Foto: Nyoman Suarsana Hardika (kiri) didampingi kuasa hukumnya Made Dwi Atmiko dalam keterangan pers di Kuta pada Jumat 12 Januari 2024.

Badung (Metrobali.com)-

Keadilan di negeri ini memang “mahal” dan perlu usaha “berdarah-darah” untuk mendapatkannya. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjuangan panjang, penuh jalan berliku yang dialami pengusaha Nyoman Suarsana Hardika alias Nyoman Liang untuk mendapatkan haknya berupa tanah seluas 6.670 meter persegi yang berlokasi di Jalan Badak Agung, Denpasar yang dibelinya secara sah dan telah keluar SHM yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Denpasar tertanggal 5 Januari 2024.

Niat hati untuk mengelola tanahnya setelah sah keluar SHM, Nyoman Suarsana Hardika kini malah dihadapkan kenyataan pahit dengan adanya upaya dari pihak tertentu untuk menghalang-halangi upaya  tersebut. Bahkan tanah miliknya dijaga preman dan ada upaya intimidasi kepada Nyoman Suarsana Hardika.

Sejatinya Nyoman Suarsana Hardika akan membersihkan lahannya dan melakukan penembokan tapa batas tanahnya, namun dia dikagetkan dengan adanya fakta berdirinya sejumlah bangunan non permanen berdiri di atas lahannya dan berdasarkan informasi sementara lahan tersebut diduga dikontrakkan anak dari almarhum Raja Denpasar IX Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan (Cokorda Samirana). Bahkan pihak Nyoman Liang bersama tim kuasa hukumnya sudah melayangkan somasi kepada empat anak dari alrmarhum atau ahli waris dari almarhum.

Nyoman Suarsana Hardika juga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan bahkan mendapatkan ancaman ketika dia ingin membersihkan lahanya dan memasang plang/papan nama pada Rabu 10 Januari 2024. Upaya itu diduga dihalang-halangi pihak putra ke-4 dari almarhum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan (Raja Denpasar IX) yakni AA Ngurah Mayun Wiraningrat (Turah Mayun) bahkan akses ke tanah tersebut ditutup dengan dipasangi portal dan dijaga preman.

Atas perlakuan tersebut,  Nyoman Suarsana Hardika melaporkan Ketut Kusuma yang merupakan kuasa hukum Turah Mayun ke Polda Bali dengan dugaan tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan (pasal 335 KUHP).

Lebih lanjut Nyoman Suarsana Hardika didampingi kuasa hukumnya Made Dwi Atmiko dalam keterangan pers di Kuta pada Jumat 12 Januari 2024 menjelaskan seperti yang sudah diinformasikan sejak awal bahwa pihaknya berencana untuk memasang plang kepemilikan tanah berdasarkan Sertifikat (SHM) Nomor 1565 dan sekaligus untuk melakukan pemagaran. Bahan-bahan material untuk membuat pemagaran tersebut juga dalam perjalanan menuju ke lokasi.

Namun sayangnya lahan tersebut sudah dipasangi portal sehingga material-material ini tidak bisa masuk. Nyoman Suarsana Hardika juga mengungkapkan bahwa di tanah miliknya tersebut sudah berkumpul orang-orang berbadan kekar yang diduga untuk menghalangi pemasangan plang kepemilikan tanah tersebut. Pihak Nyoman Suarsana Hardika memilih untuk mengalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

“Karena banyak juga orang-orang berkumpul di sana berbadan-badan besar, kita menghindari pekerjaan kita itu. Artinya menghindari terjadinya benturan, jadi kita terpaksa mengalah untuk tidak melakukan pekerjaan itu,” terangnya.

Sebelumnya juga telah dilakukan pertemuan dengan pihak kuasa hukum Turah Mayun. Terkait hal tersebut, Nyoman Suarsana Hardika menjelaskan, kembali ke tanggal 7 Desember 2023, kuasa hukum yang sama pernah menyetop pekerjaan yang dilakukan di lahan miliknya. Saat itu kuasa hukum Turah Mayun meminta Nyoman Suarsana Hardika untuk menunjukkan sertifikat SHM yang sudah atas nama dirinya.

Kemudian di tanggal 10 Januari 2024, pihak Nyoman Suarsana Hardika menunjukkan Sertifikat (SHM) Nomor 1565 atas nama dirinya. Namun pihak Turah Mayun berdalih dengan melaporkan pihak Nyoman Suarsana Hardika atas pidana memberikan keterangan palsu.

Lebih lanjut Nyoman Suarsana Hardika mengungkapkan, ada puluhan pria berbadan kekar yang berjaga-jaga di lahan miliknya dan melarang pihaknya memasang plang nama kepemilikan. Para awak media juga tidak diizinkan meliput di lokasi tersebut. Atas kejadian ini, pihak Nyoman Suarsana Hardika mendatangi Polda Bali untuk membuat laporan bahwa pihaknya tidak diizinkan untuk memasuki tanah hak milik sendiri.

“Saya sudah melakukan pelaporan langsung ke Polda bahwa kita tidak diizinkan untuk memasuki tanah hak milik kita sendiri,” ungkapnya.

Made Dwi Atmiko selaku kuasa hukum Nyoman Suarsana Hardika menambahkan bahwa pasal yang digunakan dalam laporkan tersebut adalah pasal 335 KUHP yang isinya meminta atau menyuruh seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan ancaman. Dalam hal ini pihak kuasa hukum Nyoman Suarsana Hardika melaporkan Ketut Kusuma, S.H., selaku kuasa hukum dari Turah Mayun.

Nyoman Suarsana Hardika mengatakan lebih lanjut, ketika pihaknya meminta identitasnya, pihak Ketut Kusuma justru menolak untuk memberikannya. Identitas tersebut rencananya akan dijadikan bahan pelaporan di Polda Bali.

Sementara terkait dengan pemberitaan di media yang menyebutkan ada mafia tanah dalam kasus ini, Nyoman Suarsana Hardika meminta awak media untuk menanyakan langsung kepada pihak yang memberikan statement adanya mafia tanah tersebut. “Itu sebaiknya ditanyakan langsung ke yang memberi statement, yang dimaksud mafia itu siapa? Apa saya atau pihak lain. Saya sendiri tidak bisa mengomentari itu,” ujarnya.

 

Dalam hal ini Nyoman Suarsana Hardika juga merasa bukan sebagai mafia tanah karena dia membeli tanah tersebut sudah sesuai dengan prosedur yang ada dan bahkan sudah memiliki Sertifikat SHM atas nama dirinya sendiri. “Dalam bidang apa saya mafia. Saya beli, bayar DP, pelunasan, dapat sertifikat. Dimananya itu yang dianggap mafia. Itu biar diklarifikasi, diclearkan itu. Kalau begitu kan gampang aja orang bikin statement. Karena urusannya sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan sertifikatnya, ketika bisa diselesaikan, owh ini mafia tanah yang bergerak. Biar dijelaskan itu,” urainya.

Terkait dengan adanya kabar yang tersiar soal pembatalan perjanjian, Nyoman Suarsana Hardika mengatakan, pihaknya baru mendengar informasi tersebut ketika disebutkan dirinya membuat surat perjanjian pembatalan akta nomor 100 dan 101, di akta yang disebut nomor 185. Nyoman Suarsana Hardika mengaku tidak pernah melihat akta tersebut.

Dari berita yang beredar, di akta 185 itu dikliam tertera pembatalan dilakukan pada tahun 2015. Nyoman Suarsana Hardika kemudian menjelaskan, pada bulan Juni 2022, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan (Cokorda Samirana) meminta tolong untuk bisa dibantu diberikan uang muka tambahan karena saat itu yang bersangkutan ada kebutuhan mendesak.

“Itu terjadi Juni 2022. Ini nanti bisa dilihat bukti transfernya sejumlah, pertama Rp. 300 juta untuk dibantu. Terus 13 Juli disusul lagi, cuman dananya kurang saya, bisa dibantu enggak lagi Rp. 150 juta,” tuturnya.

Saat ditanya apakah ada jaminan yang diberikan oleh Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan saat itu, Nyoman Suarsana Hardika menambahkan bahwa Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan sudah mengenal kakek Nyoman Suarsana Hardika sebagai tabib Puri. Itulah yang menjadi dasar Nyoman Suarsana Hardika percaya kepada Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan. “Dan beliau itu juga salah satu dari 23 penandatangan tanah Pelaba Pura Merajan Satria yang kita beli dengan SHM 1565,” tuturnya,

Ditambahkannya, pada tanggal 16 Juni 2022, Nyoman Suarsana Hardika juga mentransfer sejumlah uang kepada Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan. Atas dasar inilah Nyoman Suarsana Hardika memastikan bahwa tidak ada pembatalan akta sama sekali, apalagi disebutkan pembatalan akta dilakukan pada tahun 2015, sedangkan uang DP yang diminta oleh Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan terjadi pada tahun 2022.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh kuasa hukum Nyoman Suarsana Hardika, Made Dwi Atmiko. “Yang disebut pembatalan itu kan di tahun 2015, kenapa di tahun 2022 Ida Tjokorda meminta tambahan DP dan dikirim langsung ke menantunya. Kalau ada pembatalan kan enggak mungkin minta tambahan DP,” tegas Miko.

Lebih Nyoman Suarsana Hardika mengatakan selanjutnya pihaknya akan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Ia berharap selaku pemilik tanah yang sah bisa melakukan pekerjaan di tanah miliknya sendiri.

“Simpel sekali, saya bisa nembok hak milik saya, melakukan pematangan lahan, pengurugan, karena saya mau buat untuk perumahan. Kalau tertahan begini, tertunda-tunda begini, berapa kerugian kita. Ini sudah hampir 10 tahun Agustus ini. Dari 2004 bulan Agustus kejadiannya. Kita sudah lega tahun lalu bisa diselesaikan secara damai dengan para pihak Pangempon. Ya kita enggak tau lagi ini ada dari salah satu Pangempon yang almarhum, keturunannya atau ahli warisnya yang mempermasalahkan itu,” pungkasnya.

Sementara Pak Inti yang mendapatkan kepercayaan dari putra ke-4 dari almarhum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan (Raja Denpasar IX) yakni AA Ngurah Mayun Wiraningrat (Turah Mayun) selaku pengelola tanah di Badak Agung belum berhasil dikonfirmasi atas persoalan tanah tersebut. Berkali-kali nomor handphonenya dihubungi tapi tidak aktif. Begitu juga Turah Mayun, berkali-kali nomor handphonenya dihubungi juga tidak aktif.

Namun sebelumnya Turah Mayun saat ditemui awak media di Badak Agung sempat menegaskan siap memberikan tanah yang diperkarakan tersebut jika Nyoman Suarsana menang dalam proses hukum ini. “Setelah dia menang saya akan legowo memberikan tanah itu, itu saja. Jadi jelas kalau Pak Man Liang menang dalam proses ini saya berikan,” tegasnya. (wid)