Devy Kamil
Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana

Karangasem, (Metrobali.com) –

Satu bulan lebih sudah Gunung Agung berstatus awas. Sejak dinaikkan dari level III (siaga) ke level IV (awas) pada Jumat malam, 22 September 2017 pukul 20.30 WITA, hingga kini sudah memasuki hari ke-32. Ratusan ribu warga masih mengungsi di beberapa titik pengungsian. Namun hingga kini tak ada kepastian apakah gunung setinggi 3.142 mdpl itu akan meletus atau tidak..
Apakah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ‎terlalu cepat menaikkan status dari siaga menjadi awas? Menanggapi hal itu, Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana mengaku tak ada keuntungan apapun bagi institusinya ketika menaikkan status Gunung Agung menjadi awas. “Kita itu sayang sekali pada masyarakat. Eggak ada untungnya kok untuk kita di status awas. Malah kita lebih capek dan kurang tidur,” kata Devy membuka perbicangan, Selasa 24 Oktober 2017.
Jika PVMBG dianggap terlalu cepat menaikkan status awas, Devy balik bertanya kapan sesunguhnya waktu yang tepat untuk menaikkan status tersebut. ‎”Apakah ketika kita sudah melihat tremor menerus atau setelah letusan pembuka? Itu sama saja analoginya dengan ada banyak anak-anak didekat ”kandang singa”, lalu tiba-tiba kandang singa itu terbuka,” terang Devy.
Masih menggunakan analogi di atas, Devy mengaku tak pernah tahu kapan ”kandang sing” itu akan terbuka. Hal itu sama dengan PVMBG tak pernah tahu kapan Gunung Agung akan meletus. Tetapi, kata Devy, dalam rangka mitigasi, ia tak mau terlambat ‎memberi peringatan kepada masyarakat, dalam hal ini harus dievakuasi setelah tremor menerus muncul.
“Dulu saat menaikkan ke awas, saya dan teman-teman dihadapkan pada dua pilihan; naikkan ke awas sebelum atau sesudah tremor menerus. Kalau hitung-hitungan kemungkinan bagi kami benar atau salah, maka kita kita akan menaikkan status setelah tremor menerus. Toh kita benar, kasih tahu sebelum meletus. Tapi apakah waktunya cukup?” tanya Devy.
Waktu yang dimaksud Devy yakni mengevakuasi ratusan ribu warga dalam hitungan waktu. Ya, ia menjelaskan, letusan biasanya terjadi setelah tremor menerus muncul. Waktunya bisa dalam hitungan menit, jam, bisa juga hari.
“Saat kita menyatakan awas dalam kondisi tremor, letusan bisa kapan saja terjadi dari hitungan menit, jam bahkan berminggu-minggu. Kita pasti ‘benar’ nih hitungannya, karena sudah memberi warning. Tapi apakah itu mitigasi yang baik?” ujarnya.
“Dalam hal bencana Gunung Agung, dengan kondisi di mana kita belum memahami betul karakter gunung ini, kita saat itu dihadapkan dengan dua pilihan. Apakah akan menaruh risiko untuk masyarakat atau risiko untuk PVMBG? Saat itu kita lebih memilih menaruh risiko itu di pundak kita. Lebih baik salah dalam arti gunung ini tidak meletus tapi masyarakat selamat, daripada salah karena terlambat memberikan peringatan dini,” demikian Devy. (Laporan Bobby Andalan)