pilkada

Jakarta (Metrobali.com)-

DPR RI akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dan Perppu Nomor 2 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang pada Selasa (20/1).

Pengesahan itu dilakukan secara aklamasi oleh 10 fraksi di DPR setelah sebelumnya muncul polemik terkait peraturan itu, baik di internal DPR maupun di masyarakat.

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan kedua Perppu tersebut pada Kamis (2/10/2014) malam sebagai bentuk perjuangannya bersama rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung.

“Seperti saya sampaikan dalam banyak kesempatan, saya dukung pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan mendasar. Saya jadi Presiden melalui pemilu langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009,” kata SBY.

SBY mengatakan penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Selain itu, menurut dia, sebagai konsekuensi penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan untuk memberikan kepastian hukum, maka diterbitkan juga Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Penerbitan kedua Perppu tersebut merupakan respons SBY terhadap keputusan DPR RI yang mengesahkan RUU Pilkada pada 26 September 2014, yang isinya pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD.

Tentu saja setelah perppu diterbitkan, pemerintah akan mengajukannya kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dalam jangka waktu 30 hari.

Apabila perppu diterima, maka secara otomatis UU Pilkada diubah sesuai dengan isi perppu, namun, bila ditolak, perppu dianggap gugur dan isi UU Pilkada tetap digunakan. Dalam perkembangannya, DPR RI membahas kedua perppu itu di masa sidang II tahun 2014-2019.

Mengawali pembahasan kedua perppu itu, Komisi II DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Kamis (15/1). Dalam kesempatan itu, Mendagri berharap DPR RI segera menyelesaikan pembahasan kedua perppu itu agar menambah keleluasaan waktu bagi penyelenggara pemilu dalam menyiapkan pilkada serentak.

Dalam RDP tersebut, Komisi II DPR RI sepakat akan membahas kedua perppu tersebut.

Tjahjo dalam RDP pada Jumat (16/1) dengan Komisi II DPR RI menjelaskan secara yuridis, kedua perppu itu harus diakui merupakan hak konstitusional presiden. Hal itu, menurut dia, berdasarkan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945, dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden RI bisa menetapkan perppu yang selanjutnya dipertegas dalam keputusan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, menurut dia, dari aspek prosedural, penerbitan UU nomor 22 tahun 2014 telah menimbulkan pro dan kontra terkait mekanisme pilkada melalui DPRD. Dia menjelaskan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai UUD 1945 dengan memperhatikan kondisi sosial-politik berwenang menerbitkan perppu tersebut.

Menurut dia, Pilkada langsung memungkinkan masyarakat mendapatkan pemimpin yang memiliki legitimasi dari rakyat.

Selain itu dalam RDP hari Jumat (16/1) itu, Komisi II DPR RI sepakat menyelesaikan pembahasan kedua perppu tersebut pada masa sidang kedua tahun 2014-2015.

“Dalam pembahasan Perppu ini seluruh fraksi menginginkan dengan konsekuensi hukum menyepakati untuk diselesaikan pada masa sidang kedua tahun 2014-2015,” kata Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Jakarta, Jumat (16/1).

Disahkan dengan Perbaikan Pembahasan kedua perppu itu sudah dilaksanakan di tingkat I atau di Komisi, selanjutnya dibahas pada tingkat II yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI, pada Selasa (20/1).

Dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (20/1) semua fraksi secara aklamasi mengesahkan kedua perppu itu menjadi undang-undang, namun dengan beberapa perbaikan untuk dilakukan setelah disahkan.

Beberapa fraksi di DPR menyampaikan catatan terkait kedua perppu itu setelah disahkan menjadi undang-undang, dan mayoritas fraksi menginginkan adanya revisi UU Pilkada tersebut.

Materi undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota yang diusulkan direvisi ada sekitar enam poin. Pertama terkait penyelenggara pilkada, dalam UU Pilkada, penyelenggara pilkada adalah KPU Provinsi, KPU Kabupaten, dan KPU Kota.

Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarulzaman mengatakan ditemukan dalam pasal-pasal yang terletak di awal disebutkan bahwa pelaksana pilkada adalah KPU nasional sedangkan di pasal selanjutnya, penyelenggara pilkada adalah KPU daerah.

Karena itu perbaikan redaksional penting dilakukan terkait KPU Provinsi menyelenggarakan pemilihan gubernur dan KPU kabupaten/kota melaksanakan pemilihan bupati/wali kota. Penegasan ini diperlukan karena menurut UUD 1945 Pasal 22 E ayat 5, KPU merupakan penyelenggara pemilihan umum.

Kedua materi revisi yang diusulkan adalah terkait mekanisme pemilihan gubernur, bupati/wali kota, karena dalam UU Pilkada pemilihan kepala daerah hanya untuk memilih gubernur, bupati/wali kota.

Sementara itu usulan revisinya adalah gubernur, bupati/wali kota dicalonkan satu paket atau berpasangan dengan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota.

“Dalam pasal di atasnya dinyatakan pasangan calon kepala daerah, tapi di bawahnya disebutnya bukan pasangan, jadi mana yang mau kita pilih? Ini harus sinkron,” kata Rambe.

Ketiga, terkait tahapan pilkada, dalam UU itu disebutkan tahapan pilkada 13-17 bulan dimulai dengan pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon wali kota.

Rambe mengatakan tahapan pilkada itu terlalu panjang dan lama agar ada kepastian tahapan-tahapan dapat dilalui dengan baik.

“Misalnya disebutkan pilkada dilangsungkan 12 bulan dari pendaftaran DPT. Kenapa harus selama itu? Memang DPT masih harus dikumpulkan? Daerah sudah tahu warganya, jadi diperpendek saja semua tahapannya agar bisa efisien,” ujarnya.

Keempat, terkait uji publik, Komisi II DPR RI juga memberikan catatan, dalam UU Pilkada disebutkan bahwa hal itu menjadi salah satu syarat seseorang mencalonkan atau dicalonlan sebagai gubernur, bupati, wali kota.

Uji publik itu dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, dan perwakilan KPU daerah.

Dalam hal itu Rambe menilai uji publik juga berpolemik karena peraturan di Perppu yang hanya mengharuskan calon kepala daerah untuk memiliki sertifikat uji publik dinilainya tidak cukup untuk menyaring pemimpin daerah yang diharapkan.

“Kalau haya sekedar dapat sertifikat buat apa? Uji publik dilakukan sampai tiga bulan lagi, ujian skripsi saja tidak selama itu sehingga harusnya uji publik dapat menyaring calon yang lebih baik dan punya visi untuk melaksanakan pemerintahan dan jangan terlalu lama,” katanya.

Sementara itu poin kelima, terkait penyelesaian sengketa hasil pemilihan, dalam Pasal 157 ayat 1 UU Pilkada disebutkan hal tersebut diselesaikan oleh pengadilan tinggi yang ditunjuk Mahkamah Agung. Dan di pasal 157 ayat 5 UU Pilkada disebutkan Pengadilan tinggi memutuskan perkara perselisihan sengketa pemilihan paling lama 14 hri sejak diterimanya permohonan.

Usul revisi terkait penyelesaian sengketa itu sebaiknya diselesaikan oleh lembaga khusus.

Keenam, poin mengenai pemungutan suara serentak juga masuk dalam usulan revisi, dalam UU Pilkada disebutkan sebelum peleksanaan pilkada serentak di seluruh Indonesia pada 2020 maka diselenggarakan pilkada serentak dalam dua tahap.

Tahap pertama tahun 2015 untuk memilik gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya berakhir pada 2015. Tahap kedua tahun 2018 untuk gubernur, bupati, dan walikota yang masa jabatannya berakhir pada 2016, 2017, dan 2018 serta mereka hanya menjabat sampai tahun 2020.

Usulan perubahannya, pertama terkait pemungutan suara tahap I tahun 2015 harus diantisipasi pemungutan suara putaran kedua yang kemungkinan pada 2016. Kedua, pemungutan suara serentak 2018 dinilai perlu ditinjau ulang karena banyak daerah yang dipimpin oleh pejabat gubernur, pejabat bupati, dan pejabat wali kota dalam waktu satu hingga dua tahun.

Masukan Berbagai Sumber Komisi II DPR RI dalam merevisi UU Pilkada melibatkan berbagai pihak untuk mendengarkan masukan terkait poin-poin usulan perubahan.

Misalnya Komisi II DPR mengundang Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu dalam Rapat Dengar Pendapat pada Kamis (22/1) yang dihadiri para pimpinan kedua lembaga tersebut.

Dalam RDP itu Ketua KPU Husni Kamil Manik memaparkan kesiapan lembaga yang dipimpinnya dalam penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015. Menurut dia, KPU Pusat sudah melakukan konsolidasi dengan KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk memastikan semuanya sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

“Koordinasi itu agar fasilitas anggaran pelaksanaan pilkada yang menjadi kewajiban pemerintah daerah sudah tersedia,” kata Husni.

Menurut dia, KPU sudah membahas bahwa diperlukan 10 peraturan untuk melaksanakan pilkada tersebut dan saat ini telah menuntaskan pembahasan empat peraturan. Dari empat peraturan itu menurut dia, tiga di antaranya sudah dikirimkan terkait tahapan program dan jadwal, pemutakhiran data pemilih, serta pemutakhiran data calon gubernur, bupati, dan wali kota.

“Satu peraturan lainnya segera menyusul terkait sosialisasi, partisipasi masyarakat, dan pemantauan pilkada. Empat peraturan ini diharapkan dapat dilakukan kegiatan konsultasi antara KPU, DPR, dan pemerintah yang dihadiri Bawaslu,” ujarnya.

Ketiga, menurut dia, KPU telah melakukan perencanaan anggaran, yaitu terkait penyelenggaraan Pilkada telah dilakukan secara linear antara KPU Provinsi dengan pemerintah provinsi, dan KPU kabupaten/kota dengan pemerintah kabupaten/kota.

Sementara itu, menurut dia, anggaran untuk KPU Pusat belum ada terkait melakukan fungsi dan kewajiban lembaga itu dalam pelaksanaan pilkada.

“Kami mengajukan penambahan anggaran untuk tahun 2015 dengan tambahan senilai Rp1,1 triliun yang diharapkan bisa diakomodasi dalam APBN Perubahan,” tuturnya.

Sementara itu Ketua Bawaslu Muhammad menyatakan negara tidak perlu membentuk lembaga baru untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada, karena akan menambah beban anggaran.

Dia mengatakan institusinya siap apabila diamanahi tugas untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada tersebut karena memiliki pengalaman yang sukses.

“Bawaslu memiliki pengalaman cukup sukses, bahkan berbagai kebijakan Bawaslu banyak diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu,” katanya.

Selain itu dia memberikan masukan terkait penyempurnaan UU Pilkada, yaitu KPU harus memetakan permasalahan teknis yang muncul dalam UU tersebut, kemudian menyiapkan instrumennya,” ujarnya.

Hal itu, menurut dia, mulai dari penyusunan pedoman bagi Bawaslu, tim pengawas, pembentukan kesekretariatan pengawas pemilu, hingga pembentukan panitia pengawas di tingkat kabupaten/kota.

Muhammad menjelaskan sejauh ini Bawaslu sudah melakukan harmonisasi dengan aturan terkaitdengan UU yang sebelumnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Guru besar ilmu politik dari Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti saat dimintai pendapatnya oleh Komisi II DPR pada Selasa (20/1) menyoroti poin uji publik yang dinilainya menambah panjang tahapan pilkada.

“Uji publik memang harus digunakan untuk pencalonan namun dengan menambahnya akan membuat prosesnya (pilkada) semakin panjang dan tidak ada gunanya,” kata Ramlan.

Dia menilai lebih baik uji publik diserahkan kepada partai politik karena salah satu tugasnya menjalankan rekrutmen politik. Karena itu dia menyarankan agar uji publik itu diberikan pada proses pencalonan.

Perppu Pilkada, yang kemudian disahkan menjadi UU Pilkada, muncul dengan semangat untuk mengembalikan kedaulatan politik masyarakat dengan memilih secara langsung pemimpinnya.

Masukan terkait perubahan beberapa isi di UU Pilkada tentunya tidak boleh bergeser dari semangat kedaulatan politik masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum dalam pelaksanaan hajatan demokrasi rakyat tersebut. AN-MB