KETIKA wacana otonomi khusus Bali kembali muncul kembali sebulan belakangan ini dan muncul nama Anggota DPD RI Wayan Sudirta yang telah ditunjuk sebagai Tim Kerja DPD RI untuk Otsus Bali, respon berbagai kalangan termasuk media, beragam. Ada yang khawatir bahwa otsus Bali berkembang menjadi fundamentalis sektarian dan eksklusif sehingga tak nyaman bagi pendatang maupun non Hindu. Namun, setelah dialog sekitar 2 jam, sebagian besar menyambut baik dan sama sekali tak khawatir bahwa wacana otsus Bali ini mengarah ke arah fundamentalisme dan sektarianisme. Sekalipun otonomi khusus terdengar serem dan ada yang khawatir perjuangan otsus Bali bisa mengarah ke fundamentalisme agama, setelah mendengar paparan senator Bali kelahiran Pidpid, Karangasem itu, tak ada lagi syak wasangka.

                Demikian kesimpulan diskusi terbatas yang digelar Koalisi Masyarakat untuk Pilgub Bali (KMPB) dengan kalangan media, Senin (4/2) di Denpasar. Menampilkan narasumber anggota DPD RI Wayan Sudirta, mantan birokrat Bali yang lama bergulat di Pemprov Bali Anak Agung Arwata, mantan Rektor Univ. Ngurah Rai Cok Atmaja, dan Rektor UNUD Prof. Dr. Made Bakta, dipandu Ketua KMPB, Putu Wirata Dwikora. KMPB juga mengingatkan, diskusi digelar sebagai bagian dari gerakan untuk mencari gubernur ideal, yakni gubernur yang mau memperjuangkan otsus. Calon gubernur yang tidak mendukung otsus, tidak usah dipilih.
Sudirta memaparkan, sejak 8 tahun ketika otsus Bali diperjuangkan oleh DPRD Bali dan elemen lainnya di Bali, dia telah mendaftarkannya di Prolegnas DPD RI dan DPR RI. Namun, karena perjuangan ini tidak mudah, yang ia lakukan adalah setiap tahun ia mendaftarkan otsus Bali itu di Prolegnas, sementara sebagai anggota DPD RI ia terus menerus membantu perjuangan anggota DPD RI di daerah lain, termasuk yang terakhir perjuangan otsus Daerah Istimewa Yogyakarta. setelah DI Yogyakarta goal, ujar Sudirta, ia memaparkan gagasan otsus Bali di DPD RI dan akhirnya mendapat dukungan semua daerah. Ketika dibentuk Tim, Sudirta ditunjuk sebagai ketua, sementara di wakil ketua dan personalia Tim duduk anggota DPD RI dari berbagai daerah yang agamanya pun beragam.
                ‘’Kalau mereka kira otsus Bali merugikan kepentingan orang non Bali dan non Hindu, dan hanya menguntungkan orang Bali dan Hindu, masa iya anggota DPD RI dari beberapa daerah ini mau  berdesak-desak duduk di Tim ini? Kalau ada yang berasumsi begitu, masa mereka percayakan saya menjadi ketua Tim,’’ ujar Sudirta.
                Dalam forum tersebut Sudirta menjelaskan, yang ia perjuangkan adalah aspirasi masyarakat Bali yang ia serap selama melakukan reses selama beberapa bulan di berbagai kabupaten dan kota di Bali. Ada tiga hal mendasar yang jadi titik tolak untuk meminta otonomi khsusus. Yakni, bagaimana agar tata ruang, manusia Bali dan tanah Bali bisa terlindung dari arus kuat pertumbuhan sosial ekonomi yang dibawa oleh globalisasi. Orang Bali khawatir bahwa mereka kelak akan menjadi seperti orang Aborigin di Australia atau orang Betawi di Jakarta, yang tersingkir oleh arus urbanisasi karena tidak kuat bersaing dengan pendatang.
Soalnya, orang Bali tidak akan kuat bersaing dengan pendatang karena beban dan tanggung jawab sosial mereka berbeda. Orang Bali Hindu, karena kesibukan adat dan agamanya di upacara, terpaksa sering meminta libur, sehingga kurang kompetitif dalam mengambil lapangan kerja. Beaya-beaya sosial mereka juga lebih banyak dibanding pendatang, seperti kena uang peson-peson  (iuran) untuk upacara di banjar  dan pura.  Kalau perlindungannya hanyalah dengan undang-undang biasa, misal UU Tenaga Kerja, orang Bali takkan terlindungi karena  bisa dibilang pemalas dan suka libur. Hanya kalau Bali punya UU Otsus, orang Bali Hindu bisa mendapat perlindungan. Namun  Otsus Bali ini tidak boleh membuat penduduk pendatang merasa tidak nyaman dan merasa terancam. PW-MB