Suasana sidang sengketa Pilpres 2024

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Publik Berharap, MK sebagai Mahkamah Konstitusi, MK Bukan lembaga Kalkulasi, dan MK Bukan pula sebagai “Mahkamah Keluarga”.

Hal itu dikatakan, I Gde Sudibya, pengamat politik, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, periode dimana perubahan konstitusi berlangsung, Kamis 4 April 2024.

Dikatakan, Publik menyimak, meresapi, mencatat, merenungkan, pendapat, pemikiran dari para saksi dalam sidang MK tentang perselihan Pilpres yang sedang berlangsung.

“Publik terinspirasi dari pernyataan saksi ahli, yang menggambarkan kadar intelektualitasnya dan bahkan “panggilan Kenabiannya” terhadap pokok perkara yang oleh berbagai pihak dinilai telah terjadi pelanggaran Pilpres dengan kategori TSM (Terstruktur, Sistemik dan Massif),” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, Mahkamah Konstitusi yang lahir dari gerakan reformasi 26 tahun lalu, menjadi penjaga terdepan (avant garda) konstitusi, menjaga proses demokrasi berbasis konstitusi.

Senyatanya, lanjut Sudibya, konstitusi (baca : UUD 1945 dan rangkaian perubahannya) merupakan “kitab suci” bagi setiap warga negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dikatakan, “Kitab suci” tidak boleh dinodai, kalau Kita tidak menginginkan anomali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan atau arah perjalanan bangsa melenceng jauh dari cita-cita proklamasi yang dirumuskan secara visioner oleh “the founding fathers”.

“Cita-cita keadilan sosial dalam masyarakat demokratis, jauh dari perilaku kuasa “adigung adiguna”, korup dan tidak berempati pada rakyat,” katanya.

Menurutnya, sudah semestinya 8 hakim konstitusi, yang mempunyai predikat negarawan (sesuai aturan dalam konstitusi), menjalankan “Dharmanya” “Fitrahnya” menjaga marwah, kewibaan Mahkamah, dengan memegang teguh aturan konstitusi, etika dan moral yang melekat dalam profesi sebagai Hakim Konstitusi.

“Publik mengharapkan 8 hakim konstitusi mampu mengemban peran kesejarahan ini, tidak sebatas ikut arus kepentingan yang membuat mahkamah sebatas “Mahkamah Kalkulator”, hanya berurusan dengan “tetep bengek” sebatas angka, dengan mengabaikan sebut saja “monster” yang mau “menelan” konstitusi,” katanya.

Dikatakan, mimpi buruk sebagai “Mahkamah Keluarga” , akibat “biang kerok” keputusan MK 90 (yang memalukan itu), hanya sebatas titik-titik hitam (dark numbers), dalam sejarah gelap MK.

“Kemuliaan keputusan 8 hakim MK ditunggu publik, untuk sedikit “mengobati” kekecewaan publik atas pelemahan KPK, lembaga yang juga merupakan “anak kandung” reformasi,” kata I Gde Sudibya, pengamat politik, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, periode dimana perubahan konstitusi berlangsung. (Adi Putra)