Lapas Nusa Kambangan

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerintah Republik Indonesia akhirnya memutuskan untuk melakukan eksekusi mati terhadap enam terpidana kasus narkoba yang grasinya telah ditolak oleh Presiden Joko Widodo.

Namun, hal tersebut juga mendapat pertentangan dari sejumlah kelompok terutama LSM hak asasi manusia seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Kontras yang didirikan oleh almarhum aktivis HAM Munir itu menyatakan, pelaksanaan hukuman mati bagi para pengedar narkoba yang bakal dilakukan aparat keamanan bukan solusi untuk memutus mata rantai peredaran narkoba.

“Kontras pesimis bahwa pernyataan akan efektif memotong mata rantai peredaran narkotika, karena mengeksekusi pengedar tidak akan ampuh memotong mata rantai produksi global narkotika,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (17/1).

Selain itu, menurut Haris Azhar, hal itu juga masih ditambah dengan banyaknya bukti dan informasi bahwa proses hukum dijalankan secara tidak layak.

Untuk itu, Kontras juga mengecam keras pernyataan Jaksa Agung untuk terkait rencana eksekusi enam terpidana demi menyelamatkan Indonesia dari bahaya narkoba.

“Pernyataan tersebut juga tidak mencerminkan agenda institusi Kejaksaan Agung pada tren global penghapusan hukuman mati dari sistem tata pidana nasional yang sesuai dengan agenda HAM global,” katanya.

Berdasarkan data dari lembaga Amnesty International (AI) pada 2014, banyak negara di dunia yang telah menghapus pelaksanaan hukuman mati dalam beberapa dekade tahun terakhir ini.

Menurut AI, penggunaan hukuman mati biasanya dapat mengklasifikan sebanyak 195 negara merdeka (anggota atau status pengamat dalam PBB) menjadi empat golongan.

Kategorisasi tersebut terbagi atas 101 negara (52 persen) yang telah menghapus hukuman mati, 7 negara (4 persen) yang mempertahankannya hanya untuk kejahatan dalam kondisi tertentu (seperti saat perang), dan 47 negara (24 persen) negara yang memberlakukannya tetapi tidak menggunakannya setidaknya selama 10 tahun terakhir.

Kategori terakhir adalah 40 negara (20 persen) yang tetap mempertahankan hukuman mati baik dalam legalitas maupun prakteknya. Indonesia termasuk ke dalam kategori ini.

Untuk itu, Haris juga berpendapat bahwa rencana eksekusi hukuman mati kepada enam terpidana tersebut akan mencoreng muka Indonesia di panggung HAM internasional.

Hal itu, ujar dia, karena para terpidana dinilai tetap memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup (Pasal 28A UUD 1945), termasuk jaminan hak atas hidup yang tercantum di dalam Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No 12/2005).

Haris Azhar juga menilai bahwa insiden eksekusi mati tersebut bakal menambah deretan panjang carut marutnya politik HAM Indonesia di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Bahkan, Haris dalam akhir keterangan tertulisnya juga menyebutkan, “Kontras pun menduga, eksekusi hukuman mati pada 18 Januari besok adalah upaya pengalihan isu atas upaya penyelidikan KPK terhadap dugaan kejahatan rekening gendut yang melibatkan calon Kapolri bermasalah, Komjen (Pol) Budi Gunawan. Siapa yang tahu?”.

Darurat narkoba Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan Republik Indonesia sudah sampai ke tahap darurat narkoba sehingga ia tidak akan mengabulkan grasi yang diajukan pengedar narkoba.

“Ada sebanyak 40-50 orang di Indonesia yang meninggal setiap hari karena narkoba,” kata Presiden Jokowi saat memberikan Kuliah Umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (9/12).

Selain itu, berdasarkan statistik yang dia kemukakan, di Indonesia telah terdapat 4,5 juta orang yang terkena serta ada 1,2 juta orang yang sudah tidak bisa direhabilitasi karena kondisinya dinilai terlalu parah.

Ia mengungkapkan, saat ini ada sebanyak 64 pengedar yang grasinya sudah beredar di Istana Kepresidenan untuk meminta pengampunan Presiden.

“Tidak ada yang saya beri pengampunan untuk narkoba,” katanya sambil menambahkan, sikapnya yang tegas untuk ‘tidak ada ampun untuk narkoba’ juga karena alasan terapi kejut (shock therapy).

Jaksa Agung HM Prasetyo juga menegaskan, eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus narkoba akan dilakukan pada Minggu (18/1) pukul 00.00 WIB. “Kita putuskan tanggal 18 Januari, jam 00.00 WIB di Nusakambangan dan Boyolali,” katanya di Jakarta, Jumat (16/1).

Prasetyo menjelaskan teknisnya nanti disiapkan enam regu tembak karena enam terpidana mati dan dilakukan secara bersamaan atau serentak guna menjaga psikologisnya.

Jaksa Agung juga menyebutkan, saat ini para kedutaan besar sudah mendatangi Pulau Nusakambangan dan Boyolali karena akan melihat proses eksekusi warganya.

“Soal keluarga terpidana mati, itu urusan pihak kedutaan. Mau datang atau tidak itu urusan mereka. Kalau mau datang ya silakan datang,” katanya.

Demikian pula dengan pihak rohaniawan, kata dia, sudah dipersiapkan sesuai dengan agamanya masing-masing.

Kejaksaan Agung menyatakan kelima terpidana mati saat ini sudah dikumpulkan di Pulau Nusakambangan untuk dieksekusi secara serentak pada 18 Januari 2015. Sedangkan satu terpidana mati lainnya akan dieksekusi di Boyolali karena ditahan di LP Bulu, Semarang, Jawa Tengah.

Keenam terpidana mati tersebut, yakni, Namaona Denis (48), warga Negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53), warga Negara Brazil, Daniel Enemua (38), warga Negara Nigeria, Ang Kim Soei 62) tidak jelas kewarganegaraannya, Tran Thi Bich Hanh (37), warga Negara Vietnam dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga Negara Indonesia.

Sementara itu, Anggota MPR RI F-PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menyatakan setuju terhadap hukuman mati terhadap kejahatan yang sangat kejam yang tidak bisa ditolerir seperti pengedar narkoba yang telah menewaskan banyak jiwa.

“Saat ini ada sekitar 4,2 juta pemakai narkoba, dari jumlah tersebut, sepertiga diantaranya merupakan generasi muda. Saya kira siapapun tidak bisa mentolerir kejahatan (pengedar narkoba) yang sangat kejam ini,” kata Masinton Pasaribu.

Menurut dia, secara pribadi dirinya mengaku setuju dengan pelaksanaan hukuman mati terlebih di kalangan terpidana berat yang melakukan jenis kejahatan yang menimbulkan efek yang sangat berat seperti korupsi, terorisme dan pengedar narkoba.

Ia berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak menyalahi konstitusi. Meski pada pasal 28 ayat I dikatakan Negara menjamin hak hidup warganya, Namun pada pasal 28 ayat j, pelaksanaan hak asasi tersebut tidak boleh melanggar hak orang lain. AN-MB