Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan bersama dengan Walhi Bali menggelar sebuah diskusi yang bertajuk “Melanjutkan Agenda Reformasi Sektor Keamanan”.

Denpasar (Metrobali.com)-

Minggu 21 April 2019 Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan bersama dengan Walhi Bali menggelar sebuah diskusi yang bertajuk “Melanjutkan Agenda Reformasi Sektor Keamanan”. Acara ini berlangsung di Taman Baca Kesiman yang berlamat di Jalan Sedap Malam no. 234 Kesiman Denpasar.

Adapun dalam acara diskusi kali ini menghadirkan kawan-kawan seperti Roberto Hutabarat, Wayan Gendo Suardana dan Erwin Natosmal Oemar yang mereka semua akan bebicara mengenai bagaimana tuntutan penghapusan Dwifungsi ABRI di jaman Reformasi hingga penghapusan komando teritorial namun ketika berganti Rezim, itikad penguasa untuk memberikan ruang bagi militer dalam posisi pemerintahan sipil masih kerap terjadi.

Roberto menjelaskan bagaimana Indonesia Hari ini sesungguhnya masih mengalami status quo, dimana Kendatipun dikatakan hari ini merupakan era demokrasi namun tetap saja nuansa otoritarianisme masih bisa dirasakan sampai hari ini.

Roberto banyak menceritakan terkait sejarah bagaimana otoritarianisme itu bisa selalu kita rasakan hingga hari ini yang mempengaruhi kehidupan kita. Seperiti misalnya di era orde baru banyak posisi pemerintahan sipil di level camat, bupati hingga presiden,  yang kesemuanya itu dikuasai militer. Padahal pemerintahan sipil mestinya dijalankan oleh sipil dengan cara-cara sipil.

Roberto mengatakan “Apabila dulu di ajaman orde Baru semuanya serba terang-terangan, berbeda dengan sekarang, kalau sekarang mainya dengan cara halus” tungkasnya, namun intinya tindakan-tindakan atau itikad mensipilkan militer masih terus terjadi seperti misalnya mantan-mantan militer banyak yang menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan sipil. Roberto juga banyak bercerita mengenai bagaimana bisnis-bisnis tambang, sawit dan sebagainya itu acapkali menggunakan pengamanan dari militer seperti misalnya sebuah bisnis tambang dijaga atau pengamananya dilakukan oleh aparat bersenjata seperti tentara.

Erwin Natosmal Oemar dari LBH Pers yang sekaligus juga peneliti Indonesian Legal Rountable menuturkan  kendatipun reformasi sudah berlangsung selama 20 tahun dan UU militer telah ditetapkan serta Dwifungsi ABRI telah dicabut, permasalahan militer yang masuk ke ranah-ranah sipil belumlah usai. Erwin Merefleksikan bagaimana tuntutan gerakan 1998 yang meruntuhkan Orde Baru dengan gaya kepemimpinan yang militeristik, yang sampai hari ini belumlah usai.

Adapun empat tuntutan turunan dalam reformasi militer  yakni yang pertama ada restorasi komando teritorial, yang kedua ada reformasi peradilan militer, yang ketiga larangan bisnis TNI dan terakhir adalah profesionalisme militer.

“kendatipun ada beberapa respon berupa regulasi guna mewujudkan empat tuntutan tersebut, namun militer yang masuk ke ranah-ranah sipil masih kerap terjadi” tungkasnya. Terlebih memang ada upaya sipil yang mengamini militer masuk ke ranah sipil. Hal itu bisa dilihat dari contoh kontestasi-kontestasi politik yang dimana militer juga kerap diajak-ajak untuk masuk ke ranah tersebut.

Wayan Gendo Suardana selaku Dewan Nasional WALHI yang juga menjadi salah satu narasumber dalam diskusi ini menerangkan bahwa pada prinsipnya tentara diciptakan memang untuk menjaga sipil dari serangan luar, makanya ia disebut sebagai alat pertahanan negara. Dan polisi merupakan alat untuk menjaga ketertiban yang ditimbulkan di internal atau dimasyarakat dan itu pemisahannya sangat jelas antara tugas TNI dan Polisi.

Gendo mengatakan “Kita membutuhkan TNI atau tentara yang profesional yang fokus pada fungsi sebagai alat pertahanan negara dari serangan luar, bukan mereka yang menjadi Tentara politik  yang dikaryakan untuk mengisi posisi-posisi di sipil seperti jadi DPR, menjadi Dubes, gubernur, Bupati atau bahkan Camat” pungkasnya.

Lebih lanjut Gendo menjelaskan bahwa yang menjadi tugas ketertiban dan keamanan masyarakat atau di internal adalah Polisi yang harapannya polisi bertindak dan berwatak sebagai sipil. Ia menambahkan “Sebab apabila polisi berwatak sipil maka pendekatan yang digunakanpun adalah pendekatan sipil yang berlandaskan Hak Asasi Manusia” imbuhnya. Menggunakan pendekatan-pendekatan sipil yang menjamin hak-hak sipil dan menjamin hak-hak asasi manusia.

Editor : Hana Sutiawati