Bali, (Metrobali.com) –

Pakar ekonomi dari Universitas of California Woo Wing Thye menilai pemerintah Indonesia juga harus fokus membangun infrastruktur sumber daya manusia (SDM) di samping pembangunan secara fisik, agar terhindar dari jebakan kelas menengah (middle income trap).

“Infrastruktur SDM adalah penyedia daya bagi sistem ekonomi, karena ide dan inovasi adalah penggerak utama sistem dan itu hanya berasal dari manusia,” ujar Woo saat menjadi pembicara dalam seminar internasional di Bali, Jumat.

Woo mengatakan, kegagalan terbesar Pemerintahan Orde Baru adalah investasi yang kurang di infrastruktur SDM, sebagaimana terbukti di mana rendahnya investasi untuk sanitasi, kesehatan, dan edukasi di wilayah pedesaan serta rendahnya peringkat internasional dari sekolah-sekolah dan universitas.

“India yang secara substansial lebih miskin, telah melakukan investasi infrastruktur SDM dengan lebih baik. China (ketika lebih miskin) bahkan melampaui Indonesia,” kata Woo.

Woo menjelaskan, peningkatan infrastruktur SDM dapat dilakukan salah satunya dengan membangun tujuh universitas nasional terbaik yang masing-masing bermitra dengan universitas asing terkemuka.

Selain itu, pemerintah tentunya harus membangun sanitasi dan sarana pendidikan bagi masyarakat pedesaan, dan juga akses kepada air bersih yang memadai.

“Pemerintah juga bisa meningkatkan pelatihan dan gaji guru-guru sekolah dan bonus bagi mereka,” ujar Woo.

Prestasi Indonesia dalam hal pengembangan SDM memang belum menggembirakan. Tingkat rata-rata lamanya mendapatkan pendidikan yang rendah, masih tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Bank Dunia (2013) menunjukkan bahwa dua pertiga dari perusahaan mengeluh bahwa untuk menemukan karyawan yang cocok untuk posisi profesional dan manajerial adalah “sulit” atau sangat “sulit” dan hampir 70 persen dari pengusaha yang bergerak dibidang manufaktur melaporkan bahwa “sangat sulit “untuk mengisi tingkat profesional terampil (insinyur).

Sebagai tambahan, membandingkan Indonesia dengan negara berkembang lainnya dalam hal penilaian pembelajaran seperti PISA (The Programme for International Student Assessment) menunjukkan posisi yang tidak menggembirakan. Sebagai contoh, siswa berusia 15 tahun di Indonesia memiliki tingkat pembelajaran yang jauh di bawah rekan-rekan mereka di Malaysia dan Thailand, yang diindikasikan dengan buruknya peringkatnya PISA dalam matematika dan ilmu pengetahuan.

Selain itu, alokasi anggaran di Indonesia untuk riset dan pengembangan (R&D) juga terbatas. Bank Dunia melaporkan bahwa Indonesia hanya menghabiskan 0,1 persen dari PDB untuk R & D pada tahun 2009, sedangkan Malaysia dan Korea menghabiskan sekitar 1,1 persen dan 3,6 persen masing-masing.

(Ant) –