Keterangan foto: (dari kiri ke kanan) Billy Aries, Dr. Mahawan Karuniasa, Putri Potabuga, dan Nila Ardhyarini H. Pratiwi pada diskusi publik yang membahas mengenai transisi energi untuk masa depan yang lebih baik, Selasa (30/7/2019) di Bakoel Koffie, Jakarta/MB (Ihya)

Jakarta, (Metrobali.com) –

Friedrich Naumann Foundation Indonesia bekerjasama dengan Climate Institute menggelar diskusi publik yang membahas mengenai transisi energi untuk masa depan yang lebih baik, Selasa (30/7/2019) di Bakoel Koffie, Jakarta. Diskusi ini menghadirkan pemateri dari kalangan akademisi dan praktisi lingkungan, yaitu Billy Aries (Climate Institute), Nila Ardhyarini H. Pratiwi (APIK Indonesia/URDI), Dr. Mahawan Karuniasa (Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia/Direktur Environment Institute),  dan Andy Simarmata (Urban Planner/Scholar), yang dimoderatori oleh Putri Potabuga dari Climate Institute.

Masing-masing pemateri memberikan pemaparan mengenai fenomena deflasi energi di Indonesia yang disebabkan melonjaknya konsumsi energi fosil. Seperti yang diungkapkan Billy Aries, Indonesia terancam defisit energi di tahun 2021. Menurutnya, hal ini sangat mungkin terjadi karena Indonesia tidak memiliki cadangan energi yang memadai. “Tahun 2035 diperkirakan sebanyak 65% masyarakat Indonesia tinggal di kota, yang menyebabkan konsumsi energi akan meningkat. Saat ini penggunaan energi fosil akan habis, mau tidak mau energi terbarukan menjadi jawaban,” terang Billy Aries, pengamat Tata Kota dari Climate Institute.

Mahawan Karuniasa, Direktur Environment Institute yang juga menjadi Dosen Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia menambahkan, konsumsi energi penduduk Indonesia termasuk yang paling hemat yaitu sebesar 500-700 kg energi setara minyak per orang, yaitu hanya sepertiga dari Singapura. Konsumsi energi tersebut menjadi semakin meningkat karena jumlah penduduk yang tinggi. “Contohnya orang di Indonesia masih banyak yang menggunakan kipas angin tapi orang Singapura menggunakan AC. Perbedaannya terletak pada jumlah penduduk, di mana masyarakat Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih banyak dibanding Singapura sehingga konsumsi energi di Indonesia cenderung lebih tinggi,” tambahnya.

“Pemborosan energi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak seimbang dengan pertumbuhan energi yang semakin rendah,” ungkap Nila Ardhyarini dari APIK Indonesia. Ia juga menambahkan, penggunaan energi fosil terlalu banyak memberikan dampak terhadap lingkungan, seperti menciptakan degradasi lahan, deforestasi, yang juga memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat, sehingga masyarakat tidak bisa hanya bergantung pada energi fosil.

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih belum maksimal karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya karena kebijakan pemerintah yang kurang matang. Rata-rata potensi energi terbarukan di Indonesia berada pada daerah terpencil. Hal ini menjadi problem, yaitu koordinasi yang cukup lama antara kementerian terkait. Tahun 2017 telah terbit peraturan pemerintah tentang pemanfaatan energi terbarukan, yaitu energi listrik, namun inisiasi masih belum terlaksana karena terkendala regulasi. “Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam persoalan ini, salah satunya dengan membuat kebijakan dengan membagi wewenang kepada pemerintah daerah sehingga inisiasi lokal akan menguat,” tambah Billy Aries.

Salah satu peserta diskusi, Mulyawan dari Environment Institute berpendapat, transisi energi baru terbarukan berkaitan dengan kesiapan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur untuk pengembangan energi baru terbarukan itu sendiri. “Misalnya energi terbarukan yang potensial, seperti energi panas bumi yang pengelolaannya masih kurang dan membutuhkan regulasi pemerintah, yang membutuhkan koordinasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM karena biasanya sumber energi panas bumi terdapat di kawasan hutan lindung,” tambahnya.

Pewarta: Hana Sutiawati