Pesta Kesenian Bali ke 38

Denpasar (Metrobali.com)-

Seni merupakan salah satu unsur budaya universal. Prof. Dr. I Made Bandem secara teoretis menggolongkan seni ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu seni pertunjukan (tari, karawitan, pedalangan, musik, pencak silat, dan teater), seni rupa (lukis, patung, kriya, desain, instalasi, dan arsitektur), seni sastra (puisi dan prosa), dan seni sinematografi (film, video, dan animasi). Sebagai unsur budaya universal, setiap komunitas masyarakat budaya memiliki bentuk seni yang tertentu, mulai dari yang sederhana sampai yang modern.

Seni merupakan salah satu wujud produk budaya manusia yang berkaitan dengan sistem sosial masyarakat pendukungnya. Seni yang semula dikemas untuk memenuhi kebutuhan ekspresi seperti dalam PKB, kini berkembang menjadi komoditas industri. Meskipun demikian, masih jauh lebih banyak kesenian yang hidup di masyarakat yang mengarah sebagai ekspresi dan tidak mengarah kepada upaya sebagai mata pencaharian. Hal tersebut dimungkinkan adanya karena seni merupakan suatu kebutuhan untuk memperhalus budi, rasa, dan karsa.

Media (massa), khususnya pers, sesuai peran dan tanggung jawabnya sebagai avant garde secara cermat dan kritis telah melakukan konstruksi terhadap terbangunnya infrastruktur kebudayaan, begitu pula kebudayaan Bali dalam PKB tahun ini. Pers berupaya seobjektif mungkin meliput dan menyeleksi suatu kejadian dan permasalahan dengan kerangka referensi tertentu, yakni kerangka referensi yang menjadi visi dan editorial policy (kebijakan) editorial dari setiap media (massa). Oleh sebab itu, objektivitas absolut tidak ada dalam pekerjaan pers, melainkan objektivitas yang subjektif.

Meskipun demikian pers dengan seksama dan penuh pemahaman, selalu mengikuti perkembangan serta membuat perbandingan antara realitas masyarakat dengan kebijakan pemerintah terhadap PKB dengan beragam program seni dan budayanya. Namun, acapkali pers hanya mampu melahirkan wacana kritis semata di tengah masyarakat terhadap PKB, karena dalam kenyataannya kebijakan yang diterapkan seringkali tidak mampu terlaksana dengan baik.

Kebebasan pers punya tanggung jawab mencerdaskan dan memberdayakan serta sekaligus membangkitkan kesadaran masyarakat dalam menjunjung tinggi nilai moral bangsa, karena pers memang punya peran strategis bagi penguatan jati diri budaya bangsa dalam kehidupan demokrasi masyarakat yang multikultur. Kontribusi kajian dari pendapat teoretisi dan para kritikus media ini mampu memberikan pemahanan tentang nilai-nilai kultural media dalam mengonstruksi etnisitas kultural masyarakat sebagai pembentuk karakter bangsa yang mandiri dan berdaya saing global. Sebagai “pisau” analisis dalam menelaah dan membedah persoalan yang terkait dengan media pers mulai dari sejarah, visi dan misi, sekaligus faktor pemengaruh perkembangannya secara internal berupa ideologi dan idealisme, serta secara eksternal melalui ekonomi dan politik dalam mengonstruksi realitas kultural.

Memasuki era reformasi, era pasar bebas dan globalisasi, identitas media (pers) sebagai agent of socialchange memainkan peranan yang optimal dalam rangka membangun kepemerintahan yang baik (good governance). Realitas sosial dan budaya termasuk PKB dalam berita media menjadi sebuah cerita bersambung yang memiliki dimensi politik dan ekonomi. Karena adanya berbagai kecenderungan otoritas eksternal untuk membatasi dan mengatur media yang bersifat konformis atau kritis terhadap otoritas yang mapan.

Atas dasar itulah, media perlu diawasi secara publik, supaya dapat menggunakan potensinya untuk mengritisi secara tepat guna sesuai dengan situasi dan kondisi, serta tidak sampai mengganggu dan membentuk opini publik yang favorable. Ini artinya media harus berpijak pada kebenaran yang sesungguhnya, tanpa ada yang dikurangi, serta dilebih-lebihkan, sehingga dapat memberikan fragmentasi positif demi terwujudnya masyarakat yang demokratis dengan indikasi kesadaran publik yang tinggi.

Media sebagai poros aktivitas informasi dan komunikasi berfungsi menjalankan fungsi politik, ekonomi maupun sosial budaya sesuai kepentingan politik dan ideologi media. Bahkan dapat memicu dimensi wacana publik politik bahasa media sebagai medium hegemoni produsen budaya yang berorientasi keuntungan. Proses demokrasi maupun representasi publik semakin berkurang kalau kekuatan kapitalisme media semakin menggurita dan cenderung mengabaikan rasa keadilan dan demokrasi hingga memicu persoalan dislokasi budaya karena tercerabut dari akarnya seperti dalam PKB tahun ini.

Media juga dianggap sebagai media alternatif dalam mengawasi kinerja dan kebijakan negara untuk mengatasi beragam persoalan bangsa, mulai dari ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga tertinggi/tinggi negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di samping itu, terhadap belum akomodatifnya konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar 1945 dengan perundangan yang berlaku terhadap dinamika perubahan masyarakat, serta maraknya konflik massa baik vertikal maupun horisontal, sehingga semakin menguatkan gejala disintegrasi bangsa dan semakin maraknya berbagai tindakan kekerasan dan aksi massa yang acapkali memaksakan kehendak dari kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

Media tumbuh bukan sekadar sebagai alat sosial, politik, dan budaya, melainkan juga sebagai perusahaan yang berorientasi keuntungan ekonomis. Maka dari itu, media punya dwi karakter, yakni sebagai karakter sosial budaya, politik dan karakter ekonomi. Bahkan faktor ekonomi tampil sebagai penentu kebijakan media (pers) dalam mengonstruksi realitas sosial budaya PKB. Pandangan teoretis ekonomisasi media (pers) dapat dipahami dari berbagai perspektif seperti ekonomi dan industrial dalam karakter media, perspektif ekonomi politik media berbasis kapitalisme dan komersialisasi media, perspektif normatif dari struktur media dan kepentingan publik, perspektif institusi media dari segi profesionalisme, serta perspektif politik, ekonomi, dan teknologi.

Aspek ekonomi politik media muncul karena permintaan dari pengelola media atau pemilik modal yang ingin mendapatkan margin keuntungan dari biaya yang telah dikeluarkan atau investasikan sebelumnya. Dalam rangka memaksimalkan keuntungan itulah acapkali harus mengorbankan objektivitas berita, sumber berita berbasis konflik kepentingan, serta mendongkrak pencitraan bagi pengelola media atau pemilik modal secara publik ketika sedang mengalami masalah.

Pada tataran global, nilai kearifan lokal dalam konstruksi PKB berpotensi bersinergi dengan nilai-nilai universal yang modern. Persoalan pembangunan kebudayaan berkaitan dengan tantangan globalisasi dan penguatan ketahanan budaya masyarakat yang sering mengalami stagnasi. Di mana, globalisasi sebagai proses alami tidak dapat dihindari, akan tetapi harus diantisipasi melalui revitalisasi kebudayaan. Revitalisasi kebudayaan dalam konstruksi PKB merupakan proses, upaya, dan tindakan menggiatkan atau menghidupkan kembali kebudayaan suatu masyarakat. Proses menghidupkan kembali direalisasi dalam kegiatan konservasi, pewarisan, pengembangan dan penguatan jatidiri. Penguatan jatidiri masyarakat berpotensi dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai tradisi, kesejarahan, seni, religi, pengetahuan, dan teknologi. Revitalisasi kebudayaan dalam konstruksi PKB juga merupakan kegiatan objektifikasi, pembingkaian, dan komodifikasi yang melibatkan dan mengembangkan masyarakat pendukungnya.

Dalam kaitan itu, media dalam mengonstruksi realitas sosial budaya PKB  sangat erat kaitannya dengan struktur politik yang kuat dan kekuatan ekonomi yang berlaku. Ini karena media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi, serta keduanya menjadi objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Selain itu, media tidak terlepas dari peraturan politik, ekonomi dan hukum, serta media secara umum dianggap instrumen yang diagungkan dan dianggap efektif bagi kekuasaan, dan kekuatan media sangat tegas untuk menghasilkan apa yang dikehendaki.

Pengaruh media (media effects) merupakan bentuk perubahan atas kesadaran, sikap emosi atau tingkah laku publik baik bersifat individu maupun golongan atau kelompok dari berbagai kalangan masyarakat. Perkembangan pemikiran dan teori mengenai pengaruh media berlangsung secara alamiah sesuai dengan setting waktu, tempat, faktor lingkungan, perubahan teknologi, peristiwa sejarah, kegiatan kelompok penekan, para propagandis, kecenderungan opini publik, serta beragam penemuan dari perkembangan kajian ilmu sosial.

Konstruksi pemberitaan PKB terjadi akibat hadirnya beragam informasi publik melalui media yang melakukan penetrasi terhadap nilai lama kebudayaan sebagai identitas bangsa yang telah melekat dalam tata nilai dan perilaku kehidupan masyarakat seperti sopan santun, saling menghargai antarsesama, dan musyawarah mufakat, serta gotong-royong. Masifnya penetrasi itu ketika kebudayaan lama tidak mampu membendung terjadinya konstruksi budaya baru dalam PKB dengan nilai baru melalui media.

Kebudayaan lama yang terbentuk dari kehidupan masyarakat tradisional dengan keagungan nilai adiluhung seperti kesenian klasik dan tradisi telah mengalami krisis identitas atau kehilangan generasi penerusnya, karena desakan budaya baru sebagai akulturasi budaya berbasis kebudayaan Barat (budaya asing) yang berasal dari berbagai negara di dunia, seperti video game, tren musik Korea, dan lainnya. Dampaknya, terjadi degradasi budaya berupa pergeseran tata nilai dan perilaku masyarakat yang berorientasi kepentingan ekonomis karena terhegemoni kapitalisme global.

Di samping itu, PKB seharusnya juga dapat meningkatkan hubungan publik yang simpatik dalam upaya membangun kekuasaan yang bersinergi, sehingga memicu tumbuhnya masyarakat dengan karakter kolektif yang santun, damai, dan bermoral. Dalam upaya strategis mencegah pengaruh negatif arus seni-budaya global terhadap pola perilaku masyarakat dalam proses pelestarian dan pengembangan seni-budaya baik tradisional, klasik, modern, maupun kontemporer, sehingga terbangun diplomasi pers dan budaya yang kuat dalam membangun sikap kritis terhadap idealisme antara pers dengan pemerintah (kekuasaan) bagi pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali sebagai pusat kebudayaan dunia. Namun, kenyataannya terungkap bahwa konsep ideal itu rupanya masih sebatas wacana dalam media.

Dalam konteks ini, pemerintah (negara) dan masyarakat, serta kaum intelektual, akademisi, budayawan, termasuk para seniman memiliki peran sangat strategis untuk mengonstruksi kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal daerah khas Bali dalam PKB sebagai identitas bangsa agar tidak mengalami krisis kebudayaan. Konstruksi itu dapat diwujudkan dengan menciptakan nilai kemanusiaan universal dengan menghargai keragaman budaya, keyakinan, pikiran, ide atau gagasan.

 

Roadmap PKB : Antara Harapan,Tantangan dan Hambatan

Seni-budaya sebagai warisan leluhur yang adiluhung ke depan dipastikan akan semakin berat dan penuh dengan tantangan, karena interaksi modernisasi budaya global semakin kebablasan. Kebudayaan sebagai nilai-nilai (values) dalam beragam persepsi kehidupan masyarakat berkaitan dengan aspek kejiwaan atau psikologis yang dapat memengaruhi sistem kebudayaan. Di mana media hadir sebagai kekuatan strategis dalam menyebarkan informasi dari sikap dan norma sosial dari sistem kebudayaan masyarakat.

Seni-budaya dalam PKB sejak 1978 silam oleh Ida Bagus Mantra (alm) pada dasarnya sebagai usaha melestarikan kesenian tradisional khas Bali yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Bali. Selain itu, PKB juga untuk merangsang pengembangan dan pembinaan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat dan sekaligus meningkatkan kreativitas kreatif seninya terutama kalangan seniman sehingga mampu menghasilkan karya seni berkualitas dan dapat membawa perubahan sikap mental dalam kehidupan masyarakat.

Media dalam mengonstruksi dinamika sosial budaya termasuk PKB untuk mengetahui, memahami, dan menghargai prestasi atau pencapaian kebudayaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan warisan para leluhur melalui proses inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi.

Orientasi masyarakat Bali dalam berkesenian berawal dari perubahan kebudayaan masyarakat dari agraris (tradisional) ke industri pariwisata. Seni pertunjukan Bali yang disajikan dalam konteks upacara ritual keagamaan di Pura atau dalam konteks sosial berubah demi kepentingan ekonomi (pariwisata). Dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni-budaya tradisional tersebut Ida Bagus Mantra (almarhum) di tahun 1978 mencetuskan terselenggaranya ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) dan berlangsung secara reguler tahunan hingga sekarang. Beragam potensi seni-budaya tradisional khas setiap daerah secara reguler tahunan disajikan dalam ajang PKB sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Dengan demikian seni-budaya tradisional khas daerah dapat tetap eksis sepanjang zaman. Bahkan, upaya pelestarian dan pengembangan seni-budaya tersebut dapat melahirkan beragam potensi seni-budaya kebaruan setiap tahunnya dalam upaya memperkaya khazanah kebudayaan bangsa khususnya Bali. Seni-budaya sebagai bentuk perilaku (tindakan) masyarakat yang berawal dari pengalaman (habitus) yang kemudian berubah menjadi cultural capital (modal budaya) dan disinergikan dengan ranah pariwisata sehingga mampu menghasilkan pendapatan economic capital (modal ekonomi).

Kehadiran dan perkembangan sektor ekonomi modern telah menghasilkan kelompok generasi muda terdidik yang profesional. Artinya mampu mengimplementasikan pengetahuannya secara produktif, serta efisien dalam produksi, distribusi, jasa, dan managemen, sehingga tuntutan terhadap profesionalisme media (pers) semakin tinggi. Perkembangan ekonomi sangat cepat memengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Apabila tidak dikontrol atau dibatasi dapat menciptakan budaya konsumtif dan hedonis dalam kehidupan masyarakat termasuk pada PKB yang telah menggeser budaya tradisi dengan konsep ngayah menjadi budaya populer yang berorientasi ekonomi kapital.

Interaksi modernisasi terhadap kebudayaan melahirkan ekonomi kreatif berbasis kearifan budaya lokal berdaya saing global yang dapat mendorong peningkatan perekonomian bangsa tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai warisan budaya adiluhung bangsa. Ekonomi kreatif dalam PKB dapat mengeksplorasi, mengolah, mengemas, dan mentranformasikan keragaman dari produk warisan budaya secara profesional dan modern. Selain itu, sebagai modal dalam meningkatkan pendapatan nasional melalui pariwisata budaya demi kesejahteraan masyarakat sekaligus sebagai sumber inspirasi membangun masa depan lebih baik tanpa mengulangi kesalahan masa lalu sebagai modal sosial kultural dan modal kapital.

Pengembangan nilai-nilai seni-budaya dalam PKB bagi dunia pendidikan sangat penting sebagai pencetak karakter bangsa yang cerdas, kreatif dan kompetitif. Mengingat nilai-nilai seni-budaya dalam PKB berkaitan dengan perilaku tentang kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial dan lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab, serta lainnya, berdasarkan spirit kesucian, kebenaran, dan keindahan. Munculnya krisis moral di tengah masyarakat bersamaan dengan menguatnya orientasi kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi memicu disintegrasi bangsa menunjukkan lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya. Indikasi rendahnya rasa saling percaya di tengah masyarakat akibat dari belum terbangunnya cara berpikir positif dan kurangnya pemahaman, lemahnya sikap, dan makin lunturnya etika dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta bernegara.

Perubahan pola pikir dan tingkah laku masyarakat menumbuhkan ketidaksamaan (inequalities) dan ketidakadilan atas kesenjangan sosial budaya dalam PKB. Masyarakat pun lebih memilih kebudayaan baru yang bernilai lebih praktis dan ekonomis dibandingkan budaya lokal. Di samping itu, seiring desakan arus globalisasi masyarakat dalam konteks seni-budaya lebih cepat mengadopsi budaya global yang negatif jika dibandingkan dengan budaya global yang positif dan produktif, sehingga nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan, dan rasa cinta tanah air yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa cenderung semakin memudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme.

Ini artinya, pendidikan seni-budaya dituntut secara terus menerus berkembang seiring perubahan dari peradaban zaman, dengan beragam informasi dan kemajuan teknologi. Melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai tradisional adiluhung dan etika kehidupan berbangsa. Sebagai upaya menumbuhkan kewirausahaan yang progresif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengembangkan pendidikan multikultur untuk meningkatkan toleransi di tengah masyarakat sehingga setiap perbedaan dapat disikapi secara arif dan bijaksana.

Kebudayaan dalam konstruksi PKB secara utuh sebenarnya meliputi pola pikir (mind set) suatu masyarakat terkait segala perilaku kehidupannya di masa lampau, masa kini dan masa depan, yang banyak terekspresikan melalui aneka-ragam dimensi kesenian. Sebagai salah satu wadah dominan untuk mengartikulasikan kebudayaan tak berwujud (intangible culture). Makna pelestarian kebudayaan konstruksi PKB dalam media bukan berarti menjaga keaslian tetapi bersifat dinamis yang meliputi pembinaan, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pembinaan kebudayaan dalam upaya peningkatkan kemampuan kecerdasan, kepribadian, kreativitas, dan keterampilan dari pemilik dan pendukung kebudayaan bangsa melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal, pelatihan, dan penataran.

Dalam kaitan ini, seni-budaya berarti dapat memberi manfaat ekonomis bagi keseimbangan kemaslahatan (kesejahteraan) masyarakat sebagai modal utama dalam memperkokoh identitas kultural di era kapitalisme global terkini. Agar mampu survive dengan beragam kearifan lokalnya baik bersifat tangible (benda) maupun intangble (tak benda) sesuai nilai dialektika dan estetis filosofisnya dalam mengubah pandangan hidup, perilaku masyarakat sebagai peneguh identitas atau memori kelektif suatu bangsa.

Pemberdayaan pelaku budaya akan mendorong peningkatan ketersediaan serta keterjangkauan layanan pelaku budaya dan masyarakat pendukung terhadap warisan budaya dan karya budaya. Secara bersamaan akan terjadi peningkatan mutu karya dan pelaku budaya, serta layanan dalam pelestarian warisan budaya. Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman masyarakat akan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan serta diplomasi budaya dapat mendukung terwujudnya karakter dan jatidiri bangsa yang memiliki ketahanan budaya, serta meningkatnya peran pelaku budaya dalam melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan di tengah peradaban dunia yang dikonstruksi dalam PKB.

Dalam konteks ini, mengidentifikasikan bahwa untuk menjawab tantangan pembangunan kebudayaan di masa depan melalui pemberdayaan pelaku budaya guna melestarikan kebudayaan dan upaya merealisasikan target kinerja kerja kebudayaan tentunya dituntut sebuah strategi pemberdayaan pelaku budaya secara masif, terstruktur, dan sistemik, di antaranya: (1) Menyadarkan pelaku budaya akan peran penting mereka; (2) Meningkatkan kerjasama antar pelaku budaya dan masyarakat pendukung; (3) Meningkatkan peran pemerintah dalam dukungan kepada inisiasi para pelaku budaya, serta (4) Mensinergikan kerja pelaku budaya, masyarakat, dan pemerintah sebagai satu kesatuan ekosistem kebudayaan.

Dengan kata lain, bahwa peran pelaku budaya dalam rangka pelestarian budaya masih perlu ditingkatkan dengan prioritas pada pembenahan kinerja kebudayaan yang dikonstruksi dalam PKB ke depan. Mengingat, pemberdayaan pelaku budaya merupakan awal dari penguatan peran mereka dalam melestarikan kebudayaan yang dicirikan antara lain dengan meningkatnya peran pelaku budaya dalam melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan dan PKB sebagai pencetak karakter bangsa demi daya saing bangsa di tengah peradaban budaya dunia.

Menyingkirkan kebudayaan dan PKB untuk tidak menjadi bagian penting sekaligus integral dari dinamika pembangunan, berarti pula mengabaikan terbentuknya bangsa yang berkarakter, bangsa yang memiliki identitas diri dan keyakinan diri bersaing dengan bangsa lain. Ketidakpercayaan sebuah bangsa pada budaya sendiri akan melahirkan generasi yang gamang dan mudah terombang-ambing zaman. Mereka hanya akan menjadi pemakai, peniru, dan bukan pencipta sekaligus kreator yang handal. Untuk itulah, kita memerlukan roadmap PKB ke depan sebagai rumusan baru tentang sikap dan perilaku berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat guna mengonstruksi seni budaya melalui kerja kebudayaan cerdas dan kritis dalam PKB di zaman yang semakin canggih dengan teknologinya, namun juga sarat persoalan yang tak mudah dirampungkan.

Hal ini tentunya sebagai upaya mewujudkan sembilan agenda prioritas dari program Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo, yakni untuk “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Agenda yang digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Adapun sembilan agenda prioritas “Nawa Cita” tersebut terdiri atas: Pertama, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan, melakukan revolusi karakter bangsa. Kesembilan, memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Dalam era kekinian, guna mewujudkan revolusi mental terhadap kerja kebudayaan dalam konstruksi PKB masa depan, pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi.

Oleh karena itu, kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, dituntut mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa dalam konstruksi kebudayaan dan PKB; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan yang good governance, menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/ responsive), serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global) dengan membangun birokrat berjiwa entrepreneur, pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat).

Di samping itu, perlu ditingkatkan koordinasi program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara untuk meningkatkan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik, budaya dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional. Dengan kata lain, dalam mengonstruksi kebudayaan dan PKB harus adanya keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientasi pada hak orang banyak). Partisipasi ini memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat di antaranya: (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakater dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Mengingat, persentuhan budaya itu adalah konfigurasi dari berbagai koalisi, akulturasi, dan integrasi yang terjadi dalam proses dialektika tesis, antitesis, dan sintetis. Terlebih, membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan, tetapi harus dididik, diajari dan diedukasi secara terus menerus.

Dalam konsteks ini, kebudayaan dan PKB sebagai penghidupan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dengan kreativitas industri kreatif harus terus dikembangkan sebagai potensi strategis untuk menggerakkan roda perekonomian bangsa. Karena, kita dikenal sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan beragam. Hal ini terjadi karena terdiri atas berbagai kelompok, mulai kelompok yang berbasis kesukuan, keagamaan, maupun basis sosial lainnya. Kelompok-kelompok ini pula yang memungkinkan lahirnya beragam kebudayaan.

Keragaman budaya, di satu sisi, merupakan kekayaan yang membanggakan dan dapat dijadikan sebagai titik tolak pengembangan kebudayaan yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebaliknya, keragaman juga dapat menjadi potensi retaknya bagi bangsa, ketika kebudayaan yang beragam dimaknai sebagai sumber ketegangan dan konflik antarkelompok. Oleh karena itu, kita patut bersyukur, karena kebudayaan dengan empat aspek, yaitu: kognitif, estetis, etis, ekspresif menjadi arus utama pembangunan karakter bangsa. Hanya bangsa yang memiliki kebudayaan dan peradaban unggullah yang dapat memiliki martabat lebih baik dibandingkan yang lain. Apalagi, sebagian dari kita dalam konstruksi kebudayaan dan PKB di tengah peradaban global acapkali larut dalam konsumsi produk modernitas, tanpa pernah tahu dan mungkin tidak peduli apa yang akan menjadi dampaknya bagi kehidupan keluarga dan masyarakat ke depannya.

Upaya pengembangan, penggalian dan pelestarian kebudayaan bangsa dalam konstruksi PKB merupakan rangkaian kegiatan yang panjang dengan berbagai permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak pihak. Agar dapat mencapai hasil yang diharapkan tentunya harus dilakukan dengan langkah-langkah terpadu, komprehensif, mulai dari hulu sampai ke hilir dengan melibatkan semua stakeholders (pemerintah, peneliti, pelaku usaha, kalangan profesi dan masyarakat) dengan tetap berlandaskan pada kewenangan dan tugas, keahlian dan kemampuan masing-masing

Hal ini sebagai upaya mewujudkan sembilan agenda prioritas dari program Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo, yakni untuk “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Agenda yang digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Roadmap PKB 2016-2020 merupakan penuntun arah, tujuan dan tahapan pengembangan upaya pelestarian kebudayaan dan seni budaya dalam PKB secara berkelanjutan agar mampu mencetak karakter bangsa yang berbudaya dan bermartabat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa di tengah peradaban budaya dunia dengan kemajuan teknologi serba canggihnya.

Di samping itu, juga sebagai acuan dan penuntun teknis tahapan pengembangan kebudayaan bangsa dalam konstruksi PKB secara komprehensif yang dirumuskan dari visi, misi dan program jangka pendek, menengah dan panjang agar memiliki bernilai ekonomis sesuai dengan arah kebijakan prioritas bangsa yang telah ditetapkan oleh presiden Joko Widodo, yakni Nawa Cita.

Roadmap ini juga dapat dijadikan acuan bagi semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penyusunan dan pelaksanaan program kegiatan kebudayaan dan seni budaya dalam konstruksi PKB ke depan sesuai dengan kompetensi, tupoksi dan kewenangan masing-masing.

Pada akhirnya, sebagai kata kunci kinerja cerdas dan kritis dari kerja kebudayaan dalam roadmap PKB ke depan adalah sudahkah kita bekerja dengan sentuhan hati secara jujur dan menjunjung tinggi kebenaran serta nilai etika dan memuliakan kemanusiaan demi kemaslahatan publik, kesejahteraan berkeadilan dan bermartabat dalam mengonstruksi program PKB secara berkelanjutan demi upaya mencetak karakter generasi emas bangsa di tengah peradaban budaya dunia.(wb)