masih kerap dikebiri. “Hukum belum benar-benar sudah dijadikan panglima tanpa intervensi kekuasaan dan ibarat pisau menjadi tajam ke atas dan ke bawah,” tegas Humphrey Djemat di Jakarta.

Humphrey menuturkan, sejumlah kasus yang selama ini mengendap, mulai dari kasus Bank Century, korupsi di Badan Anggaran DPR, korupsi Hambalang, perpajakan dan kasus-kasus yang melibatkan mafia narkoba justru masih marak terjadi dan terkesna mandeg. “Kasus-kasus seperti simulator SIM, kasus hakim agung Achmad Yamanie, dan kasus-kasus lainnya yang menunjukkan bahwa penegakan hukum masih belum menjadi panglima, masih tumpul ke atas tajam ke bawah. Artinya masih ada perlakuan diskriminatif dalam penegakan hukum,” papar Humphrey lagi.

Karena itu, Humphrey menuturkan lagi, di tahun 2013, kasus Century harus dituntaskan. Kasus Century jangan berhenti pada dua pejabat Bank Indonesia yang dijadikan terpidana. “Harus ada pemeriksaan lebih lanjut bila memang ada keterlibatan pembiaran oleh Gubernur BI saat itu yakni yang kini menjabat Wakil Presiden, Boediono. Karena itu KPK tidak boleh ragu menjadikan Boediono sebagai tersangka sesuai dengan azas equality before of the law. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, siapapun dia dan apapun jabatannya,” tandas Humphrey, yang juga Chairman kantor advokat kesohor, Gani Djemat & Partners itu lagi.

Selain itu, Humphrey berujar bahwa kasus Hambalang harus dituntaskan dan tidak hanya berhenti pada Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng. “Tapi kepada seluruh pihak yang terlibat, walaupun menyasar hingga ke Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan sejumlah pihak lainnya yang benar-benar terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, baik itu pejabat di Badan Pertanahan Nasional dan lainnya,” tegasnya. Mereka harus diadili di pengadilan, agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum atas kasus itu.

Begitu juga, sambung Humphrey, dengan kasus korupsi di Badan Anggaran DPR harus terus dikembangkan sebagaimana yang telah dikembangkan kepada mantan anggota DPR, La Ode. Dan juga kasus Simulator SIM Polri mesti terus dikejar sampai ke tingkat pejabat tinggi Polri yang terlibat dan jika terbukti menerima uang haram tersebut seperti Kapolri Timur Pradopo, wakapolri dan jajaran Deputi lainnya. “Tentunya dengan dasar pembuktian yang kuat yang diperoleh dari hasil proses hukum yang berjalan saat ini dan ke depannya,” tukas Humphrey lagi.

Humphrey mengatakan, kasus-kasus tersebut merupakan kotak pandora yang sudah terbuka, jadi harus dituntaskan agar masyarakat bisa menilai bahwa penegakan hukum memang benar-benar tajam ke atas tidak hanya tajam ke bawah. “Di samping itu juga akhirnya tidak ada tersisa sedikitpun kecurigaan dari masyarakat bahwa penegak hukum khususnya KPK masih tebang pilih dalam penanganan kasus korupsinya,” papar Humphrey lagi.

Selain itu, dalam pandangan Humphrey lagi, di Tahun 2013 mendatang, yang terpenting juga adalah sinerginya para penegak hukum seperti KPK, polisi dan jaksa dengan membuat visi dan strategi yang saling mendukung dalam penegakan hukum khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Oleh karena itu diperlukan komunikasi dan koordinasi yang baik diantara penegak hukum, jangan sampai kejadian KPK vs Polri di tahun 2012 terjadi lagi termasuk juga dengan pihak kejaksaan seperti era Antasari Azhar (walaupun di permukaan tidak sehebat perseteruan KPK vs Polri).

“Untuk itu diperlukan penegak hukum yang berintegritas dan berkomitment tinggi untuk melakukan penegakan hukum khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya polisi, jaksa dan hakimnya harus benar-benar bersih terutama pimpinannya. Jangan sampai kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi,” tutur Humphrey menjabarkan. Karena penegak hukum yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang didambakan ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang bersih.

Tahun 2013, SBY Harus Ganti Jaksa Agung dan Kapolri

Karena itulah Humphrey menegaskan, sangat diperkukan Jaksa Agung dan Kapolri yang berani bertindak dan bukan tipe safety player atau berkarakter membela korpsnya “escript of corps”. “Sebagaimana yang pernah diungkapkan seorang pejabat tinggi Kejagung yang bertanggungjawab untuk pengawasan, bahwa Jakasa Agung tidak mengijinkan untuk memeriksa setingkat Direktur yang melakukan pelanggaran padahal pelanggarannya sudah kasat mata alias terang benderang atau bukti-buktinya sudah kuat sekali,” tegas Humphrey lagi.

Bayangkan saja, sambung Humphrey, bila setingkat direktur saja tidak mau ditindak apalagi untuk eselon satu seperti Jaksa Agung Muda (JAM). Padahal kalau dilakukan penindakan, maka efek jeranya akan terlihat sekali di tubuh institusi kejaksaan. Iklim seperti inilah yang menghambat reformasi di kalangan penegak hukum di Indonesia. Demikian pula hal yang sama terjadi di lingkungan Polri.

Hal ini bisa dilihat kala Polri mau membela mati-matian untuk mengambil alih kasus Simulator SIM dengan berbagai alasan, yang sebenarnya menjadi bahan tertawaan masyarakat, karena sudah terang sekali bahwa KPK yang lebih duluan penyidikannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, KPK-lah yang berhak menangani proses hukumnya.

Konkretnya, Humphrey memaparkan lagi, bila Presiden SBY ingin benar-benar membuat penegakan hukum di tahun 2013 berjalan sesuai dengan harapan semua pihak, harusnya jaksa agung dan Kapolrinya diganti dan dipilih dengan seseorang yang benar-benar memiliki integritas dan keberanian baik ke dalam institusinya maupun keluar. Diperlukan Jaksa Agung dan Kapolri baru yang tidak tersandera oleh masa lalunya atau permainannya sehingga “kartunya” dipegang oleh anak buahnya. Ini menyebabkan sulit bertindak tegas apalagi menindak anak buahnya apalagi kalau sudah berani menerima setoran atau upeti dari bawahannya.

Dalam pandangan Humphrey, di tahun 2013 diharapkan semua pihak untuk adanya perbaikan di korps baju hitam alias hakim haruslah menjadi kenyataan. “Hukuman pemecatan secara tidak hormat kepada Hakim agung Achmad Yamanie yang baru pertama kali dalam sejarah MA harus dijadikan momentum untuk bersih-bersih di kalangan para hakim khususnya hakim agung di MA,” tandas sosok yang berhasil membawa AAI meraih REKOR MURI dalam membela TKI ini.

Momentum Perbaikan Mahkamah Agung

Selain itu, Humphrey menuturkan bahwa kini masyarakat sudah paham sekali bahwa perbuatan tercela yang dilakoni oleh hakim seperti Achmad Yamanie itu, bukanlah baru pertama kali dilakukannya dan bukan hanya dia sendiri yang melakukan perbuatan tercela tersebut.

“Bahkan ada yang mengatakan hanya 10 persen hakim agung yang baik dan bersih. Bayangkan saja!!” tegasnya.  Jadi, sambungnya lagi, perlu keberanian yang luar biasa bagi Ketua MA untuk membersihkan institusinya. Benar sekali dikatakan ibarat ikan busuk pertama kali adalah kepalanya, jadi MA dululah yang bersih-bersih baru dianggap berwibawa dan bertindak ke bawahnya. Pengadilan selalu dianggap benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran hukum bagi pencari keadilan. Bayangkan kalau benteng terakhir tersebut sudah terkena virus mafia hukum, maka hancurlah benteng keadilan itu. Dimana lagi kekuatan kita sebagai negara hukum.

Perlu Pengawasan Buat Advokat

Tahun 2013, Humphrey memaparkan lagi,  para advokat yang mempunyai peranan di semua lini proses hukum, sejak saat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan bahkan sampai tingkat penahanan di lembaga pemasyarakatan, harus benar-benar bisa menunjukkan karakter officium nobile-nya sebagai profesi yang mulia dan bermartabat sebagaimana jelas di nyatakan dalam UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat.

“Malah dalam UU tersebut advokat dinyatakan sebagai penegak hukum. Penegak hukum artinya advokat itu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan dalam membela kasus kliennya. Tentunya advokat tidak menghalalkan segala cara apalagi menyuap polisi, jaksa dan hakim agar membebaskan kliennya. Disinilah peranan organisasi advokat sangat besar sekali,” tegas Humphrey lagi.  Karena itulah, sambung Humphrey lagi, kode etik harus diterapkan dengan tegas karena yang paling ditakuti oleh para advokat di seluruh dunia adalah di skorsing atau dicabut ijin prakteknya.

“Sebaiknya komisi pengawasan sebagaimana diamanatkan oleh UU Advokat, segera dibentuk dan dijalankan untuk melaksanakan tugasnya, dan bekerjasama dengan Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Kompolnas,” tukas Humphrey.

Kerjasama tersebut dapat juga dengan Jamwas untuk Institusi Kejaksaan, propam Polri, hakim pengawas di MA. Adanya berbagai kerjasama tersebut akan membuat komunikasi dan koordinasi dalam pembersihan di antara para penegak hukum bisa berjalan lebih baik. Namun yang terpenting terlihat adanya komitment tinggi menjadi sapu bersih diantara para penegak hukum, tak terkecuali para advokat yang selama ini dikenal sebagai “maju tak gentar membela yang bayar”. Kritikan yang tajam saat ini bahwa para advokat hanya mau membela yang bayar atau  menjadi pembela para koruptor telah dijawab oleh AAI dengan karya nyata yaitu berperan sebagai Satgas TKI dan memberikan bantuan hukum terhadap para TKI bermasalah sehingga akhirnya mendapatkan penganugerahan Rekor MURI.

“Hal ini sesuai dengan tekad AAI untuk membangkitkan lagi semangat advokat pejuang di Indonesia, yang kini sudah mulai dilupakan,” tandas Humphrey. RED-MB