skype-to-facebook

Denpasar (Metrobali.com)-

Pertarungan sengit dua pasangan Capres-Cawapres, Joko Widodo-Yusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) untuk merebut kursi pemimpin nasional pada pilpres 9 Juli mendatang rupanya tidak hanya disuguhkan oleh kedua pasangan kandidat itu dalam pertarungan visi misi dan strategi pemenangan mereka.

Pertarungan sengit juga dimotori oleh pendukung masing-masing kandidat. Kampanye dukungan itu tidak hanya dilancarkan di ruang terbuka, tetapi juga menyasar jejaring sosial. 

Pertarungan di jejarinf sosial berlangsung lebih sengit, selain karena masyarakat dari beragam latar belakang sosial bisa turut serta menuangkan gagasannya, juga karena pertarungan itu diwarnai dengan kampanye yang melabrak etika, menggali kelemahan lawan politik tanpa fakta, dan menimbulkan keresahan sosial. 

Publik mengenal kampanye demikian sebagai kampanye Hitam yang belakangan ini menuai sorotan dan kecaman luas masyarakat.

Kecaman terhadap merebaknya kampanye hitam di jejaring sosial itu dilontarkan tiga ormas kemahasiswaan Bali yakni, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Denpasar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Denpasar, dan Gerakan Mahasiswa Krsiten Indonesia (GMKI) cabang Denpasar. 

Mereka menilai, ruang demokrasi yang terbuka lebar bagi seluruh komponen masyarakat, khusus untuk menyikapi hajatan pilpres mendatang hendaknya tidak dimanfaatkan dengan kampanye hitam. 

Cara berkampanye demikian, kata mereka, itu akan merobohkan sendi-sendi solidaritas sosial masyarakat, sebab publik tidak memperoleh nilai-nilai positifnya. Sebaliknya, kampanye hitam itu hanya menegaskan ketidakdewasaan berpolitik, dan memicu keterbelahan masyarakat.

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI cabang Denpasar Florentio Don Bosco Heppi mengatakan, perhelatan demokrasi berupa pilpres tahun ini, hendaknya menjadi kesadaran kolektif masyarakat. 

Bahwa perhelatan pilpres ini menjadi momentum menumbuhkan harapan baru bagi terwujudnya Indonesia yang dicita-citakan dengan melahirkan pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang mampu mewujudkan harapan kolektif rakyat. 

Karena itu, Tio, demikian mahasiswa UNUD ini disapa, mengharapkan agar masyarakat meniadakan kampanye hitam itu. 

“Kita harus menjunjung etika politik. Sikap picik yang mengedepankan kampanye hitam itu harus ditiadakan. Proses demokrasi ini jangan diwarnai dengan cara-cara negatif. Jangan tinggalkan jejak buruk ini bagi generasi selanjutnya,” kata Tio, Selasa (27/5).

Ketua HMI cabang Denpasar Aulia akbar Pulungan mengatakan kampanye hitam merupakan pilihan instan  karena masyarakat lebih mudah menerima informasi negatif, apalagi itu dikemas dalam bentuk lelucon. 

Menurut Aulia, fenomena masyarakat itu seharusnya tidak dibaca sebagai sebuah peluang sehingga harus melancarkan kampanye hitam itu. Masyarakat, kata Aulia, harus diberikan pendewasaan politik dengan meniadakan kampanye hitam itu. 

Lebih lanjut ia menilai kampanye hitam itu juga bisa menjadi senjata makan tuan. Kampanye yang berisi menjelek-jelekkan kandidat tertentu, kata dia, bisa menimbulkan antipati terhadap kampanye demikian, sebaliknya bisa memberi keuntungan politik bagi kandidat yang diserang itu. 

“Sebagai contoh, kasus pelanggaran HAM Prabowo yang selalu dipublish di media pada awal-awal pencalonannya malah meningkatkan elektabilitasnya karena pihak Prabowo selalu dapat menjawab dan memposisikan Prabowo sebagai pihak yang innocent,” kata mahasiswa UNUD ini.

Ketua GMKI cabang Denpasar Jhonius Nani Bulu menilai, merebaknya kampanye hitam menjelang pilpres ini mengindikasikan terjadinya keruntuhan moral masyarakat yang melancarkan kampanye hitam tersebut.

Menurut mahasiswa Universitas Warmadewa ini, persaingan pilpres seharusnya menjadi pertarungan ide dan gagasan untuk memajukan bangsa. 

“Harusnya pertarungan yang substansial. Kalau masih ada yang gemar melakukan kampanye hitam, menurut kami, pihak bersangkutan telah mengalami kegagalan moral. Perkembangan moralnya telah selesai pada titik yang paling rendah,” tandasnya. SIA-MB