Foto: Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan alasan Partai Demokrat menolak RUU Cipta Kerja.

Jakarta (Metrobali.com)-

Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) memasuki babak baru setelah telah disetujui Badan Legislasi DPR dan pemerintah. Beleid Omnibus Law tersebut selanjutnya akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 8 Oktober pekan depan.

Dari sembilan fraksi partai perwakilan di DPR RI, Partai Demokrat salah satu partai paling lantang dan tegas menolak Rancangan Undang–Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) sebagai bentuk keberpihakan kepada kepentingan rakyat khususnya kaum buruh dan pekerja.

Adapun daftar fraksi yang setuju atau dinilai tidak pro rakyat dengan adanya pembahasan Rancangan Undang–Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) yaitu Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi PPP, dan Fraksi Nasdem yang setuju dengan catatan. Sementara, Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS menolak pembahasan RUU Ciptaker yang dianggap membela rakyat.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) penolakan itu setelah mendengar aspirasi masyarakat dari berbagai daerah lewat DPD/DPC di seluruh Indonesia dan mengkaji isi RUU Ciptaker sehingga Partai Demokrat mengambil keputusan tegas menolak RUU Ciptaker dalam rapat pembahasan tingkat I di Badan Legislatif DPR RI.

“Sejak awal Fraksi Partai Demokrat sudah menyampaikan pada pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan membahas RUU Ciptaker ini, agar kita bisa fokus konsentrasi dan mengoptimalkan kekuatan bangsa untuk menanggulangi pandemi dan mengatasi dampak ekonomi. Jangan gagal fokus,” kata AHY dalam keterangannya, Minggu (4/10/2020).

Partai Demokrat, lanjut AHY sangat paham RUU Ciptaker bertujuan menjalankan agenda perbaikan dalam reformasi birokrasi, peningkatan ekonomi dan percepatan penyerapan tenaga kerja nasional.

Menurut AHY, Partai Demokrat menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Untuk itu, Fraksi Partai Demokrat menyampaikan lima hal yang perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak.

“Pertama, RUU Ciptaker tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah krisis pandemi ini. Di masa awal pandemi, prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat,” jelasnya.

Hal kedua, sambung AHY, RUU Ciptaker ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law). Baginya, tak bijak dipaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang kompleks dengan terburut-buru.

Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.

“Apalagi masyarakat sedang sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi dewasa ini. Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru,” harapnya.

Ketiga, Partai Demokrat menghendaki hadirnya undang-undang yang pastikan dunia usaha dan kaum pekerja mendapatkan kebaikan dan keuntungan yang sama sehingga mencerminkan keadilan.

“Tapi RUU Ciptaker berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di negeri ini,” tegasnya.

Keempat, Partai Demokrat memandang RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik. Sehingga perlu dipertanyakan apakah RUU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial (social justice).

“Apakah RUU Cipateker ini masih mengandung prinsip keadilan sosial sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers kita?,” tanya AHY menegaskan.

Kelima, AHY melanjutkan selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel.

Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.

“Dengan berbagai catatan diatas, pembahasan RUU Ciptaker haruslah bisa menghasilkan kebijakan tentang pembangunan ekonomi yang holistik dengan semangat pro lapangan pekerjaan, pro pertumbuhan, pro pengurangan kemiskinan, dan pro lingkunan,” harapnya.

Berdasarkan argumentasi dan catatan penting tersebut, Partai Demokrat yang menolak Rancangan Undang–Undang tentang Cipta Lapangan Kerja menyarankan agar dilakukan pembahasan yang lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholders yang berkepentingan.

Hal ini penting, agar produk hukum yang dihasilkan oleh RUU Ciptaker ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang sebenarnya.

Menurut AHY, ekonomi yang bernafaskan Pancasila menghendaki pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Negara berkewajiban menghadirkan relasi antara pengusaha, pemerintah, dan pekerja (tripartit) yang harmonis.

“Kita harus berkoalisi dengan rakyat, terutama rakyat kecil, termasuk buruh yang hari ini paling terdampak oleh krisis pandemi dan ekonomi. Harapan rakyat, perjuangan Demokrat. Bersama kita kuat, bersatu kita bangkit,” pungkas AHY. (dan)