Oleh: Ngurah Karyadi

Mengawali pemerintahan Presiden Jokowi-JK di akhir tahun 2014, negeri dihadapkan pada banjir dan tanah longsor, yang terjadi dimana-mana. Sementara gunung Slamet (Jawa)gunung Sinabung (Sumatera) dan gunung Gamalama (Maluku) emuntahkan isi perutnya. Di ikuti lenyapnya Air Asia di kawasan Belitung, yang diduga akibat awan “Kumulonimbus”.  Benarkah itu tanda kehidupan di tahun 2015 ditandai hadirnya “Naga Tatsaka” seperti di masa Parikesit? Mudah-mudahan  sebaliknya. Tahun 2015 menjadi gerbang pencerahan, atau memasuki Zaman “Kalasuba”.

Tahun 2014 segera berganti. Lazimnya pergantian tahun, maka prediksi dan ramalan 2015 menyertai pergantiannya. Itu karena saban manusia pasti punya harapan. Setiap  insan pasti punya keraguan terhadap tahun yang akan ditapaki. Untuk itu, pembaacaan filsafat dan sastra menjadi penting -bukan mengikuti filsyahwat yang menuju setra.

Menutup tahun 2014, berbagai bencana datang silih-berganti menghadang pemerintahan presiden Jokowi-JK, seperti masa SBY di tahun 2004-2014. Gelombang tinggi terjadi di lautan. Banjir menggenangi daratan. Tanah longsor menelan jiwa terjadi di banyak daerah, sebagai dampak perubahan iklim. Gunung yang ada di Ternate, Gamalama, atau gunung Sinabung di Sumut, ataupun Gunung Slamet (Jawa) memuntahkan laharnya. Siapa yang selamat, atau sial hanya Tuhan yang tahu.

Berbagai bencana itu merentankan jiwa-jiwa manusia. Ada kekhawatiran itu akan menjadi pintu pembuka bagi bencana lain di tahun 2015. Apa lagi untuk kepemimpinan negeri ini, presiden baru saja dilantik. Jokowi kini memegang tampuk pimpinan. Maka masuk akal jika itu dikait-kaitkan, kendati tidak punya pertalian.

Dalam kosmologi budaya (Hindu) dikenal 4 (empat) skenario besar sebagai gambaran zaman yang akan dilalui umat manusia, yakni:  Kaliyuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Satyayuga atau Kerta Yuga. Namun dalam perkembangan terutama yang hidup di Nusantara menjadi 3 (tiga) babak. Hal ini tergambar dalam karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, “kalatidha” (1850). Dalam khasanah Bali, paralel dengan apa yang dituangkan oleh Made Sidemen dalam karyanya “Salampah Laku” (1904)

Pertama adalah zaman “Kalabendu”, atau “Kaliyuga” yang identik dengan kekelaman, seperti tercermin di masa Orde Baru-nya Soeharto. Zaman ini segala kehidupan kacau, disertai berbagai kekerasan. Penikmat kekacauan itu hanya satu kelompok, yaitu penguasa dan pengusaha -dengan menyisakan “negeri tulang belulang”. Sementara orang baik tersingkir, mejauhi kehidupan politik, atau “berumah di angin”-kata Rendra.

Yang kedua adalah zaman “Kalatidha,” atau “Tetrayuga/Dwiparayuga”, yakni  zaman transisi. Seperti tergambar dalam karya Ronggowarsito, atau Sidemen, yang mengurai tentang kehidupan (pribadi) di era kepemimpinan raja, yang selalu mencurigai rakyatnya. Intrik dan fitnah menggeliat, dan itu menempatkan sang sastrawan atau pujangga dalam situasi yang sulit. Suatu keadaan yang mirip dengan dua windu (16 tahun) reformasi Indonesia, yang ditandai dengan berbagai kasus korupsi (partai) politik.

Sedang yang ketiga adalah zaman “Kalasuba”, atau “Kertayuga”, yakni zaman yang memberi harapan, zaman gemilang. Presiden Jokowi melalui “revolusi mental” inging mengajak menata Peri-kehidupan. Upaya menggapai kebebasan, kesetaraan  dan keadilan “semua untuk semua” terus dia gemakan. Sementara para durjana terseok-seok hidupnya, memenuhi paseban KPK dan Tipikor. Sebuah era yang disebut sebagai ‘keleme gabus, kambange watu item’ setapak demi setapak terbukti. Orang baik mulai tampil sebagai pemimpin -yang bejat mulai tersingkir.

Memasuki zaman pencerahan mental, memang jagad itu kehidupan tak langsung tenteram tanpa dinamika, terutama politik. Sebab para durjana yang mulai tersingkir itu akan melakukan perlawanan. Dengan kuasa dan seabreg harta yang dipunya akan menggalang kekuatan agar kembali berkuasa. Itu menimbulkan suasana panas, bahkan bisa sampai chaos, seperti mengedepan dalam persetruan “koalisi isi kuali” (KMP vs KIH).

Di tengah kecaggihan teknologi informasi, serat dan jangka juga tidak luput dari penyimpanan interpretasi. Ditambah apologia para antropolog, yang menyebut serat tulisan para pujangga Nusantara adalah sastra puja, serta menukil pada mistisisme. Sehingga di jejaring sosial kini bertebaran serat-serat dalam berbagai versi, lengap dengan nuansa provokasi.

Memahami serat tidaklah bisa hanya bersandarkan pada akal. Dibutuhkan rasa yang jernih, memboyong filosofi ‘ngelmu kuwi kanthi laku’, atau ‘nandurin karang awak’ -ajaran itu dijalani, bukan hanya wacana. Ini bersifat surealistis, seperti yang diungkap Mangkunegara IV dalam Wedhatama yang menghasilkan simpulan, “urip sak derma ngelampahi.” Hidup itu tidak sekadar menjalani. Hening tanpa pretensi. Tapi bagaimana melihat tabir di balik itu, dengan kerja, kerja, dan kerja (praksis).

Dari hening itulah terbentang jawaban. Hati bisa merasakan. Dari sini jawaban itu menyiratkan, bahwa tahun 2015 adalah gerbang menuju zaman pencerahan mental (Kalasuba/Kerthayuga). Sebuah zaman yang pelan tapi pasti, azab Tuhan datang mengubur para durjana dan menaikkan derajat manusia yang baik dan tauladan.

Di belahan dunia lain, para penafsir Nostradamus juga memberi tengara sama. Memang tafsir mereka ini bertolak belakang dengan prediksi tentang apa yang terjadi di tahun 2014. Namun interpretasi mereka tentang tahun 2020 sebagai tahun keemasan rasanya mendekati kebenaran. Setidaknya ini berlaku untuk kawasan Asean. Mudah-mudahan sedang menjelang, bukan sebaliknya.

Sebagai warga, kita selalu berharap revolusi pencerahan mental berjalan tenang, tenteram dan damai. Sebagai bangsa kita juga berharap Nusantara gemah ripah, makmur dan sejahtera. Untuk itu prediksi ini tempatkan seperti itu. Namun kita harus tetap waspada akan sang Naga Tatsaka, dengan segala praharanya. Sehingga bisa mencapai kebahagiaan pribadi, kita, dan seluruh rakyat negeri di garis katulistiwa ini. JAN-MB