Sepasang turis berswafoto dengan latar belakang Gunung Tien Shan setelah turun salju di Almaty, Kazakhstan, 13 November 2018. (Foto: Reuters)

Bagaimana mencegah kematian akibat kecelakaan saat berswafoto?

Ironisnya, ponsel itu sendiri bisa jadi pencegah kematian akibat swafoto, kata dua orang pakar kedokteran.

Ratusan orang sudah kehilangan nyawa karena kecelakaan saat berswafoto demi menarik perhatian para pengikut atau follower media sosial. Namun teknologi ponsel yang menggunakan lokasi global positioning system (GPS) atau mengukur ketinggian, bisa dimanfaatkan untuk mencegah kejadian nahas tersebut, menurut dua pakar itu, seperti dilansir kantor berita Reuters.

Dalam surat yang diterbitkan dalam jurnal “Wilderness & Environmental Medicine”Dr Gerard Flaherty dan Michael Smith, keduanya dari Universitas Nasional Ireland Galway, membahas bagaimana ponsel bisa digunakan untuk mengirimkan peringatan keselamatan kepada para pengguna yang hendak berswafoto di lokasi-lokasi yang berbahaya. Misalnya, di ujung tebing.

“Berdasarkan lokasi GPS atau ketinggian si turis, kami bisa menyarankan mungkin ada ruang untuk memberikan pesan-pesan verbal kepada pengguna saat ponsel mereka dalam posisi kamera, dan memperingatkan mereka bahwa mereka sudah hampir jatuh,” kata Flaherty dan Smith dalam tulisan mereka.

“Dalam kasus-kasus demikian, fungsi kamera bisa dinonaktifkan sampai pengguna berpindah dari zona berbahaya yang dilarang berswafoto,” papar kedua pakar itu.

Menurut penelitian, India adalah negara nomor satu di dunia dengan tingkat kematian tertinggi akibat swafoto. Diikuti oleh Rusia dan AS. Kebanyakan korban adalah para pemuda berusia dua puluh tahunan.

Teknologi ponsel masih terbilang baru untuk sebagian besar masyarakat India. Ditambah dengan internet murah, makin banyak orang India yang mengunggah foto-foto mereka agar mendapat pengakuan dari rekan-rekannya. Dan ini menjadi salah satu alasan dibalik swafoto yang beresiko, papar Ponnurangam Kumaraguru, lektor madya di Institut Teknologi Informasi Indraprasta di New Delhi.

Beberapa pengunjung sedang berswafoto di pantai Mumbai. India adalah negara dengan jumlah orang yang tewas saat berswafoto yang terbanyak di dunia, 22 Februari 2016.
Beberapa pengunjung sedang berswafoto di pantai Mumbai. India adalah negara dengan jumlah orang yang tewas saat berswafoto yang terbanyak di dunia, 22 Februari 2016.

Kumaraguru dan timnya sedang mengembangkan solusi teknologi untuk mengatasi masalah tersebut, termasuk Saftie, sebuah aplikasi yang mendapatkan data urun daya dari para penggunanya yang menandai lokasi-lokasi yang mereka anggap berbahaya.

Dia percaya intervensi-intervensi semacam ini kemungkinan besar bisa efektif. Apalagi jika data yang terkumpul dimanfaatkan oleh aplikasi populer seperti Google Maps.

Flaherty dan Smith juga membahas tindakan pencegahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi kematian akibat swafoto, termasuk papan-papan peringatan dan pembuatan zona-zona dilarang swafoto. Pihak otoritas, seperti jagawana dan penyedia jasa layanan medis di alam terbuka, juga sudah dikerahkan untuk memberi saran kepada turis dan memastikan mereka menaati peringatan-peringatan tersebut.

Intervensi keselamatan juga bisa menarget kelompok-kelompok yang paling terdampak.

“Tidak banyak riset yang sudah dilakukan mengenai perbedaan gender dalam kaitannya dengan gangguan kesehatan dalam perjalanan. Akan sangat menarik untuk menelusuri lebih dalam perbedaan berbasis gender dalam turis-turis petualangan berisiko dan perilaku swafoto dalam studi berikutnya,” kata Flaherty kepada Reuters melalui email.

Meski demikian, Kumaraguru percaya ponsel yang menyebabkan kematian swafoto adalah alat yang paling positif untuk mencegahnya.

“Anda bisa membuat zona-zona dilarang swafoto, Anda bisa membatasi dengan spanduk, Anda bisa menyebarkan brosur-brosur, tapi apakah akan ada dampaknya?” tanya Kumaraguru.

“Tanpa ponsel, tanpa teknologi, bagaimana Anda menciptakan kesadaran untuk orang-orang dalam skala besar.”

Tapi Katrin Tiidenberg, seorang lektor madya dari jurusan Media Sosial dan Budaya Visual di Universitas Tallinn di Estonia, mengatakan kepada Reuters, dia yakin “kematian akibat swafoto terlalu dibesar-besarkan dan terlalu banyak diberitakan.”

Tiidenberg adalah penulis buku “Selfies: Why We Love (and Hate) Them (Swafoto: Mengapa Kita Menyukainya (dan Membencinya).”

Dia menambahkan “Beberapa orang berperilaku membahayakan. Memang itu benar sebelum swafoto. Jadi menurut saya, orang-orang harus dianjurkan untuk menyadari risiko di tujuan-tujuan wisata alam dan wisata yang berbahaya. Namun menurut saya tidak ada alasan untuk membesar-besarkan swafoto dengan menciptakan “zona larangan swafoto.” [ft/dw]

Sumber : VOA Indonesia