scan cilla

Peringatan hari pendidikan nasional tahun ini dinodai dengan meninggalnya Nuraini Lubis dosen Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammdiyah Sumatera Utara (UMSU) di tangan mahasiswanya sendiri. Peristiwa berdarah ini menambah catatan kelam hasil pendidikan anak negeri.

Di momen seperti ini tak jarang ada yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin kasus seperti ini terjadi pada anak bangsa dengan karakter budaya ketimuran yang dikenal santun dan hormat? Bahkan tidak tanggung-tanggung, tragedi mengenaskan ini terjadi di kampus dengan latar belakang kampus agamis? Ada apa sebenarnya di balik krisis kualitas pendidikan negeri ini?

Untuk menjawab hal ini, kita hendaknya jeli menilai output pendidikan secara keseluruhan. Sebab tidak hanya kejadian pembunuhan dosen oleh mahasiswanya yang terjadi baru-baru ini saja yang menodai dunia pendidikan di negeri ini. Ada sederet peristiwa yang menjadi potret buram di dalam dunia pendidikan, mulai dari perilaku bullying dan video porno di kalangan pelajar, kehidupan ayam kampus serta munculnya aktivis-aktivis pegiat LGBT di kalangan mahasiswa hingga demonstrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka, semua kejadian ini merupakan kenyataan yang tak terbantahkan merupakan bagian dari dunia pendidikan, hal ini makin menunjukkan betapa dunia pendidikan negeri ini begitu rapuh. Hal semisal dapat kita perhatikan dari kejadian tawuran hingga pergaulan bebas yang viral di era digital selalu berkembang dari tahun ke tahun.

Nyata sudah buah sistem pendidikan materialistik yang menjangkiti benak generasi. Sehingga gagal melahirkan manusia berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departemen yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.

Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.

Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Sehingga, terbentuklah mindset bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Inilah permasalahan yang sebenarnya berkembang di masyarakat sebagai akibat dari paradigma pendidikan sekuler-materialistik. Agama dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dengan pengaturan kehidupan (sekulerisme) sehingga agama tidak lagi berperan sebagai pengendali motivasi manusia (driving integrating motive) atau faktor pendorong (unifying factor). Kepribadian peserta didik mengalami kegoncangan citra diri (disturbance of self image) dan kepribadian yang pecah (split personality) sehingga tidak memiliki kepribadian luhur sebagai implementasi keimanan. Pola hidup masyarakat bergeser dari sosial-religius ke arah masyarakat individual materialistik dan sekuler.

Selain itu, pola hidup yang sederhana dan produktif cenderung berubah ke arah pola hidup mewah dan konsumtif. Ditambah dengan struktur keluarga yang semula extended family cenderung ke arah nuclear family bahkan menuju single parent family, pun diamini oleh hubungan keluarga yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh. Nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi masyarakat modern yang bercorak sekuler dan permissive society. Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah. Ambisi karir dan materi yang tidak terkendali menganggu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Perlu analisis yang lebih komprehensif terhadap permasalahan pendidikan. Agar mampu merumuskan konsep didikan yang tepat, tidak saja menyentuh aspek paradigma, tetapi juga aspek fungsional. Hal ini tentunya tidak bisa dipisahkan dari peran sekolah atau lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga. Rumah tangga modern hari ini telah menghilangkan posisi keluarga sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama. Padahal keluarga merupakan institusi yang memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan pembinaan kepribadian, meletakkan penguasaan dasar-dasar pemahaman (tsaqofah) sebagai bekal mengarungi kehidupan melalui pengajaran dan pengalaman hidup sehari-hari. Yang ini semua dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga.

Harus ada yang memutus mata rantai kehidupan sosial mengalami fase egosentris dan era kritisnya generasi. Jalan menuju perubahan ini tidak mungkin bisa dilakukan hanya oleh beberapa individu semata. Perlu adanya penyadaran massif tanpa mengesampingkan peranan masyarakat sebagai control social bahwa ini adalah upaya perbaikan bersama. Disinilah kita membutuhkan perubahan menyeluruh yang tidak lain hanya mampu diwujudkan oleh tangan negara. Perubahan sistemik yang tak hanya mampu diubah, namun juga dijaga oleh negara. Dengan satu sistem yang memiliki visi pemberdayaan mulia untuk kaum muda sebagai pelaku perbaikan dan pemimpin masa depan, serta menjaga tatanan keluarga dan masyarakat. Hanya inilah metode terbaik yang mampu mensejahterakan sekaligus memberdayakan generasi sebagai calon pemimpin masa depan dan pelaku perubahan di tengah masyarakat, dan memandang mereka sebagai manusia bermartabat bukan sekedar sebagai alat pertumbuhan ekonomi. RED-MB