SONY DSC

Gianyar (Metrobali.com)-

Sukses di akhir tahun 2013 menggelar pameran Paul Husner, museum ARMA kembali menampilkan perupa terkemuka asal Eindhoven, Belanda, Jan Peter Van Opheusden (73 tahun). Perjalanan panjang perupa yang sarat dengan pengalaman ini rupanya telah memikat pendiri Museum ARMA, Agung Rai untuk memboyong karya-karya Jan Peter dalam pameran perdana  tahun 2014 di Museum ARMA, Ubud, yang akan diresmikan pada 25 Januari 2014.

 Dalam partisipasinya membangun fundamental seni rupa, Museum ARMA memiliki misi yang selektif dalam memilih karya untuk dipamerkan. Kecenderungan untuk melakukan pemaknaan proses bagi perupa terpilih senantiasa dilakukan dengan cermat dan mendalam. Hali ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara rasa dan kekuatan teknik dalam berproses. “Kita memang lebih menghargai proses yang bertumpu pada rasa personal, sehingga karya yang muncul merupakan bagian dari jiwa dan ketulusan senimannya”, tutur  Agung Rai di sebuah sudut bagunan yang menjadi bagian dari Museum ARMA.

 Persahabatannya dengan Jan Peter Van Opheusden dalam rentang lima tahun terakhir, berlangsung dalam kedekatan rasa yang saling memahami. Dari karya yang akan dipamerkan rata-rata mencerminkan refleksi pertautan warna yang cerdas saling memberi kekuatan satu sama lain, sebagaimana entitas persahabatan itu dimaknai secara verbal.

 Lawatan Jan Peter Van Opheusden ke Bali dalam pameran kali ini, mengusung tema klasik “Banten” yang secara visual tidak tampak dipaksakan. Meski bayangan besar yang mengarahkan imajinasi seorang Jan Peter Van Opheusden tertuju pada persoalan budaya ritual bebantenan – yang menjadi piranti ritual keseharian orang Bali, toh alur dan sapuan warna dan komposisi tetap berakhir pada pencapaian karya yang diproses dengan teknik mumpuni. Silang warna yang saling berinteraksi divisualkan dengan nikmat melalui kekuatan intuisi yang terlatih. Tak ayal, setiap karyanya menawarkan kemeriahan dan kedalaman komunikasi bagi penikmatnya.  

Prinsip kebebasan yang dianut dalam berkarya, nampaknya berbuah kesulitan bagi masyarakat seni dalam memberikan klasifikasi style yang digeluti pelukis Negeri Kincir Angin ini. Namun kesan yang terungkap mengarah pada kearifan seni tradisional Eropa yang banyak dipengaruhi oleh Fauvisme Perancis. Hal ini terlihat dari ungkapan dan ekspresi jiwanya yang emosional seperti siratan bait puisi yang tercurahkan dengan kemurnian estetik.

 Pengamat senirupa Jean Coteau, dalam pengantar pameran ini berpendapat bahwa karya Jan Peter, menyajikan ekspressionis rupa yang lain.  Adanya jiwa, gerak rasa atau modes di luar bentuk figure abstrak dengan sapuan warna yang mengalir demikian hidup.  Melihat lukisan J.P. pasti ekspresi visual melibatkan peran pengalaman sensorik, adanya sentuhan  “rasa” yang akan menerbitkan minat untuk menikmatinya. Akhirnya Jean Coteau menyebut Jan Peter Van Opheusden sebagai “Master Intuisi”

Jan Peter Van Opheusden, lahir di Belanda  pada  1941,  lulus di Akademi  Eindhoven, jurusan Industrial Design.  Sempat berkarir sebagai guru gambar dan seni ukir,  akhirnya menggeluti profesi sebagai pelukis independent di awal 1980 an. Karya-karyanya tersebar di sejumlah kolektor ternama di Belanda, German dan Perancis. Sejumlah selebtitis seperti Tina Turner, Tony Curtis dan Roger Moore, juga menyimpan karya Jan Peter.

 Agung Yudi yang mengkoordinasikan pameran ini mengaku senang bisa memamerkan karya

Jan Peter Van Opheusden. Proses panjang merealisasikan pameran ini, diakui melewati komunikasi yang intens terutama soal tema yang memang membutuhkan pendalaman di kalangan pelukis Eropa. “Kita senang bisa menggelar pameran ini, dan berharap mampu memberikan warna lain bagi perkembangan seni rupa Bali, khususnya bagi seniman muda dalam berproses”, harap anak sulung Agung Rai.

 Dalam pembukaan yang akan dihelat di pelataran barat Museum ARMA, juga ditampilkan tarian bertajuk ” Soul Vibrations” hasil koreografi Ida Ayu Indah Tejapratami. RED-MB