Tiga orang seniman dari Bali dan Australia berkolaboradi Autralia
Perth (Metrobali.com)-
Tiga orang seniman dari Bali dan Australia berkolaborasi dalam pameran dan kegiatan seni budaya bertajuk “Drawing Peace” di Perth Australia, mulai 27 September sampai 27 Oktober 2015. Dalam kegiatan ini, ketiga seniman dari  dua negara memamerkan karya seni rupa dan juga menggelar seni instalasi sekaligus memperkenalkan konsep “Tri Hita Karana” Bali di Australia.
Pembukaan resmi pameran “Drawing Peace” dilakukan Kamis (1/10/2015) malam di Cullity Gallery, kampus University of Western Australia (UWA), Perth. Selain beberapa undangan dari Kota Perth Australia, pembukaan pameran juga dihadiri perwakilan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Perth Australia. Pembukaan pameran dimeriahkan dengan pementasan tari Topeng Tua, yang ditarikan oleh seniman tari Kadek Adi Brata dari Klungkung, Bali.
Pameran seni lukis ini diikuti 3 orang seniman lukis yakni Made Wianta dan Kadek Jango Pramartha dari Bali, dan Profesor  Paul Trinidad dari Australia yang sekaligus juga menjadi kurator pameran.
Maestro seni lukis Bali, Made Wianta, dalam kegiatan ini mengirimkan karyanya (in absentia). Wianta menampilkan 12  karya sketsanya yang dibuat tahun 2013. Karya Wianta menampilkan simbolik-simbolik yang menunjukkan konsep Tri Hita Karana seperti “lonely tree”, “bird”, “dog”, “dinosaurus”, dan beberapa larya lainnya.
Kadek Jango tidak menampilkan karya kartun seperti biasanya, namun menampilkan improvisasi karya kartunnya menjadi sebuah karya fine art. ‘Perubahan’ ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para kurator dan pengamat  seni di kampus UWA  Australia.
Sementara karya Paul Trinidad sangat jelas menampilkan sisi humanismenya. Sebagai warga negara Australia, Paul sangat  jelas memperlihatkan kekecewaannya, atas peristiwa kemanusiaan yang menimpa warganya di Bali.
Dalam karya yang dipamerkan, Paul merespon peristiwa eksekusi mati duo Bali Nine. Karya ini dibuat di LP Kerobokan Bali.   Paul ingin memperlihatkan konsep Tri Hita Karana, dalam hal ini hubungan antara manusia dengan manusia.
“Sebagai seorang humanis dan seniman, saya sangat kecewa dengan masih adanya hukuman mati di Indonesia. Tapi di sisi lain saya tetap menghormati aturan hukum di Indonesia,” kata Paul.
Kegiatan “Drawing Peace” ini, jelas Kadek Jango, merupakan proyek dari kampus UWA Perth Australia. Selain pameran karya seni rupa di Cullity  Gallery, juga dilakukan kegiatan seni instalasi di Leonara Desert-Menzies, Australia, dengan konsep Tri Hita Karana.
“Pameran “Drawing Peace” ini terinspirasi dari konsep Tri Hita Karana yang dimiliki Bali, yakni hubungan manusia dengan  manusia, manusia dengan alam atau lingkungan, dan manusia dengan Tuhan. Setiap seniman merespon konsep tersebut dengan  caranya masing-masing,”ujar Jango, yang dalam kesempatan ini mendapat kehormatan menjadi artist resident selama 2 minggu di Australia.
Bagi Jango sendiri, kunjungan ke Australia ini juga akan digunakan untuk memperkenalkan Bali lewat karikatur, terutama  untuk menyampaikan berbagai perubahan sosial yang terjadi di Bali.
“Akan ada presentasi, seminar, workshop bertemakan glo-BALI-sasi,”ujarnya.
Pameran “Drawing Peace” di Australia, imbuh Jango, juga mempunyai misi untuk semakin mempererat hubungan bilateral kedua  negara lewat diplomasi kebudayaan.
“Seperti kita ketahui bersama, banyak peristiwa terjadi, yang sempat mempengaruhi hubungan Indonesia-Australia, mulai  peristiwa Bom Bali yang menewaskan ratusan warga negara Australia dan terakhir eksekusi terpidana mati kasus Bali Nine. Pameran ini diharapkan kembali menciptakan hubungan baik kedua belah pihak,” ujarnya.
Menurut Kurator pameran, Paul Trinidad, Tema “Drawing Peace Tri Hita Karana” dipilih karena ia melihat konsep tradisi Bali  sangat relevan dengan jaman dan bisa memberi keseimbangan dalam kehidupan.
“Saya tertarik untuk memilih Jango dan Wianta karena secara personal Wianta telah melakukan perjalanan berkesenian yang sangat terkait dengan  konsep Tri Hita Karana, salah satunya adalah Art and Peace di Padanggalak tahun 2001. Dan Jango lewat kartunnya telah  melakukan Tri Hita Karana dengan mengekspos Budaya Bali dengan nuansa keceriaan  dalam kartun, dan dia pribadi telah  melakukan proyek “ekspresi keras” di Penjara Kerobokan, dimana salah satu muridnya adalah Myuran Sukumaran yang telah dikesekusi mati.
Dekan Fakultas Arsitektur, Landscape, dan Visual Art University of Western Australia (UWA), Profesor Simon Anderson  mengatakan, kerjasama hubungan baik antara kampus UWA dengan seniman Bali telah terjalin sejak 5 tahun terakhir dalam  bentuk program Bali Studio.
“Dalam program Bali Studio kita inginkan ada komunikasi dua arah aktivitas berkesenian, seniman dan mahasiswa Australia datang ke Bali dan sebaliknya seniman Bali datang ke Australia membawa karyanya, mempresentasikan, sekaligus berkarya di Australia. Kita harapkan bisa terbentuk energi dan sinergi berkesenian antara seniman Australia dan Bali,”ujarnya.
Simon sangat menginginkan kerjasama dua negara ini bisa berkesinambungan di masa mendatang.
“Kita bangga dengan tradisi yang ada di Bali, kita harapkan agar kerjasama ini bisa berkesinambungan. Jarak Bali ke Perth  Australia kebetulan sangat dekat, sehingga hal tersebut bisa memberikan hal positif secara budaya dan seni,”ujarnya. PS-MB