Denpasar (Metrobali.com)-

Forum Rektor Indonesia telah merumuskan enam poin yang dapat dijadikan syarat menjadi presiden Indonesia mendatang sebagai salah satu upaya menekan angka golongan putih dalam proses demokrasi.

“Syarat-syarat menjadi presiden dirumuskan, kalau itu masyarakat setuju, silakan pilih,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Laode M. Kamaluddin usai membuka Pertemuan FRI Regional Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur di Kampus Universitas Udayana di Denpasar, Sabtu (22/6).

Sebanyak enam syarat menjadi pemimpin negara itu di antaranya calon pemimpin yang minim dengan catatan negatif atau memiliki rekam jejak yang baik.

Selain itu, calon pemimpin yang memiliki keberanian membangun negara tanpa takut kepada Barat karena perhatian dunia saat ini tertuju kepada Asia sebagai mesin global.

Syarat ketiga, kata Laode, calon pemimpin yang mampu mengubah hal kecil menjadi luar biasa dan pemimpin yang memperhatikan nasib orang miskin.

Selain itu, pemimpin yang memiliki ketegasan dan memahami masalah hukum serta yang terakhir calon pemimpin yang mampu membawa negara yang besar di Asia dan dunia.

Dia menjelaskan bahwa enam poin tersebut merupakan syarat yang pas untuk mencari sosok pemimpin bangsa Indonesia pada masa mendatang.

Menjelang pemilihan presiden pada 2014, pihak kampus didorong untuk ikut memberikan advokasi kepada pemilih muda terutama di kalangan kampus, disamping memberikan sosialisasi dan pemahaman terkait pemilihan umum.

Ia mengemukakan para calon pemimpin yang dinilai memenuhi enam syarat tersebut akan dipublikasikan pada awal Januri-Februari 2014.

“Nanti bulan Januari-Februari akan kami tonjolkan, bisa saja mereka bukan dari kalangan partai, tetapi jika ada mereka bisa mencari kendaraan partai,” kata Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang itu.

Ia mengharapkan dengan adanya syarat untuk calon presiden itu, dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses demokrasi, terutama kalangan muda.

Dia menjelaskan bahwa dikhawatirkan tingkat golput semakin tinggi hingga bisa mencapai 50 persen yang sebagian besar berasal dari pemilih pemula, jika tak ada campur tangan lembaga terkait termasuk perguruan tinggi untuk ikut berpartisipasi.

Tingginya angka golput baik dalam proses pemilihan legislatif dan kepala daerah disebabkan berbagai hal, termasuk ketidakpuasan masyarakat terhadap calon pemimpin sehingga menimbulkan rasa kecewa.

“Golput itu menjadi besar karena kecewa dengan sistem politik nasional yang menghasilkan isu negatif di kalangan legislatif dan eksekutif. Ini masalah krusial yang bisa mengakibatkan kita berada di persimpangan jalan, menjadi negara besar atau bangkrut,” katanya. INT-MB