atribut-kampanye-dan-bendera-partai-politik-ilustrasi-_121016202449-202

Mangupura (Metrobali.com)-

Pelaksanaan pilkada serentak di Kabupaten Badung sangat rawan dengan politik uang. Oleh karena itu, Panwalus Badung meminta kepada warga Badung agar berhati hati menerima uang dan mengarahkan mencoblos untuk pasangan tertentu.

Hal yang sama juga diungkapkan pengamat politik Dr. I Nyoman Subanda. Ia mengatakan, selain politik uang tidak punya etika dan melanggar aturan, juga hasil pemilihan kepala daerah nanti tidak berkualitas. ”Karena itu, jangan suara Anda mau dibeli 200 ribu s.d  250 ribu rupiah,” kata Subanda.

Pihaknya mengingatkan, pemilihan kepala daerah di Kabupaten Badung ini sangat rawan dengan politik uang. Ini jelas kentara, bahwa ada calon yang punya dana besar dan ada calon yang punya dana kecil. ”Karena itu, pilihlah calon pemimpinmu sesuai dengan pilihan hati nuranimu,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPU Propinsi Bali I Dewa Wiarsa Raka Sandi menyarankan kepada warga tidak Golput. ”Lakukan hak pilihmu secara baik dan benar,” kata Raka Sandi. Pelaksanaan pilkada serentak di Bali akan berlangsung 9 Desember 2015 besok. Keenam kabupaten dan kota yang akan memilih pemimpin baru yakni Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Karangasem, Bangli, dan Kota Denpasar. Pagi pagi sekali warga diharapkan berduyun duyun datang ke tempat pemunguran suara (TPS).

Sekretaris Tim Pemenangan Nyoman Giri Prasta – Ketut Suisa (GirAsa) nomor 1 AA Eka Darmadi juga menekanan kepada pendukung militan jangan tergiur dengan iming-iming uang dari Paslon lain. Satukan pilihan untuk kemenangan hebat pertama di Badung. ”Jangan tolah tole lagi, fokuskan untuk satu pilihan, ”kata Eka Darmadi.

Sementara itu, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Nasrullah menegaskan, pihaknya tidak akan membiarkan politik uang (money politics) menodai pelaksanaan Pemilukada 2015. Pelaku politik uang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap bisa dijerat sanksi pidana.

Bawaslu berencana memperketat sanksi politik uang lewat ketentuan peraturan dan pengawasan. Pidana sembilan bulan bagi pelaku money politics dinilai terlalu kecil dan tidak membuat jera para politisi jahat dibalik maraknya politik uang.

“Kami akan mendorong penegakan hukum untuk memproses hukum pelaku politik uang berdasarkan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jika perlu, pemerintah mengadakan sanksi pidana Pemilu yang hingga saat ini belum ada,” kata Nasrullah.

Menurut Nasrullah, UU No. 8 Tahun 2015 memang tidak spesifik menyebutkan adanya ketentuan sanksi pidana terhadap pelaku politik uang. Namun, itu bukan berarti politik uang dibiarkan begitu saja. Karena semangatnya pemilu, maka Bawaslu mendorong pelaku money politic dipidanakan berdasarkan KUHP sangat.

Pasal 149 KUHP berbicara mengenai suap dalam proses pemilihan dengan saksi hukuman penjara bagi pelakukanya. Dalam kasus temuan politik uang, masyarakat dengan membawa bukti kuat dapat melaporkan kepada Bawaslu untuk kemudian ditindaklanjuti oleh penegakan hukum.

Bawsaslu membuka kotak pengaduan politik uang dan mendorong agar laporan tersebut ditindaklanjuti oleh penegak hukum seperti kepolisian maupun kejaksaan. Bawaslu berencana mencantumkan lebih tegas soal haramnya politik uang dalam Peraturan Pengawasan Pemilu (Perbawaslu).

“Ini kan soal semangat penegakan hukum. Memang kalau lihat aturannya, Bawaslu dibatasi, tetapi perlu diingat kalau semangatnya penegakan hukum maka perlu ada terobosan dari Bawaslu,” ujarnya.

Anggota Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan, praktek politik uang merupakan ancaman ancaman terhadap masa depan demokrasi Indonesia dan masa depan kesehajteraan masyarakat. “Pola gadai suara ini akan membahayakan demokrasi, perilaku politik peserta pemilu dan kesadaran pemilih juga akan bahaya masa depannya. Ini harus disadari sejak awal,” katanya.

Untuk memangkas mata rantai money politics itu, Sunanto mengimbau pengawas pemilu hadir di tengah masyarakat dan memberi pemahaman yang benar. Selain itu, keberanian masyarakat untuk melaporkan aktivitas politik uang juga merupakan upaya menyelamatkan masa depan demokrasi.

Dosen ilmu politik Universitas Nasional Hendrawan Tahir menilai, saat ini proses penanganan tindak pidana pemilu politik uang secara materiil cukup suliit dan kurang memungkinkan untuk diajukan ke pengadilan. “Ini yang membuat para pelaku politik dagang sapi berkeliaran dan uang bertebaran saat pemilu dilakukan,” ujarnya.

Pasal 149 KUHP berbunyi: “Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah.”

Meski tidak ada pidana khusus pemilu yang bisa dipakai menjerat pelaku politik uang, namun pasal a quo bisa digunakan karena berbicara soal pemilihan. Konsekuensinya, penegakan hukum melalui proses peradilan umum. Menurut Hendrawan, pasal tersebut bisa digunakan untuk menjerat pelaku jual beli mahar politik untuk pencalonan kepala daerah. RED-MB