workshop film 1

Denpasar (Metrobali.com)-

Memasuki abad 21 beragam perubahan secara mekanis dan manual menjadi digital dan numerik merupakan bagian yang cukup menarik bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban teknologi global. Salah satu perubahan yang cukup signifikan memengaruhi tata sikap dan perilaku serta pola pikir dalam perfilman nasional. Proses revolusioner dalam industri perfilman nasional inilah yang kemudian pembahasan yang menarik dalam paradigma masyarakat kekinian.

 Nah, untuk mengetahui perubahan itulah Direktorat Pengembangan Perfilman, Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggelar workshop perfilman nasional di Hotel Aston, Denpasar, Senin (3/2) dan Selasa (4/2). Puluhan sinaes muda Bali pun mengikuti workshop perfilman nasional yang mengusung tema “Peningkatan Sumber Daya Produksi dan Teknologi Perfilman tersebut. Hadir sebagai pembicara di antaranya Tino Saroengallo (penulis, produser, sutradara) dan Tonny Trimarsanto (produser, sutradara), Aline Jusria (editor, sutradara), dan Roy Lolang (director of photography) .

 Workshop perfilman nasional ini memadukan antara teori dan praktek secara langsung. Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan para sinaes muda Bali dalam membuat film terutama terkait proses produksi dan pemanfaatan teknologi perfilman. Guna menghasilkan karya film yang berkualitas dan berdaya saing global.

 Nurwan Hadiyono, selaku Kasubdit Produksi Direktorat Pengembangan Perfilman, Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berharap workshop yang memadukan antara teori dan praktik secara langsung dengan melibatkan para pakar perfilman nasional ini nantinya dapat meningkatkan kualitas sinaes muda di Bali khususnya, sehingga perfilman nasional ke depannya semakin terus berkembang seiring kemajuan teknologi. “Hendaknya para sinaes muda Bali mampu memanfaatkan worksop ini untuk meningkatkan peluang dan kesempatan dalam melahirkan karya film yang berkualitas ke depannya,” harapnya.

 Ronny Trimarsanto, menerangkan bahwa membuat film itu sangatlah mudah dengan adanya kemajuan teknologi serba canggih saat ini. Meski begitu tidak semua orang menyadari dan mampu memanfaatkan peluang itu dengan baik. Karena itulah perlu sebuah kreativitas tanpa batas. “Jadi para sinaes atau pegiat film dituntut harus mampu menyeleksi peristiwa menjadi ide atau gagasan agar lebih berkesan bagi penonton,” tegasnya.

 Lebih jauh, Tino Saroengallo, menegaskan bahwa layak tidaknya gagasan dibuat film merupakan tuntutan para sinaes dalam mengasah ketajaman atau kepekaan indera yang dimiliki, seperti pendengar (telinga), penglihatan (mata), penciuman (hidung), perasa/pengecap (lidah) dan peraba (kulit). “Reaksi dari ketajaman dan kepekaan indera itulah yang biasanya menjadi dasar dalam melahirkan sebuah gagasan,” katanya.

 Sementara itu, Aline Jusria, menjelaskan bahwa tugas para sinaes adalah melihat, meramu dan menyajikan. Disinilah, insting para sinaes yang berperan sebagai seorang editor diperlukan dalam menunjang dan memutuskan setiap adegan film agar menghasilkan karya yang berkualitas. “Film yang bagus bagi saya di mana penonton akan tersenyum atau pun tertawa jika menonton film komedi atau drama serta penonton menangis jika menonton film drama yang mengharu biru,” ujarnya.

 Kemudian Roy Lolang mengatakan karya film merupakan representasi dari kegelisahan, kegembiraan, dan perasaan manusia yang diwakili oleh masing-masing adegan. Inilah tugas dari senimatografer dalam menangkap semua itu dalam bentuk visualnya kepada penonton. “Karena itulah seorang senimatografer harus bisa menggabungkan dua hal penting kreativitas yakni estetika dan teknologi. Itulah kunci dari sebuah karya film yang baik dan mampu memberi kesan lebih kepada penonton,” terangnya.

 Menurutnya, teknologi memang memudahkan proses berkarya dalam dunia film, tetapi tidak menyederhanakan segudang persoalannya. Karena itu, penerapan teknologi dalam berbagai sisi kehidupan termasuk dalam keilmuan sinematografi harus melewati berbagai tahapan mulai dari proses tradisi mendengar dan bicara, tradisi membaca dan menulis, serta tradisi audio visual. “Jadi revolusioner dalam disiplin teknologi menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari disiplin keilmuan sinematografi,” pungkasnya. WB-MB