Batang lidi

 Ilustrasi-Menghitung batang lidi

SEAKAN tidak termakan zaman, batang-batang lidi menyimpan kekuatan untuk mengajarkan bilangan secara realistis kepada siswa. Maitri salah satu Guru Matematika, mengenang kembali masa-masa kecil saat belajar matematika. Memakai batang-batang lidi, Maitri diajarkan matematika oleh sang ayah. Tahun 1996 berkutat pada pola pembelajaran yang memang fasilitas dan sarana prasarana saat itu belum modern. Uniknya sampai sekarangpun batang-batang lidi masih digunakan disaat modernisasi menggerus peradaban termasuk pendidikan. Batang-batang lidi bisa dipegang, praktis dan membuat siswa lebih tertarik untuk belajar matematika pada tingkat dasar. Batang-batang lidi masih digunakan, baik di kota, di desa dan di pelosok-pelosok pedalaman. Tanpa kehilangan idialisme pembelajaran matematika, batang-batang lidi menunjukkan kapasitasnya sebagai media pembelajaran yang sangat efektif. Meski fasilitas modernasasi belum menjamah pedalaman, batang-batang lidi memainkan perannya sebagai pemandu mencerdaskan insan pendidikan bangsa. Apakah batang-batang lidi mampu mengantarkan siswa mencapai standar nasional pendidikan? Mulai dari kesederhanaan, batang-batang lidi mengantarkan anak-anak pedalaman mengapai standar nasional pendidikan.

Standar Nasional pendidikan memberikan ruang para pendidik untuk berkreatifitas menjawab tantangan memajukan pendidikan bagi anak bangsa. Pemerataan kecerdasan berdasarkan kearifan lokal menggugah pemikiran tentang perbedaan ruang dan waktu keberagaman proses pembelajaran dari Sabang sampai Merauke. Dalam hati kecil saya bertanya-tanya, pentingkah standar itu ketika begitu jelas adanya perbedaan sumber daya, fasilitas dan sarana prasarana dari setiap satuan pendidikan yang ada di Indonesia? Ataukah menyesuaikan dengan sarana dan sumber daya pendukung sekolah masing-masing?

Jangan jauh-jauh ke daerah pedalaman, di kota saja banyak anak-anak yang tidak mendapat pendidikan dengan layak. Fasilitas dan sarana prasarana sangat lengkap, bahkan bisa dikatakan sempurna. Toh, banyak juga anak-anak yang belum mengenyam pendidikan seperti yang distandarkan pemerintah. Sepertinya terdapat anak-anak pedalaman ditengah hiruk pikuk kota besar. Atau biasa kita sebut anak-anak terlantar. Bisa jadi memang tidak tersentuh hingar bingar pendidikan nasional apalagi yang namanya ujian nasional (UN). Ujian nasional tentunya diperuntukan bagi anak-anak yang mengenyam pendidikan sekolah bukan bagi mereka yang tidak bersekolah. UN membawa harapan agar seluruh siswa mencapai standar yang sama dalam pemahaman dan ilmu yang diperoleh. Bagaimana dengan anak-anak yang tidak bersekolah? Sungguh ironis.

Naif saya akui adanya perbedaan status sekolah yang secara signifikan melonggarkan jarak kualitas akademik antar sekolah di nusantara. Katakanlah ada sekolah dengan kategori standar nasional, hingga internasional. Saya sangat bangga dengan prestasi akademik yang dimiliki sekolah-sekolah dengan status-status internasional. Dengan penemuan-penemuan ilmiah buah pikiran siswa dengan dukungan fasilitas dan tenaga kependidikan yang berkualitas. Dan wah, saya justru lebih kaget lagi saat mendengar sekolah yang jauh berada dipelosok dengan siswanya yang masih bertelanjang kaki pergi menuntut ilmu ke sekolah ternyata mampu berkebun organik hasil kreativitasnya sendiri. Entah disadari atau tidak, kebun alami dan hidup alami yang mereka lakoni sangat didambakan masyarakat metropolis. Mereka (siswa pedalaman itu) bergaya hidup sehat dengan olahraga yang teratur dan makan makanan alami tanpa adanya pendidikan khusus dari buku teks atau seminar pertanian mengenai perkebunan organik. Selepas sekolah mereka harus segera ke kebun membantu orang tua. Jarak tempat tinggal hampir separuh waktu yang mereka butuhkan untuk belajar di sekolah, dan warassehat.com terus berkarya dan berkarya.

Hebat dan justru kehidupan alami mereka menjadi dambaan seluruh umat manusia yang ada di muka bumi. Dengan alam yang masih murni bebas dari polusi, air yang jernih dan kicauan burung liar penyejuk bathin. Kita masih menggali berbagai penemuan untuk berkebun organik, berusaha hidup seimbang dengan alam. Begitu susahnya membuang sampah pada tempatnya. Atau bahkan memisahkan sampah sesuai dengan perbedaannya yaitu sampah organik dan anorganik. Bahkan untuk membuang sampah pada tempatnya saja memerlukan aturan khusus yang mengikat. Jika dilanggar, sanksi tentu mengikuti. Lucu, buang sampah saja ada aturannya. Akhirnya wajar saja peraturan dibuat agar harapan hidup harmonis dan seimbang dengan alam dapat terpenuhi. Namun apakah manusia melaksanakan itu dengan kesadaran murni? Ah, sebaiknya kita bersyukur saja kalau-kalau lingkungan bersih akibat aturan-aturan itu.

Sebenarnya apa yang kita butuhkan dari sebuah system pendidikan? Teknologi yang dapat memperbesar ukuran beras dari yang beratnya hanya beberapa miligram menjadi satu kilogram? Ataukah membuat bom atom yang mampu membumi hanguskan kota layaknya Hirosima dan Nagasaki? Atau membuat propaganda politik dengan tujuan membunuh setengah penduduk negeri?

Ironi yang mungkin tidak bisa diterima akal sehat. Siapa bilang kita tidak butuh teknologi? Teknologi mengingatkan kita untuk mengagumi dan mensyukuri anugrah Tuhan. Belajar untuk mengatasi persoalan yang dialami manusia. Ya, ya, persoalan yang dialami akibat kemajuan teknologi. Dunia terus berputar. Seiring dengan perputaran dunia, manusia terus membuat karya yang mengguncangkan dunia. Manusia dengan segala keterbatasan yang membuatnya lebih kretif. Jepang sebuah Negara yang sering diguncang gempa dan mengalami empat musim dapat beradaptasi dengan begitu apik untuk mempertahankan pulaunya. Tanpa bermaksud membandingkan, mungkinkah kita terbuai kesuburan Indonesia. Begitu suburnya tanah nusantara sampai-sampai muncul istilah tancap tongkat tumbuh tanaman. Atau dengan kata lain dengan mudahnya segala seuatu yang kita tanam dapat tumbuh sehingga kita menjadi kurang bijak mengelola alam?

Manusia punya keinginan yang lebih. Kita berusaha menyamakan rasa dan karsa yang dimiliki orang-orang desa atau kota dengan daerah pedalaman, padahal jelas skala kebutuhan dan tingkat kenyamanan hidup yang dirasakan berbeda. Anak pedalaman menikmati hidupnya atau mungkin juga tidak, kita tidak tahu. Kita juga ingin agar bangsa ini tidak diolok-olok atau dimanfaatkan bangsa lain atau saudara sebangsa sendiri hanya karena kebodohan dan kerakusan yang secara alami masing-masing dari manusia memilikinya.

Anak pedalaman itu, seperti tidak punya masa depan karena memang ukuran atau standar nasional yang ditawarkan belum atau bahkan bisa dibilang tidak bisa mereka penuhi. Tetapi kita justru belajar banyak dari mereka mengenai pentingnya kesimbangan alam. Tragis dan menyedihkan. Apakah kita perlu mengajari mereka dengan teknologi penerbangan antariksa? Atau teknologi tinggi yang menyatu dengan kondisi alam dan kehidupan mereka? Atau wajib belajar mensinergikan antara tradisional dan modern.

Pertanyaan mendasar, adakah manusia yang tidak jelas masa depannya? Kita akan tersenyum kecil ketika mendengar seorang anak kecil berkata Saya hanya bisa bermain tanpa saya tahu apa yang akan terjadi nanti. Mensinergikan antara kearifan lokal dan modernisasi menjadi suatu hal yang mutlak. Mari kita renungkan bersama tentang dualisme ekstrim namun menggugah hati untuk lebih bijak memandang kearifan pendidikan lokal. Guru dimanapun berada memiliki peran sebagai fasilitator  yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Batang-batang lidi tampak sebagai media pembelajaran yang sederhana. Kesederhanaan batang-batang lidi mengungkap rahasia kebijaksanaan pendidikan yang didasari rasa tulus iklas.

 

Oleh                :  Wayan Sauri Peradhayana, S.Pd

  Guru Matematika SMA Tunas Daud Denpasar

Alamat           : Banjar Perean, Desa Perean, Kecamatan Baturiti, Tabanan, Bali

No Telp.          : 085237521160