SEIRING kemajuan teknologi, kreativitas berkesenian masyarakat Bali pun senantiasa mengalami pergeseran nilai adiluhungnya secara menyeluruh akibat dari pengaruh negatif peradaban budaya global kekinian. Seperti halnya dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) selama ini, misalnya, termasuk dalam tahun ini yang telah memasuki episode ke-35 tahun. Beragam pementasan pertunjukan seni budaya telah disajikan oleh ribuan seniman selama sebulan penuh, mulai 15 Juni hingga 13 Juli 2013. Bahkan, ribuan pencinta seni budaya yang beramai-ramai berkunjung di Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar sebagai pusat pelaksanaan PKB pun telah mengapresiasinya dengan antusias dan sangat aspiratif.

Sayangnya, pementasan pertunjukan seni budaya tersebut terkesan masih sebatas serimonial dari ritual tahunan seni budaya berbasis kearifan lokal khas Bali. Mengingat, para seniman yang tampil secara tulus iklas tanpa pamrih dalam ajang PKB selama ini rupanya belum sepenuhnya mampu mengejawantahkan makna tema Taksu: Membangkitkan Daya Kreatif dan Jati Diri dalam proses penciptaan karya seni budaya unggulannya secara edukatif, sehingga terkesan apa adanya dan relatif tanpa daya gugat untuk pencerahan khalayak publik.

Bahkan hal ini dipertegas oleh budayawan, Prof. Dr. I Made Bandem, yang menyatakan bahwa pementasan pertunjukan seni budaya garapan para seniman di ajang PKB tahun ini belum sepenuhnya sesuai dengan tema, sehingga terkesan kurang greget dan tidak mampu memberikan edukasi nilai bagi penguatan ruh dari taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali sesuai harapan yang telah dicanangkan bersama.

Terlebih lagi, masih terjadi kebijakan diskriminasi terhadap seniman dalam pemanggungan terkait pengadaan sarana prasarana perlengkapan berupa sound system dan lighting. Padahal, proses pengadaannya telah menghabiskan dana dari APBD Bali hingga miliaran rupiah lebih. Bahkan, pesan edukasi moral yang tersirat dalam setiap pementasan pertunjukan seni budaya tersebut pun rupanya belum mampu menggugah kesadaran hati nurani khalayak publik, masyarakat luas untuk meningkatkan keindahan perilaku hidupnya dalam ekologi desa pakraman. Ironisnya, justru sebaliknya semakin tergerus arus budaya global dari praktik kapitalisme modal yang sangat hedonis dan konsumtif.

Atas dasar itulah, patut disadari bahwa memotret PKB selama ini sejatinya bukanlah sekadar menikmati hiburan yang apa adanya sebagai ajang reuni tahunan selama sebulan penuh, melainkan sekaligus merupakan media ungkap dalam menelanjangi taksu Bali secara holistik dan komprehensif dengan kejujuran serta ketulusan jiwa nan suci untuk meningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa yang berbasis kearifan lokal khas Bali. Dalam konteks ini, apakah realitas sosialnya telah melampaui peradaban global kekinian secara beradab dan bermartabat, ataukah justru sebaliknya, mengalami degradasi moral yang dapat memicu gejolak politik budaya di tengah kehidupan masyarakat dalam desa pakraman.

Karena itulah, diperlukan agen perubahan dalam pelaksanaan PKB setiap tahunnya, guna meningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan seni budaya lokal khas Bali sebagai daya saing dalam kancah industri pariwisata dunia. Sehingga, seni budaya tersebut nantinya betul-betul mampu meningkatkan kesejahteraan publik dalam beragam sektor kehidupan masyarakat di tengah desa pakraman. Sehingga, PKB tidak sekadar menjadi objek budaya untuk bagi-bagi proyek bernuansa ekonomis semata, melainkan justru harus menjadi media ungkap yang efektif dan strategis dalam mencetak karakter bangsa.

Sesungguhnya, setiap perubahan pada umumnya merupakan upaya strategis dan relatif cukup signifikan dalam melakukan langkah koreksi dan evaluasi menuju arah kebaikan yang lebih baik dan menyejahterakan. Mengingat, setiap perubahan yang terjadi bukan sekadar untuk memenuhi kepuasan personal/pribadi maupun kelompok maupun golongan, melainkan demi upaya memenuhi kepercayaan dan kepentingan kesejahteraan khalayak publik yang lebih luas. Namun, pada kenyataannya upaya perubahan itu acapkali tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar. Ini karena tidak adanya kemauan kuat dan niat baik dari para elite penguasa pemangku kebijakan untuk melakukan tindakan tegas dalam menjalankan kebijakannya sesuai proses penegakan supremasi hukum secara berkeadilan dan bermartabat.

Ketidaksadaran para elite penguasa pemangku kebijakan sebagai abdi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara tulus iklas tanpa pamrih demi memenuhi kepercayaan dan kepentingan kesejahteraan khalayak publik, masyarakat luas mengakibatkan terjadinya krisis politik budaya yang dapat mengancam hilangnya generasi berbudaya, yakni intelektual, berkualitas, cerdas, kreatif, dan kompetitif, serta berdaya saing global secara terstruktur di masa mendatang. Jika begitu fenomenanya masih adakah elite penguasa pemangku kebijakan yang dapat diharapkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas. Mungkin sang waktu akan menjawabnya, dan publik pun dengan agak terpaksa harus patuh untuk tetap setia bersabar menunggunya.

 

Genosida Budaya

Krisis percikan masalah klasik yang telah menyandera pelaksanaan PKB selama ini telah menjadi rahasia publik bertahun-tahun dan kerap dipandang sebelah mata. Di antaranya, pemaksaan kehendak untuk mendapatkan akses tersendiri dalam mengeksplorasi keagungan nilai adiluhung seni budaya bangsa dengan dalih memenuhi kebutuhan ritual keagamaan, pengaplingan trotoar dan jalan raya yang menjadi aksesbilitas transportasi publik, dan tindakan keindahan perilaku cacat moral lainnya.

Inilah fenomena etik dan etika dari praktik mafia premanisme budaya (koruptor) jalanan yang tidak beradab dan bermartabat dalam kehidupan berbudaya di tengah desa pakraman selama ini. Jika hal ini dibiarkan terjadi terus menerus hingga bertahun-tahun berarti pemerintah telah melegalkan terjadinya gerakan genosida budaya di tengah desa pakraman. Ini sama halnya dengan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia secara struktural dan berencana.

Atas dasar itulah, sesungguhnya tak ada lagi alasan pembenar bagi para elite penguasa pemangku kebijakan untuk membiarkan keindahan perilaku praktik mafia premanisme budaya jalanan dari kelompok internal desa pakraman dengan menghalalkan segala cara yang cacat moral termasuk berlindung dalam ekologi pemerintahan berdalih demi penguatan ajaran dharma dari kesucian ritual keagamaan Hindu pada pelaksanaan PKB selanjutnya.

Diakui, memang akibat pembiaran selama ini ketika dilakukan tindakan penegakan supremasi hukum secara tegas sudah pasti dapat memicu gejolak emosional dari kelompok internal tersebut, yang terlanjur merasa aman dan nyaman dalam menjalankan praktik mafia premanisme budaya selama bertahun-tahun. Terlebih lagi, celakanya ketika oknum intelektual yang berada dibalik praktik mafia premanisme budaya ini merupakan para elite penguasa pemangku kebijakan baik di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa proses penegakan supremasi hukum secara berkeadilan atas dasar kebenaran dan kepentingan khlayak publik, masyarakat luas akan semakin sulit dan mustahil. Meskipun begitu upaya menciptakan agen perubahan harus tetap dilakukan demi penyelamatan nilai adiluhung kebudayaan bangsa yang dikonstruksi dalam PKB selanjutnya. Supaya pelaksanaan PKB tidak selalu dicap sebagai sumber kegaduhan sosial budaya yang dapat melecehkan upaya penguatan ruh dari taksu keagungan nilai adiluhung kebudayaan bangsa secara masif.

Dengan demikian, sudah menjadi hukum mutlak dan wajib bagi pemerintah untuk membenahi aksesbilitas menuju destinasi wisata dari pementasan pertunjukan seni budaya dalam ajang PKB yang terpusat di Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar secara lebih konkret dan nyata. Untuk itulah, para elite penguasa pemangku kebijakan harus saling bersinergi meningkatkan kinerja dan etos kerja sebagai abdi negara untuk menegakkan supremasi hukum bagi kesejahteraan masyarakat luas. Karena, pada dasarnya memang daya tarik destinasi wisata harus didukung aksesbilitas yang layak dan memadai, sehingga semangat tulus iklas tanpa pamrih para seniman dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa tidak stagnan dan kehilangan ruh dan taksunya secara global.

Di samping itu, peningkatan jumlah pengunjung lokal termasuk wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang mengapresiasi ajang PKB sangat ditentukan oleh daya tarik dari keragaman budaya yang dipentaskan, kondisi infrastruktur, keindahan perilaku masyarakat dalam desa pakraman, dan strategi sosialisasi publik secara terbuka, transparan, serta independen. Oleh sebab itulah, jangan pernah mengambil resiko dengan melakukan pembiaran terjadinya praktik mafia premanisme budaya jalanan dalam kawasan destinasi budaya supaya pengelolaan atau operasionalnya di masa datang semakin lebih baik.

Ingatlah bahwa apresiasi terhadap pementasan pertunjukan seni budaya dalam ajang PKB selama ini bukanlah upaya penggalangan massa atas dasar “surat perintah” maupun arahan dari tekanan kepentingan birokrasi pemerintahan semata, tapi semestinya atas dasar kesadaran hati nurani yang tumbuh dari dasar jiwa nan suci yang menjunjung tinggi semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih secara universal. Dengan begitu, ajang PKB dapat disebut sebagai media edukatif yang mencerdaskan untuk memuliakan manusia dalam kesadaran budaya yang beradab dan bermartabat di kancah pariwisata dunia.

 Bahaya tapi Dicueki

Terkadang sesuatu kegaduhan dari persoalan yang remeh-temeh acapkali dicueki dan bahkan dipandang sebelah mata, karena memang dianggap tidak terlalu penting. Padahal, pada kenyataannya hal itu justru punya peran penting yang sangat strategis dan cukup signifikan dalam menentukan dan sekaligus mengukur tingkat kualitas dari kepercayaan publik, masyarakat luas terhadap kinerja dan etos kerja dari lembaga kepanitian PKB selama ini.

Persoalan remeh-temeh itu antara lain dari faktor eksternal berupa pemaksaan kehendak oleh kelompok internal desa pakraman yang mengeksplorasi kegiatan PKB dengan melakukan praktik mafia premanisme budaya jalanan seperti pembongkaran tembok (pintu/lubang tikus,-red) Taman Budaya (arts centre) Bali atas dalih kepentingan ritual adat dan keagamaan dari ajaran Hindu, pembiaran terhadap pencaplokan fasilitas publik seperti trotoar dan jalan raya untuk lahan parkir liar demi memenuhi tuntutan ekonomi kepentingan pribadi maupun golongan atau kelompok tertentu, maraknya pedagang asongan yang memanfaatkan aksesbilitas jalan keluar masuk shuttle bus menuju Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, dan kegaduhan sosial budaya lainnya, yang selalu dikonstruksi oleh kelompok internal desa pakraman dalam pelaksanaan PKB setiap tahunnya.

Sementara itu, dari faktor internal berupa perlakuan diskriminasi dalam penggunaan sarana prasarana pemanggungan terkait perlengkapan sound system dan lighting, penyediaan toilet yang terkesan asal-asalan dan sangat jorok baik untuk para pengunjung maupun para seniman, kegaduhan biaya pengadaan stan pameran atau dagang yang semakin meresahkan dan tidak transparan, pengadaan layanan komunikasi publik termasuk internet dan fasilitas sosial media yang setengah hati serta tidak proporsional dan profesional, lemahnya kontrol pengawasan terhadap kinerja panitia sehingga seringkali terjadi pelanggaran hukum, ketidaktertiban pengunjung atau penonton terkait ruang privat untuk kenyamanan para seniman, pengadaan sumber kelistrikan dari PLN yang selalu bermasalah atau mati mendadak hingga berkali-kali ketika para seniman sedang beraksi di atas panggung, serta persoalan klasik lainnya yang selalu terjadi pada pelaksanaan PKB setiap tahunnya.

Padahal, dalam pelaksanaan PKB setiap tahun terutama saat rapat pleno persiapan akhir, gubernur Bali, Made Mangku Pastika selalu mengingatkan semua pihak terkait dalam kepanitiaan PKB agar saling bersinergi untuk menindaklanjuti beragam persoalan klasik yang menjadi kendala utama dan sangat vital bagi upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali, demi pencitraan PKB yang lebih baik dan menyejahterakan bagi khalayak publik, masyarakat luas. Namun, beragam arahan dari kebijakan untuk perubahan yang lebih baik tersebut rupanya dianggap tidak penting sekaligus tidak punya korelasi terhadap relasi kuasa dari kepanitiaannya di ajang PKB, sehingga tidak perlu untuk dilaksanakan. Sungguh sangat ironis sekali, bukan ?

Implikasinya, semangat tulus iklas tanpa pamrih para seniman untuk tampil menunjukkan karya kreatif unggulannya di ajang PKB pun seakan menjadi mubazir dan kehilangan gregetnya untuk menguatkan jati diri kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali. Hal ini karena ruh dari taksu seni budaya tersebut senantiasa tersandera ataupun termarjinalisasi oleh tindakan keindahan perilaku cacat moral yang tidak beradab dan bermartabat baik dari kelompok internal desa pakraman melalui praktik mafia premanisme budaya, maupun dari kepanitian PKB yang tidak tegas dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga acapkali terjadi praktik pembiaran secara terus menerus terhadap pelanggaran hukum di depan publik selama bertahun-tahun.

Ini berarti telah terjadi pelecehan terhadap proses kreatif para seniman sekaligus reformasi birokrasi dan demokrasi berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat. Lantas haruskah publik berdiam diri dan taat untuk menunggu, ataukah sebaliknya melakukan atraksi demo budaya atas keniscayaan terhadap penegakan supremasi hukum yang berkeadilan secara demokratis.

 

Kualitas hidup

Dalam perkembangannya, persinggungan beragam budaya tradisional yang berasimilasi dengan budaya global telah mengakibatkan terjadinya proses peleburan budaya secara terus menerus. Jika tidak ditangani secara benar tentunya dapat berdampak buruk terhadap pencetakan karakter bangsa di masa depan. Terlebih lagi, dalam proses konstruksi pementasan pertunjukan seni budaya di ajang PKB selama ini. Karena, sesungguhnya proses berkesenian yang disajikan para seniman dalam ajang PKB merupakan upaya peningkatan kualitas hidup menjadi lebih baik dan menyejahterakan.

Kemerosotan moral dan etika sosial senantiasa ditandai dengan semakin menipisnya sopan santun, rasa hormat terhadap aturan serta keindahan perilaku yang cacat moral dalam bentuk praktik mafia premanisme budaya jalanan yang terjadi terus menerus selama bertahun-tahun. Di sisi lain, dalam relasi hegemoni kuasa dari kepemimpinan Bali cenderung belum tampak mengangung-agungkan sifat kemuliaan seperti kejujuran, kesederhanaan, keteladanan, ketegasan dalam keindahan perilaku sebagai abdi negara yang merdeka dan berdaulat secara demokratis. Akibatnya, pelanggaran hukum terjadi secara masif dan proses penegakan supremasi hukum secara berkeadilan pun tidak pernah terlaksana dengan baik dan lancar. Implikasinya, kepentingan publik, masyarakat luas pun menjadi terabaikan dan dilecehkan.

Ingatlah bahwa seni pertunjukan yang disajikan selama sebulan dalam ajang PKB selama ini sejatinya bukan semata-mata sebuah pemanggungan yang menghibur saja, melainkan punya makna, baik makna sosial, ritual adat istihadat, maupun ritual keagamaan, yang tersirat dalam koreografi, kostum, maupun alat musik pengiringnya. Dalam konteks ini, perlu adanya komitmen dari para elite penguasa pemangku kebijakan dalam kepemimpinan Bali pada pemerintahan untuk saling bersinergi secara kelembagaan untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan lebih bertanggungjawab.

Jangan lupa, dalam konteks fungsional ataupun struktural peran strategis kepanitian dari ajang PKB merupakan garda terdepan dan paling signifikan untuk menentukan kualitas kepercayaan publik terhadap keagungan nilai adiluhung kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan lokal khas Bali di tengah kehidupan sosial masyarakat kekinian dalam ekologi desa pakraman. Jadi unsur subjektivitas dan luasnya kekuasaan panitia PKB dalam menjalankan tugas dan fungsinya perlu mendapatkan pengawasan publik, agar tidak terjadi penyimpangan kekuasaan ketika melakukan penindakan tegas terhadap praktik mafia premanisme budaya yang telah menjadi persoalan klasik dan fenomena publik selama ini.

  

Menebar Pesan Kebaikan

Pementasan seni budaya berbasis kearifan lokal khas Bali dalam ajang PKB semestinya memberikan edukasi nilai dalam pembentukan karakter bangsa. Bahkan seharusnya mampu menciptakan terobosan baru bagi para elite penguasa pemangku kebijakan untuk mengambil langkah strategis dalam membenahi beragam persoalan sosial di tengah masyarakat kekinian, terutama dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa yang berbasis kearifan lokal khas Bali.

Dalam konteks ini, pelaksanaan PKB tidak boleh diperbudak oleh siapapun untuk kepentingan pribadi maupun kelompok ataupun golongan tertentu, melainkan harus dikelola seluas-luas secara proporsional dan profesional sebagai upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan publik, masyarakat luas yang lebih baik dan bermartabat. Ini artinya para seniman dituntut harus mampu menebarkan pesan kebaikan dalam setiap pementasan pertunjukan seni budaya unggulannya di ajang PKB secara kolektif.

Bahkan, Ketua Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibya) Bali, I Gusti Putu Rai Andayana menegaskan bahwa semestinya tidak hanya seniman yang dituntut untuk mampu menebar pesan kebaikan dalam karya kreatif unggulannya, melainkan juga sudah menjadi kewajiban bersama para elite penguasa pemangku kebijakan untuk memberikan keteladanan kepada khalayak publik dalam upaya peningkatan pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali sebagai media alternatif pencetakan karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat di ajang PKB setiap tahunnya.

Diakuinya, peranan desa pakraman di sekitar Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar yang menjadi pusat penyelenggaraan PKB setiap tahun seharusnya tidak bertentangan dengan semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih para seniman dalam menciptakan karya kreatif unggulannya selama ini. Sehingga pencitraan PKB secara global tidak terus menerus dicap sebagai pasar malam atau pesta dagang yang mengejar keuntungan finansial ekonomis bagi kepentingan pribadi maupun kelompok ataupun golongan tertentu saja. Jangan karena merasa punya kekuatan tersendiri ataupun pelindung khusus dalam ekologi desa pakraman dengan sesuka hati melakukan tindakan praktik mafia premanisme budaya jalanan dengan memaksakan kehendak kepada lembaga pemerintahan yang dipercaya sebagai penyelenggara PKB selama ini.

Atas dasar itulah, para elite penguasa pemangku kebijakan harus secara terus menerus melakukan upaya penindakan tegas terhadap pelanggaran hukum yang terjadi selama pelaksanaan PKB berlangsung. Jangan sampai terjadi pembiaran secara bertahun-tahun hingga menjadi budaya salah kaprah yang cacat moral dan tidak bermartabat, demi upaya penegakan supremasi hukum secara berkeadilan atas dasar kebenaran universal yang berpihak kepada kepentingan khalayak publik, masyarakat luas. Sehingga, alokasi penggunaan dana dari APBD Bali untuk pelaksanaan PKB tidak dianggap mubazir.

Tegasnya, ingatlah bahwa negara tidak boleh dianggap kalah ataupun sampai dikalahkan oleh kepentingan dari kelompok internal dalam desa pakraman melalui praktik mafia premanisme budaya jalanan. Apalagi, jika sampai pemerintah Bali dicap tidak punya pemimpin. Celakanya, ini tentunya akan menjadi tanda tanya besar publik terhadap pengeluaran dana dari APBD Bali yang mencapai angka hingga miliaran rupiah lebih untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Lantas, haruskah ada pemilu dan masih perlukah masyarakat untuk memilih. Inilah tantangan publik yang mesti mendapatkan apresiasi secara lebih serius dan konkret dari para elite penguasa pemangku kebijakan dalam mengonstruksi PKB selanjutnya. WB-MB