PERHELATAN Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Bali memang baru akan dilaksanakan pada tahun 2013 mendatang. Namun geliat dinamika masyarakat menyongsong pesta demokrasi tersebut mulai muncul dalam berbagai bentuk, termasuk berpolemik melalui media massa. Dengan sikap kritis masyarakat yang semakin meningkat, berbagai penilaian terlontar atas kinerja pemimpin daerah saat ini, dari berbagai sudut pandang yang tentu saja cenderung bersifat subyektif. Di sisi lain, bermunculan pula berbagai harapan atas sosok ideal pemimpin Bali.

Ada tiga dimensi sosiologis masyarakat Bali yang harus menjadi perhatian serius guna menentukan arah kepemimpinan ke masa depan, yaitu pertama, Bali memiliki masyarakat religius, sehingga kaya akan ajaran-ajaran kemuliaan kehidupan, dan nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, Bali adalah daerah terbuka, tujuan wisata internasional, sehingga interaksi dengan komunitas internasional global menjadi sangat intens, dan ketiga, Otonomi daerah memberikan ruang bagi pemimpin Bali untuk berkreasi dan berinovasi sesuai potensi daerah.

Kita semua sepakat, seorang Pemimpin Bali harus memahami Bali seutuhnya. Berbagai syarat normatif harus dipenuhi, mulai dari kemampuan mengimplementasikan ajaran kepemimpinan Hindu Astabrata, serta lainnya, kemudian nilai-nilai kearifan lokal lainnya yang menyangkut integritas karakter manusia Bali seperti tidak nyapa kadi aku, rendah hati, jujur, satya, memahami catur paramitha, menerapkan tri kaya parisuda, menegakkan tri hita karana, dan banyak lagi lainnya, dan tidak ketinggalan memiliki semangat jengah untuk ngayah nindihin gumi bali.

Sifat-sifat itu adalah sifat kedewataan yang diharapkan dimiliki oleh manusia. Setiap individu  memiliki keterbatasan, amat terikat oleh ruang dan waktu, dan tentu saja tidak sesempurna itu. Ketentuan normatif mungkin dapat dipahami, tetapi dalam praktiknya berbagai faktor berpengaruh sehingga mengubah arahnya. Seorang pemimpin dituntut mampu menyelesaikan berbagai masalah secara tepat dan dalam waktu yang cepat. Ia juga harus mampu memenuhi aspirasi masyarakatnya dalam setiap kesempatan, dan dalam berbagai bentuk. Tentu hal tersebut tidak mungkin dipenuhi dengan sempurna! Ada keterbatasan, ada kekurangan, bahkan ada kesalahan.

Pemimpin dilahirkan oleh zaman dan masanya. Pemimpin tempo dulu tentu harus memimpin masyarakat sesuai dinamika saat itu, demikian pula pemimpin masa kini harus menerapkan metode kepemimpinan yang cocok dengan perkembangan sekarang. Kompetisi global menuntut seorang pemimpin harus berwawasan global, visioner, inovatif, dan kreatif. Heterogenitas sosial yang tinggi menuntut pemimpin harus mengayomi semua golongan, membangun koordinasi, menciptakan sinergitas dan jejaring seluas-luasnya. Terlebih dalam membangun demokrasi, seorang pemimpin harus mampu mengayomi semua golongan dan aspiratif. Untuk itu pengalaman nasional dan global turut menjadi prasyarat guna melahirkan kompetensi tersebut.

Siklus waktu kehidupan saat ini menurut ajaran agama Hindu, sesuai karakteristik yang ditampilkan adalah zaman kaliyuga. Sementara perkembangan global yang ditandai 5 T (trade, telecomunication, transportation, technology, and tourism), telah turut mengubah sikap dan perilaku manusia menjadi materialistis, pragmatis, dan hedonis. Ketika perilaku tersebut mengglobal, maka karakter integritas individu akan tergerus, serta harmonisasi kehidupan sosial juga menjadi tercabik. Kehidupan sosial terancam  chaos. Dalam kondisi inilah, menurut agama Hindu, Bhatara Wisnu menjelma menjadi awatara menyelamatkan umat manusia dan seisi dunia.

Dalam konteks kekinian, pemimpin Bali tidak boleh larut dalam perilaku materialistis, pragmatis, dan hedonis tersebut, yang dicerminkan antara lain oleh menumbuhkan iklim KKN (korupsi, kolusi, nepotism), sombong, bergaya hidup mewah, mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok, otoriter, serta beribu sifat-sifat negatif lainnya. Pemimpin Bali di zaman Kaliyuga, jangan larut dalam perilaku ke-raksasa-an! Tetapi harus mengembangkan nilai-nilai kedewataan, sehingga menumbuhkan kesejukan dan kedamaian masyarakat.

Ajaran politik Plato dalam “Republik” membandingkan kebaikan normatif, dan kebaikan empirik sebagai hasil kehendak sebagian besar masyarakat. Bahwa ada kebaikan obyektif yang dapat dimengerti dengan investigasi yang rasional-logis, bukan dengan intuisi, persangkaan atau kebetulan saja. Kebaikan itu harus disadari, bukan karena ornag menghendakinya, tetapi karena memang “baik”. Sementara kehendak merupakan soal sekunder. Apa yang dikehendaki masyarakat, tergantung pada seberapa banyak yang mereka lihat dari kebaikan itu. Tetapi tidak ada yang baik, hanya karena mereka menghendakinya. Seorang pemimpin harus punya integritas moral.

Dalam praktik formal-konstitusional ketatanegaraan saat ini, seorang pemimpin formal suatu daerah, telah dibuatkan standar, pedoman, dan mekanisme tatakerja secara nasional melalui berbagai ketentuan hukum. Kesalahan penyelenggaraan pemerintahan akan bermuara pada penjatuhan vonis kesalahan oleh lembaga terkait. Praktik korupsi, misalnya, digawangi oleh KPK, praktik pengelolaan keuangan digawangi oleh BPK, dan sebagainya. Demikian pula pengawasan masyarakat harus mampu membuat seorang pemimpin peka terhadap situasi di sekitarnya.

Kalau pemimpin dalam praktiknya tidak memiliki integritas, tidak layak sebagai seorang pemimpin karena menerapkan mal-praktik dan mal-administrasi, maka dalam masyarakat yang sangat kritis, tentu akan ada sanksi sosial, dalam berbagai bentuk sampai hujatan di seluruh media massa. Tentu, yang tidak termasuk ini apabila hujatan hanya oleh satu, atau bahkan sebagian kecil media massa.

Jadi pemimpin Bali harus tetap berpijak pada nilai-nilai kepemimpinan tradisional sebagaimana ajaran Astabrata dan kearifan lokal, kemudian seiring perkembangan global dan implementasi otonomi daerah, ia harus memiliki syarat-syarat yang mampu membawa Bali eksis dalam percaturan nasional dan global. Namun berbagai ekses negatif sebagai konsekuensi dinamika arus global yang sangat cepat, pemimpin Bali tidak boleh larut dalam nilai-nilai hidup yang pragmatis, materialistis, dan hedonis, yang tidak hanya akan menurunkan wibawa dan karakter kuat seorang pemimpin, tetapi juga akan menghilangkan identitas sosio-kultural masyarakat Bali.

Thinks globally, acts locally. Bali yang modern adalah Bali yang berpijak pada nilai-nilai tradisional namun mampu beradaptasi di zaman global. Pemimpin ideal adalah pemimpin yang mampu membawa Bali ke arah tersebut.

Penulis

Wiasthana Ika Putra

Pemerhati masalah sosial, tinggal di Sading, Badung