nyoman-dhamantraDhamantra

Jakarta (Metrobali.com)-

Sudah Puluhan bahkan Ratusan ribu Krama Adat Bali berdiri dalam Gerakan Tolak Tekalamsi Teluk Benoa. Ratusan ribu krama adat tergabung dalam massa ForBALI. ‘Panglima’ untuk menolak reklamasi Teluk Benoa sendiri di komandoi pasubayan desa adat.

Gerakan rakyat ini semakin hari semakin masif. Itu terbukti dengan gerakan yang semakin besar itu,  semakin kuat juga perlawanan terhadap upaya menggerus gerakan. Itu dengan adanya berbagai upaya untuk melakukan kriminalisasi.

Baik itu terhadap koordinator ForBali Wayan “Gendo” Suardana. Dan yang terbaru,  adalah upaya mengkriminalisasi kasus penurunan bendera, yangdikatakan oleh Gubernur Provinsi Bali telah diturunkan oleh krama adat. Padahal tidak ada penurunan, yang ada ialah bendera Merah Putih tetap di atas sedangkan bendera ForBALI di bawahnya. Belum lagi, juga menyangkut persoalan pembakaran ban.

Menurut Dhamantra, di dalam sejarah gerakan, upaya kriminalisasi merupakan logika sesat kekuasaan untuk melumpuhkan gerakan lawan politiknya.

Karena, dengan memiliki kekuasaan mereka yakin dapat mengendalikan serta mengelola hukum, sebagai alat ampuh untuk mengkriminalisasi lawan politiknya. Supaya, nantinya terjadi proses  demoralisasi gerakan. Yaitu, dengan melakukan teror, ancaman ataupun fitnah. “Yang diharapkan dpt menghadirkan rasa takut, rasa cemas, rasa was was dan sebagainya. Yang pada akhirnya dapat menurunkan tensi dukungan terhadap gerakan perlawanan,” tegas Dhamantra.

Dan yang perlu dicatat, sambung dia, kriminalisasi hanya dilakukan ketija pihak  kekuasaan telah limbung. Itu adalah akibat kehilangan dukungan publiknya. Maka dari itu, kriminalisasi sejatinya, ibarat kekuasaan yang saat ini sedang mencari  lubang jarum. Kekuasaan itu ingin untuk bisa keluar, ditengah kepungan rakyat dengan tembok tinggi dan kuat. “Ini adalah upaya untuk menghapus atau mendegradasi gerakan perlawanan desa adat,” kata Dhamantra. RED-MB