Ilustrasi
Tanggal 30 Januari 2016 saat Nyoman Dhamantra masih aktif di komisi VI DPR RI pernah menulis surat ke Presiden Joko Widodo prihal keprihatinannya terhadap rencana Reklamasi Teluk Benoa. Kemudian surat tersebut ia sampaikan begitu gamblang soal isi hatinya baik sebagai wakil Rakyat maupun maupun pribadinya. Berikut surat tersebut.
Yang terhormat,
Presiden Republik Indonesia
H. Ir. Joko Widodo
Salam Sejahtera, Om Swastiastu,
Melalui surat ini hendak disampaikan kekhawatiran saya terkait masa depan Bali, khususnya bagaimana polemik Reklamasi Teluk Benoa yang kini mendera di masyarakat Bali. Sebagai seorang pelayan rakyat yang didaulat berbicara mewakili aspirasi masyarakat luas, saya diwajibkan menerangkan dengan sejujurnya.
Soal pertama terkait dengan komisi yang saya geluti, yaitu berurusan dengan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dari pengamatan saya, dengan proposal reklamasi yang digulirkan selama tiga tahun ini, saya menganalisis bahwa proyek tersebut tidak serta-merta menguntungkan bagi masyarakat Bali.
Pasalnya, pembangunan nasional seharusnya berakar pada amanat Undang-undang Dasar 1945 yang berorientasi pada penyejahteraan juga pemerataan rakyat.
Problemnya, mengapa Reklamasi Teluk Benoa ditolak keras, karena penimbunan areal, pembangunan kawasan hotel dan resort mewah justru memperburuk ketidakmerataan. Jelas jika reklamasi dijalankan nasib nelayan tangkap dan penggiat usaha bahari di Teluk Benoa akan tergusur.
Detailnya, sedikitnya 443 nelayan tangkap, 704 rumah tangga budidaya perikanan, tiga unit usaha pengolahan hasil perikanan, dan 120 orang penggiat usaha wisata bahari. Selain itu, data pihak pengembang dalam uji Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) disebut membutuhkan sekitar 153.801 pekerja yang nantinya dapat menimbulkan kepadatan cukup buruk.
Bali Selatan khususnya Badung tengah mengalami kesesakan populasi yang tidak lagi kondusif. Problem penyerapan tenaga kerja luar dalam jumlah besar, tentunya memiliki risiko tersendiri, salah satunya berpotensi menimbulkan benturan dengan masyarakat lokal di wilayah Bali Selatan.
Perlu ada cara pandang baru dalam melihat pertumbuhan ekonomi di Bali. Cara melakukan sensus tidak lagi memadai dengan tujuan melihat pertumbuhan ekonomi semata, sebab, kejanggalan yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan pemerataan.
Dengan begitu banyak pembangunan di Bali, juga pertumbuhan ekonomi yang cukup penting pada triwulan IV-2015 sebesar 6.57%. Lantas mengapa pertumbuhan ini tidak paralel dengan pemerataan? Data BPS pada September 2015 menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Bali meningkat sampai 0.47 poin, atau mencapai 218.79 ribu orang (5.25%)
Tandanya, pembangunan pemerintah belum menyasar pada pemerataan, dan eliminasi kesenjangan.
Investasi reklamasi Teluk Benoa menurut saya akan semakin menyebabkan ketimpangan, dan mermarjinalkan masyarakat kecil pesisir. Saya mendukung pembangunan Bali, tetapi pembangunan itu selayaknya mempertimbangkan keadilan dan kesejahteraan sosial, bukan hanya menguntungkan sekolompok konglemarasi.
Masalah kedua berurusan dengan rusaknya lingkungan hidup. Teluk Benoa telah menjadi penyangga ekosistem, misalnya komponen yang akan terkena dampak diantaranya habitat dan populasi satwa liar yang ada di dalamnya. Kawasan Bakau Teluk Benoa memiliki keanekaragaman satwa burung yang cukup tinggi.
Diketahui, terdapat 43 jenis burung yang delapan di antaranya dinyatakan sebagai spesies dilindungi. Ekosistem Hutan Mangrove juga habitat bagi berbagai jenis ikan, kepiting, udang, dan spesies lainnya. Dengan demikian, reklamasi akan memusnahkan keseimbangan yang telah tersusun di Teluk Benoa.
Atas alasan itulah, Perpres No. 45/2011 harus diberlakukan kembali menggantikan peraturan yang saat ini berlaku Perpres No. 51/2014, agar di masa depan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi yang menopang berbagai bentuk kehidupan tetap terjaga.
Terlebih lagi, kecemasan saya menyangkut bencana ekologis yang dapat terjadi jika Teluk Benoa direklamasi. Alasannya, 700 ha yang akan direklamasi mengganggu keberadaan Teluk Benoa sebagai tampungan air dalam jumlah besar dari lima Daerah Aliran Sungai (DAS). Dampak yang paling membahayakan, masyarakat di sekitar adalah munculnya Bencana Banjir Rob atau meluapnya air laut ke daratan pemukiman warga.
Keberatan paling signifikan terkait dengan persoalan adat, agama, dan kebudayaan masyarakat Bali. Reklamasi Teluk Benoa akan mengusik akar ritual Hindu, khususnya tradisi pemujaan terhadap laut (Segara Kertih). Dalam agama Hindu Bali, simpul-simpul air dianggap sakral sebab merupakan sumber kehidupan.
Menurut Keputusan lembaga pengayom umat Hindu tertinggi di Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pusat No.11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang kesucian Pura menyatakan campuhan (pertemuan sungai), pantai, dan laut diyakini memiliki kesucian. Atas dasar itu, Pura dan tempat suci umumnya didirikan di kawasan tersebut.
Ada beberapa titik-titik suci di kawasan Teluk Benoa, yang jika direklamasi akan mengganggu akses masyarakat untuk melakukan ritual. Pemeluk agama Hindu diajarkan untuk mencintai alam, kekuatan para dewata dimanifestasikan ke dalam fenomena alam. Laut adalah kekuatan Sang Hyang Varuna, sehingga menimbun lautan merupakan sesuatu yang terlarang di dalam ajaran Hindu.
Di dalam ritual Melasti (penyucian) dan juga Ngaben, lautan merupakan penopang spiritualitas masyarakat Hindu Bali. Ketika anggota keluarga, orang tua maupun kerabat yang kita cintai meninggal dan dikremasi, abu mereka ditebarkan di laut. Laut adalah persemayaman para leluhur kami. Menimbun, membangun, mengubah alam secara ekstrem merupakan perilaku yang serakah (Lobha) yang merupakan jalan keburukan (Adharma) yang akan mengakibatkan disharmonisasi hubungan manusia dengan dunianya.
Aksi penolakan massa terhadap reklamasi dan pengerukan pasir di Lombok (28 Januari 2016) juga di Denpasar, Bali (29 Januari 2016) sudah berkulminasi sedemikian rupa. Bagi sebagian besar masyarakat Bali, perlawanan ini adalah sesuatu yang personal. Sudah 11 Desa Adat yang secara tegas menolak reklamasi dan menerbitkan surat secara resmi, suara mereka mencerminkan bagaimana terhimpitnya masyarakat lokal jika proyek reklamasi ini diteruskan.
Saya berharap ada keberpihakan kepada masyarakat sehingga mencegah dari kemungkinan konflik-konflik horizontal. Kearifan Bapak Presiden dalam menimbang persoalan ini akan sangat monumental bagi masa depan Bali yang tentram, sejahtera dan damai.
Demikian surat ini dituliskan dengan kerendahan hati dan permohonan agar Bapak Presiden R.I mencabut Peraturan Presiden No. 51 tahun 2014, dan berkenan mengembalikan status Teluk Benoa sebagai wilayah cagar alam dan budaya.
Terima Kasih,
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Kenyeri, Denpasar, Bali, 30 Januari 2016
Anggota Komisi VI DPR RI
Nyoman Dhamantra