Keterangan foto : CEO TFP Jim Edward (nomor 2 dari kiri) bersama Komisaris TPF Indonesia Joni Eko Saputro (nomor 2 dari kanan), praktisi bisnis Desak Kiki (paling kanan) saat acara MoU (Mutual of Understanding) TFP International dengan TFP Indonesia di Hotel Prime Sanur, Denpasar, Minggu (19/8/2018).

Denpasar (Metrobali.com)-

Penerapan teknologi dan digitalisasi pertanian menjadi arah baru pengembangan industri pertanian ke depan. Salah satu teknologi yang kini ramai dibicarakan dan mulai diterapkan di sektor pertanian Indonesia adalah blockchain.

Teknologi ini memang familiar dan awalnya berkembang untuk sektor perbankan. Namun kini banyak perusahaan besar berbasis teknologi maupun stratup yang masuk ke ranah blockchain untuk industri pertanian. Salah satunya The Funding Partners atau TFP.

“The Funding Partners ingin memimpin era baru revolusi industri pertanian melalui teknologi blockchain. Apalagi kita tahu potensi pertanian Indonesia sangat besar. Tapi permasalahannya juga kompleks,” kata CEO TFP Jim Edward di sela-sela acara MoU (Mutual of Understanding) TFP International dengan TFP Indonesia di Hotel Prime Sanur, Denpasar, Minggu (19/8/2018).

Menurut data World Bank, perekonomian Indonesia saat ini termasuk dalam urutan ke 16 dalam kategori perekonomian terbesar di dunia. Sebanyak 33% angkatan kerja bekerja di sektor pangan dan pertanian. Di sisi lain, sebanyak 13,95% Produk Domestic Bruto (PDB) dihasilkan dari sektor pangan dan pertanian yang berjumlah US$ 129.6 miliar.

Sebagai negara agraris, banyak tantangan masih menghantui Indonesia. Utamanya produktivitas padi dari petani Indonesia yang masih rendah (14,5% lebih rendah dibanding Vietnam). Kondisi itu membuat biaya produksi menjadi yang termahal se-Asia menurut data dari International Rice Research Institute (IRRI).

Selain itu, dilansir dari McKinsey Research, rendahnya efisiensi rantai distribusi antar petani ke konsumen juga mengakibatkan para petani Indonesia masih harus menghadapi kerugian dalam hal penurunan kualitas pasca panen sebesar 20% setiap tahunnya.

Menurut Edwards para petani Indonesia juga masih dihadapkan masalah panjangnya rantai distribusi. Mereka masih harus berhadapan dengan tengkulak yang mempermainkan harga. Di sisi lain ada juga masalah  ketidakmerataan data dan ketidakseragaman informasi terkait dengan kapasitas, pasar dan pembiayaan bagi seluruh pemain di sektor pertanian.

“Maka berkembangnya teknologi blockchain, bisa menjadi solusi bagi tantangan riil yang dihadapi sektor pertanian Indonesia. Untuk lebih itulah kami hadir dengan teknologi blockchain untuk membantu petani di Indonesia,” tegar Edwards.

TFP adalah sebuah perusahaan ekuitas swasta global terdepan yang didirikan di Utah, AS pada 2007. TFP fokus mengoptimalkan aset dan layanan pertanian melalui metode penciptaan nilai berbasis teknologi mutakhir.

TFP mengelola berbagai kegiatan manajemen aset pertanian meliputi kemitraan pertanian, akuisisi lahan, dan akuisisi perusahaan agroteknologi, menetapkan tolak ukur industri pertanian.

TFP merevolusi industri pertanian dari pola lama menuju inovasi berbasis pemanfaatan teknologi blockchain. Secara sederhana blockchain adalah struktur data yang tidak dapat diubah, hanya bisa ditambahkan.

Setiap data dari blockchain saling terhubung. Jadi jika ada perubahan di salah satu block data, akan berpengaruh terhadap data berikutnya.

“Teknologi blockchain ini menambahkan lapisan transparansi pada ekosistem pertanian, mendekatkan petani dengan konsumen sekaligus menciptakan sinergi antara petani, pengusaha dan konsumen yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Edwards.

Dalam sistem manajemen rantai pasokan, transparansi bisnis sangatlah penting untuk memastikan kepatuhan serta kepuasan pelanggan. “Menggunakan teknologi digital yang sedang naik daun seperti blockchain mampu meningkatkan pengalaman pelanggan atau konsumen dan mengarahkan pada laba bersih yang lebih kuat,” kata Edwards.

Sementara itu Komisaris TPF Indonesia Joni Eko Saputro mengatakan salah satu pilot project penerapan blockchain ini adalah di Jatiluwih Tabanan dengan luas lahan 60 hektar. Nantinya para petani padi maupun kopi akan didampingi dalam produksi pertanian sehingga meningkatkan kapasitas produksi maupun kualitas hasil pertanian.

“Nanti ada peningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan lahan dan penanaman hingga perawatan bahkan panen. Termasuk pula akses jaringan pemasaran hingga ekspor,” ujarnya didampingi pula praktisi bisnis Desak Kiki.

Proyek berikutnya di Bogor dengan rencana luas lahan 1000 hektar yang akan ditanami durian. Selain untuk diekspor, durian ini juga dikembangkan untuk menunjang  industri pariwisata khususnya agro tourism

Sebelum hadir di Indonesia, TFP memiliki empat kantor global di AS, Afrika Selatan, Kamboja dan Malaysia. CEO  TFP Jim Edwards  bertugas menjalankan visi jangka panjang jangka global perusahaan. Ia juga memastikan bahwa organisasi, teknologi, dan fungsi investasinya memiliki koordinasi, konektivitas dan operasi yang optimal.

TFP mengadopsi model investasi terstruktur. Pada waktu bersamaan mengakui bahwa fleksibilitas adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan.

Pewarta : Widana Daud

Editor     : Whraspati Radha