Penulis:

I Gusti Ngurah Agung Darmayuda

Komisioner KPU Kota Denpasar

 

 

            Munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun 2017 yang prosentasenya bertambah dari pilkada serentak sebelumnya, adalah sebuah catatan tersendiri bagi perjalanan demokrasi kita saat ini. Pilkada serentak tahun 2017 memunculkan sembilan calon tunggal yang bersaing dengan kotak kosong saat pemungutan suara dilangsungkan. Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan ada lonjakkan jumlah calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah serentak 2017. Dari 269 daerah menggelar pilkada serentak 2015, ada tiga daerah atau sekitar 1,1 persen di antaranya menggelar calon tunggal. Sementara dari 101 daerah yang menggelar pilkada serentak 2017, Sembilan daerah atau 8,9 persen diantaranya memiliki calon tunggal. Pada Pilkada 2015 calon tunggal di tiga daerah, yakni Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara, merupakan petahana. Hal serupa terjadi di Sembilan daerah pada pilkada 2017 yakni Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, Kabupaten Pati, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Tambrauw, Kota Sorong, dan Kota Jaya Pura. Hal berbeda yang terjadi pada calon tunggal pilkada 2015 hanya didukung oleh beberapa partai politik yang masih menyisakan partai politik lain yang memungkinkan untuk mencalonkan kandidat lainnya, Sedangkan pada pilkada serentak 2017, sebagian besar calon tunggal memborang kursi di DPR sehingga menutup kemungkian calon lain untuk dicalonkan kecuali melalui jalur independen.

Fenomena calon tunggal didaerah disikapi oleh pemilh dengan berbagai reaksi salah satunya adanya gerakan memenangkan kotak kosong untuk melawan calon tunggal seperti yang terjadi di Kabupaten Pati dan Kabupaten Maluku Tengah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperbolehkan kelompok masyarakat untuk mengampanyekan “kotak kosong” pada pilkada yang pesertanya diikuti hanya satu pasangan calon.Upaya tersebut dinilai salah satu bentuk partisipasi yang sah dalam demokrasi sepanjang dilakukan tidak dengan ancaman, pemaksaan, dan bentuk intimidasi lainnya. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, keikutsertaan masyarakat ini perlu sebagai upaya agar tercipta keadilan pada proses pilkada yang pesertanya calon tunggal.Bagi KPU, dengan hanya satu pasangan calon yang tersedia tidak berarti bahwa calon bersangkutan bisa bebas tanpa ada lawan untuk dihadapi. Dengan memberi tahu masyarakat untuk memilih opsi “tidak setuju” pada surat suara juga merupakan bentuk kampanye yang sah. “Mereka (calon tunggal) juga tetap harus dibatasi karena kita ingin mereka tidak berlebih-lebihan,” kata Hadar di Jakarta. Menurut Hadar, ajakan oleh kelompok masyarakat tersebut bisa dianggap sebagai bentuk demokrasi asal pada prosesnya tetap harus dilakukan dengan cara yang tepat dan tidak mengganggu hak orang lain. “Kalau orang-orang kemudian memutuskan ingin mengajak yang lain, meyakinkan (pilih kotak kosong) tidak ada masalah. Yang penting tidak ada pemaksaan, ancaman, membayar, intimidasi,” ujar Hadar (www.kpu.go.id).

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya Ramlan Surbakti berpendapat, fenomena calon tunggal ini tidak lepas dari buruknya kaderisasi partai politik. Padahal Partai Politik wajib menyiapkan calon-calon pemimpin yang akan menduduki jabatan-jabatan publik Menurut Ramlan buruknya kaderisasi ini antara lain dipicu kurangnya pelibatan anggota parpol dalam pengambilan keputusan partai. Padahal kedaulatan partai politik seharusnya juga berada ditangan anggotanya. Dalam konteks pilkada segyoyanya setiap partai menggelar pemilihan pendahuluan dengan melibatkan anggota partainya. Langkah ini juga akan membantu menyelesaikan persoalan dinasti politik yang muncul di Indonesia.       Sementara itu menurut Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menuturkan, saat ini parpol makin pragmatis sehingga benar-benar berhitung untuk mendukung kandidat dalam pilkada. Sebelum mengusung calon mereka berhitung calon mana yang paling efektif dalam pengertian keluar uang sedikit dan potensi menang besar. (Kompas, 19 Januari 2017)

Calon tunggal yang prosentasenya semakin bertambah kurang lebih sembilan kali lipat dari pilkada sebelumnya mengkawatirkan bagi proses demokrasi kita. Seolah sumber daya kepemimpinan, orang baik, orang pintar dan mumpuni yang mampu memjadi kepala daerah  sudah tak ada lagi. Hal ini merugikan pemilh yang tidak diberikan altenatif pilihan sebagaimana fungsi pemilu sebagai proses evaluasi kepemimpinan lima tahunan. Mengembalikan fungsi partai politik sebagaimana dikatakan oleh Miriam Budihardjo yaitu berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik, dan sarana pengatur konflik perlu mendapat perhatian bagi semua pihak. Dalam hal ini terutama fungsi partai politik sebagai sarana rekruitmen politik yang dijabarkan sebagai lembaga kaderisasi para calon pemimpin serta turut memperluas partisipasi politik rakyat. Harapan kita pada partai politik agar mengedepankan kaderisasi demi keberlangsungan proses demokrasi yang sehat. Selanjutnya diharapkan pula kesadaran para elit akan urgensi  kaderisasi di partai politik untuk merawat demokrasi di Indonesia. RED-MB