Penulis sengaja membuat pertanyaan tersebut sebagai judul tulisan. Alasannya sederhana, penulis hanya ingin agar  pada saat anda membaca  tulisan ini, anda langsung menjawabnya secara spontan dan tidak perlu berpikir terlalu dalam. Apa pun jawaban anda kami pikir pasti benar. Ya atau tidak, dengan argumenasi atau tanpa argumentasi, kesimpulannya pastilah benar. Dalam angan kami, dipastikan tidak ada jawaban yang salah, dan dipastikan pula bahwa anda akan menjawab dengan pasti benar.

Nah, pasti ada sebagian dari anda yang akan merasa bingung untuk menjawabnya kan. Tapi tidak usah ribet. Karena apa yang kami sampaikan itu bukanlah pokok persoalan. Kenapa bisa, kok semua akan menjadi benar. Ekstrim banget, karena menurut kebiasaan selama ini, diantara kita pastilah jawaban sebuah pertanyaan akan benar atau salah, dan cukup jarang dijawab dengan kedua-duanya. Key-words nya Cuma satu. Jawaban itu merupakan hasil langsung dari kebiasaan anda mengkonsumsi isiaran dari lembaga penyiaran. Jadi, dengan hanya menonton atau mendengar media penyiaran radi ataupun televisi, dipastikan anda juga punya pengalaman untuk menjawab  dengan benar. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan anda, apapun jawabannya akan menjadi benar. Alasannya, sederhana saja, karena jawaban itu penuh dengan subyektivitas, alias anda yang menentukan jawabannya sepunuhnya. Karena, jawaban itu lahir dari pengalaman anda menonton televise atau mendengar radio di sekeliling anda.

Sharring Pengalaman Konsumen Media.

Berdasarkan pengalaman sebagai penikmat siaran itu juga, mari kita saling bertukar pengalaman sebagai konsumen media penyiaran. Berdasarkan pengalaman penulis, setiap hari kita disajikan Bergama informasi baik dalam bentuk hiburan(entertainment), berita (news), opini masyarakat dan lain sebagainya yang disajikan dalam bentuk program siaran. Dengan kemampuannya menggunakan media massa penyiaran itu, para praktisi komunikasi massa, mulai dari kapasitas owner, direktur, wartawan, programmer, presenter, news anchor  atau host dan lain sebagainya, berupaya menanamkan pengaruh nya ke tengah ruang kehidupan kita. Bahkan, dengan pepiawaian para  praktisi media massa tersebut, bisa jadi, kita tidak sedar telah menerima pesan-pesan secara hypnosis masuk ke ruang bawah sadar kita. Nah, setelah sadar, kita Cuma tahu enaknya siaran saja. Kita tidak bisa lagi menggunakan logika dengan sempurna, karena sudah terbawa emosi yang ditiupkan melalui stasiun penyiaran dengan menggunakan pesan-pesan simbolik.

Bahasa yang menjadi medium penyiaran, tidak lagi terpaku pada bhasa verbal. Penerapan kebahasaan sudah tersimbolisasi sangat luas. Maksudnya, bahasa tidak lagi hanya didengar dengan telinga. Tetapi bahasa sudah bisa dilihat dengan mata. Bahasa lisan lewat radio umumnya menggunakan bahasa verbal melalui suara penyiar, dan music effect. Sementara di tempat lain, televise membius kita dengan bahasa visual. Televisi sangat unik dan paripurna dalam penggunaan bahasa. Keahlian televise menggunakan dua bahasa(maksudnya bahasa verbal dan bahasa audial). Khusus bahasa visual, televise bisa berkomunikasi dengan memanfaatkan elemen komposisi yang sangat kuat. Yakni, dengan menstimulasi ruang, warna, gerak dan cahaya, media tersebut bisa dengan mudah menggiring kita untuk masuk program-program yang disiarkan, baik yang sifatnya persuasip, atau pun agitatif ke dalam mental dan emosi kita. Musik yang jernih, warna-warna dan spot light yang menawan, dan obyek-obyek yang eksotis, pemandangan yang indah, wanita cantik, keanehan-keanehan, kejuta-kejutan dan lain-lain merupakan penetrasi simbul-simbul visual yang sering dimanfaatkan oleh media visual dan secara tidak langsung berfungsi sebagai  perangkat hypnosis di hadapan kita.

Melonggarkan Keterikatan Menonton Televisi.

Agar luput dari kendali media penyiaran, khususnya televise, sebenarnya sangat  mudah. Caranya, ya jangan menonton televise. Tetapi, agar mampu untuk tidak menonton televise, itu bukan perkara mudah. Kita sudah menggantungkan kehidupan kita di televise. Banyak informasi yang menyangkut kebutuhan hidup kita sering lebih dahulu ada di televise, dari pada dilingkungan kita secara nyata. Melalui dari peristiwa dalam berita yang bersifat factual, hingga dunia fantasi melalui entertainment yang fiktif juga ada di sana. Bentuknya sangat variatif, dan tidak terhingga jumlahnya. Bahkan dengan banyak stasiun televise seperti sekarang, masyarakat termasuk saya juga, seperti terjebak dalam belantara tontonan yang tiada akhir. Tiap detik atmosfir alam kita, telah diisi dengan siaran dari televise yang siap diakses kapan dan dimanapun. Selain itu, juga ibaratnya masuk di satu hypermarket informasi yang sangat luas. Apapun kebutuhan informasi kita, sering mampu disediakan oleh  televise. Para praktisi penyiaran, mulai marketing, redaksi, wartawan, entertaint, programmer, redaktur pelaksana , direktur hingga owner dan yang lainnya  sudah berjalan dalam satu track visioner yang sama, yakni berpadu menguasai penonton atau masyarakat secara permanen. Komoditi utama dari mekanisme kapitalisme media penyiaran adalah ide atau gagasan stasiun yang dimotori para praktisi berupa beragam bentuk inovasi dan creativitas  content siaran. Sedang yang menjadi pembelinya adalah masyarakat atau penonton.

Pertimbangkan Dampak Siaran

Dalam system pasar atau konsumerisme seperti itu, pertimbangan – pertimbangan dampak media kepada masyarakat  sering dilupakan, atau belum menjadi pertimbangan setrategis pemegang kebijakan siaran dari lembaga media. Kebutuhan ideal itu, tidak jarang ditutupi oleh perhitungan-perhitungan ekonomis yang profit oriented   dari para pengendali media penyiaran. Mereka akan lebih suka memberikan gula-gula keinginan (want) dari pada memberikan kebutuhan (need) masyarakat, yang lebih konstruktif dan edukatif. Dalam logika kita, keinginan itu, lebih berkorelasi dengan nafsu, apabila selalu dipenuhi, sering berdampak buruk bagi kehidupan kita. Sementara kebutuhan, lebih berkorelasi dengan kemanfaatan, efesiensi, efektivitas, kesehatan, persaudaraan tanggungjawab social, dan dominan memberikan manfaat bagi kehidupan kita. Maka dapat disimpulkan, penyiaran adalah swalayan informasi. Sehingga untuk berbelanja di tempat itu, dibutuhkan suatu kebijaksanaan, rasionalisasi, kemampuan mengkalkulasi dengan baik terhadap dampak-dampaknya bagi kehidupan kita. Sarannya Cuma satu, berbelanjalah di pasar informasi tersebut berdasarkan referensi kebutuhan yang memang sangat kita butuhkan. Terhadap informasi yang kurang layak dibeli karena terlalu memanjakan keinginan kita, sebaiknya hanya boleh dilihat saja. Tidak leibh dari itu.

I Wayan Yasa Adnyana, SH,MH