Mary Jane Fiesta Viloso 1

Jakarta (Metrobali.com)-

Salah satu hal yang kini tengah menjadi perhatian publik Indonesia dan dunia adalah hukuman mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso yang menjadi terpidana karena kasus narkoba.

Dia seharusnya menjadi salah satu terpidana mati yang dieksekusi pada gelombang kedua, Rabu (29/4) dini hari, bersama beberapa terpidana lainnya.

Namun, nasib baik tampaknya masih berpihak pada Mary Jane. Meskipun upaya grasi maupun peninjauan kembali (PK) yang diajukannya ditolak, Kejaksaan Agung memutuskan menunda pelaksanaan eksekusi.

Pasalnya, di negara asalnya, Filipina, ada seseorang yang menyerahkan diri ke polisi dan mengaku sebagai perekrut Mary Jane pada hari Selasa (28/4). Orang itu bernama Maria Kristina Sergio.

Dengan pengakuan itu, pihak otoritas Filipina menyatakan memerlukan keterangan dari Mary Jane. Hal itu pun seolah memberi harapan baginya untuk lepas dari hukuman mati.

Penasihat hukum Mary Jane yang bernama Agus Salim menyatakan akan terus melakukan upaya hukum untuk membebaskan kliennya dari vonis hukuman mati.

“Kami akan terus melakukan upaya hukum. Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia dan bukan sebagai perantara peredaran narkoba seperti yang ada dalam vonis hakim,” kata Agus Salim di Yogyakarta.

Agus mengatakan bahwa upaya hukum yang akan dilakukan misalnya pengajuan PK. Namun, dia mengakui hal itu masih terkendala dengan dualisme keputusan dari Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK).

“Mahkamah Konstitusi memutuskan pengajuan PK boleh lebih dari satu kali. Namun, MA berkukuh bahwa PK hanya bisa diajukan satu kali,” katanya.

Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa pihaknya belum dapat memastikan kapan upaya hukum tersebut akan kembali dilakukan setelah Pengadilan Negeri Sleman menolak pengajuan PK kedua pada hari Senin (27/4).

Sementara itu, Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengakui sempat dihubungi otoritas Filipina mengenai teknis permintaan keterangan terhadap Mary Jane.

“Dari pihak Filipina sudah sempat menghubungi kita. Sedang dibicarakan bagaimana teknisnya (meminta keterangan) nanti,” kata Prasetyo di Jakarta.

Namun, orang nomor satu di Korps Adhyaksa itu menegaskan bahwa Mary Jane hanya akan dimintai keterangan di Indonesia. Oleh karena itu, ada kemungkinan proses tersebut menggunakan media “video conference”.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Tony Tribagus Spontana menyatakan bahwa otoritas Filipina menyatakan bahwa pihaknya akan meminta keterangan kepada Mary Jane pada tanggal 8 dan 14 Mei 2015. Namun, Kejakgung masih menunggu surat resmi dari Filipina.

“Kita tetap harus menunggu surat permintaan resmi dari pemerintah Filipina sebagai dasar untuk menyiapkan dan menyepakati siapa saja yang akan hadir dan bahasa yang akan digunakan pada pemeriksaan Mary Jane melalui ‘video conference’,” tuturnya.

Korban “Trafficking” Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan bahwa bila terbukti merupakan korban perdagangan orang (trafficking), Mary Jane tidak boleh dipidanakan.

“Konvensi Internasional untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Palermo Protokol jelas menyatakan saksi korban tidak boleh dipidana karena harus memberikan keterangan,” kata Anis Hidayah.

Oleh karena itu, Anis mengatakan bahwa peradilan di Indonesia harus menghormati dan menunggu proses peradilan yang sedang berjalan di Filipina.

Bila memang Mary Jane adalah korban “trafficking”, hal itu bisa menjadi temuan baru atau novum untuk pengajuan PK ke MA terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan.

“Kasus ‘trafficking’ ada tiga unsur, yaitu perpindahan orang, cara, dan eksploitasi. Saya melihat dalam kasus Mary Jane, semua itu ada. Tinggal pembuktian di Filipina,” tuturnya.

Menurut Anis, kejadian yang menimpa Mary Jane itu jamak terjadi. Dalam beberapa kasus yang ditangani Migrant Care, relatif cukup banyak warga negara Indonesia (WNI) yang terancam dipidana karena dijebak sebagai kurir narkoba.

Anis berpendapat bahwa lebih baik salah membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah, apalagi sampai menjatuhkan hukuman mati.

Lembaga peradilan dan pemerintah harus lebih teliti dalam membaca proses hukum dan pengajuan grasi. Bukan tidak mungkin dalam pengambilan keputusan ada kesalahan.

“Jangan sampai sudah dihukum mati, ternyata kemudian terbukti tidak bersalah. Kalau sampai salah menghukum mati, siapa yang bisa mengembalikan nyawanya?” kata Anis.

Momentum Perbaiki Kinerja Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan bahwa kasus Mary Jane Fiesta Veloso harus menjadi momentum untuk memperbaiki kinerja aparat hukum di Indonesia.

“Aparat penegak hukum harus lebih pintar. Jangan asal memutuskan. Bagaimana mungkin orang seperti Mary Jane disebut gembong narkoba? Bisa dilihat profilnya seperti apa,” kata Haris Azhar.

Haris mengatakan bahwa sejak awal sudah terlihat adanya ketidakberesan dalam proses hukum terhadap Mary Jane. Tidak adanya penerjemah yang mendampingi Mary Jane menunjukan proses hukum dilakukan asal-asalan.

Selain itu, penyidik juga tidak pernah berusaha mencari orang-orang yang disebutkan Mary Jane dalam proses hukum. Padahal, dia sudah menyebutkan siapa yang menyuruh dan siapa yang dituju.

“Itu menunjukkan kemalasan aparat penegak hukum. Seharusnya kalau kurang jelas, datang ke negerinya untuk melakukan investigasi dengan baik,” tuturnya.

Dalam memutus hukuman bagi Mary Jane, Haris menilai hakim terlalu terburu-buru dan asal-asalan dalam menjatuhkan vonis mati. Menurut Haris, proses pengadilan di Filipina yang menemukan adanya beberapa orang yang menyuruh atau memanfaatkan Mary Jane seharusnya bisa menjadi bukti baru atau novum dalam pengajuan PK ke MA.

“Mahkamah Agung harus memeriksa keterangan-keterangan baru yang muncul dalam proses di pengadilan Filipina,” ujarnya.

Bergantung pada Diplomasi Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa meskipun ada temuan baru dalam pengadilan di negara asalnya, keringanan hukuman bagi Mary Jane Fiesta Veloso tetap bergantung pada diplomasi antara Indonesia dengan Filipina.

“Putusan pengadilan Filipina tidak bisa menjadi temuan baru atau novum bagi Mary Jane untuk mengajukan peninjauan kembali atau PK ke Mahkamah Agung,” katanya.

Meskipun Indonesia dan Filipina sama-sama menjadi anggota ASEAN dan menandatangani perjanjian ekstradisi, tidak ada aturan hukum dan tata cara antara sesama anggota apabila ada objek hukum yang sama.

Menurut Bonar, selama ini juga tidak ada yurisprudensi temuan dalam pengadilan di suatu negara bisa dijadikan temuan untuk pengadilan yang berlangsung di negara lain meskipun kejahatan dilakukan bersama atau objek perkaranya sama.

“Apalagi, masing-masing negara ASEAN berprinsip untuk tidak mencampuri urusan masing-masing negara. Belum lagi akan ada pendapat kedaulatan hukum domestik harus dijunjung tinggi,” tuturnya.

Itulah sebabnya, kata Bonar, Jaksa Agung menyatakan eksekusi mati terhadap Mary Jane hanya ditunda, bukan dibatalkan. Meskipun pengadilan Filipina menemukan fakta Mary Jane menjadi korban “trafficking” atau diperdaya, hal itu tidak bisa dijadikan novum untuk mengajukan PK.

“Apalagi, telah ada surat edaran MA yang membatasi PK hanya satu kali untuk jenis kejahatan tertentu,” ujarnya.

Di sisi lain, isu hukuman mati berpotensi mengganggu integrasi di kalangan negara dan masyarakat ASEAN di kemudian hari.

Pasalnya, sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Thailand, Kamboja, dan Laos telah menghapus hukuman mati dari seluruh perundangannya, sedangkan Myanmar melakukan moratorium. AN-MB