BPK mengungkap pemberian insentif Bendesa Adat di Bali telah membebani keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Penganggaran tersebut dinilia tidak sesuai dengan Perpres.

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap pemberian insentif Bendesa Adat di Bali telah membebani keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Penganggaran dan realisasi honorarium Bendesa Adat juga dinilia tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional.

Pernyataan BPK tentang pemberian insentif Bendesa Adat menyalahi Perpres, menurut pengamat kebijakan Publik Jro Gde Sudibya, Sabtu 20 Mei 2023 dapat diberikan beberapa catatan.

Menurutnya, Pemda Bali mesti mengklarifikasi terhadap temuan BPK ini, kemudian melakukan koreksi, untuk menghindari Bendesa Adat dilibatkan kasus hukum. Ini menyangkut citra dan tingkat kepercayaan (trust) krama desa terhadap bendesanya. Di banyak desa, kepercayaan (trust) kepada Bendesa Adat adalah harga mati.

Lebih lanjut dikatakan, temuan BPK ini, semacam memberikan pembenaran terhadap dugaan politik anggaran Pemda Bali, yang memberikan prioritas terhadap pengeluaran dengan tujuan elektabilitas dan atau proyek mercu suar dengan dana besar, yang kelayakan ekonominya tidak jelas, dan kemanfaatan ekonomi untuk rakyat banyak juga tidak jelas.

Jro Gde Sudibya mencontohkan APBD Bali tahun 2022 untuk pertanian hanya 1.8 persen, sangat kecil, padahal strategi pembangunan Bali menempatkan sektor pertanian pada prioritas pertama. Demikian juga anggaran pembrantasn kemiskinan yang sangat kecil, pada saat jumlah orang miskin meningkat.

Sedangkan anggaran untuk pembebasan tanah dan pengurugan proyek PKB Klungkung hampir Rp.2.5 T, menurut Jro Gde Sudibya membebani anggaran APBD Bali selama 6 tahun ke depan mulai tahun 2024, sebesar sekitar Rp.380 M untuk angsurannya.

Dikatakan, pemberian dana insentif ke Bendesa Adat yang punya potensi melanggar hukum, Perpres mempunyai kedudukan hukum lebih tiinggi dari Perda yang mengatur APBD Bali, bisa memberikan indikasi dari politisasi Desa Adat yang berlebihan, yang akan mengurangi kemandirian Desa Adat dalam menjalankan Dharmanya.

Lebih lanjut dikatakan, pemberian dana insentif ini, cepat atau lambat bisa merubah motivasi krama untuk menjadi Bendesa, yang tadinya “ngayah” secara total menjadi bermotif pamrih ekonomi finansial.

“Kesemuanya ini akan sangat berpengaruh dalam suasana “ngayah” di Desa Adat,” kata Jro Gde Sudibya.

Dikatakan, jika menyimak perjalanan Desa Pakraman yang sekarang disebut Desa Adat, lebih dari 1.022 tahun, jika kita merujuk kedatangan Mpu Kuturan ke Bali, Buda Kliwon Pahang Icaka 923, kekuatan Desa Pakraman adalah kemandiriannya, kemandirian yang berasal defikasi dari “kramanya” tanpa intervensi terlalu jauh dari kekuasaan di luar Desa Pakraman.

“Dalam konteks keberlanjutan Desa Pakraman, maka setiap intervensi politik yang mengganggu kemandiriannya, patut diwaspadai, ” kata Jro Gde Sudibya.

Sementara itu, kenurut Ketua BPK Isma Yatun pemberian insentif itu menyebabkan terjadinya pemborosan keuangan daerah. Dimana belanja jasa pada sub kegiatan pembinaan pemerintahan desa adat belum sepenuhnya sesuai ketentuan.

“Selain itu, terdapat resiko penyalahgunaan dana penguatan desa adat atas bukti pengeluaran yang kurang lengkap dan valid. “Dan, ini patut mendapat perhatian,” imbuh Isma Yatun.

Dia meminta DPRD Bali menjalankan fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan untuk mendorong perumusan kebijakan yang lebih akuntabel, ekonomis, efisien dan efektif.

“Dengan begitu keuangan negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Isma Yatun. (Adi Putra)