Susana Pengibaran Bendera di Rumah Duplikat Proklamasi

Suasana pengibaran bendera Merah Putih, di rumah 
duplikat Proklamasi di Taman Agung Proklamasi

Denpasar (Metrobali.com)-

Nuansa sangat sederhana namun dalam suasana yang heroik, para pekerja bangunan dengan sangat hikmat mengikuti upacara pengibaran bendera dalam rangka Hut ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Bertempat di sebuah rumah duplikat, rumah perjuangan Proklamasi, dimana Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, dan Wakilnya, Muhamad Hatta, menyatakan dan menegaskan bangsa Indonesia telah merdeka.

Kepala Museum Agung dan Kepustakaan Agung Bung Karno, Gus Marhaen, menyatakan tanggal 17 Agustus merupakan sebuah momentum besar dan tonggak sejarah kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia.

Gus Marhaen mempertanyakan, bagaimana dan apa jadinya nasib bangsa Indonesia apabila ketika itu, 72 tahun yang lalu, tepatnya di sebuah rumah di jalan Pegangsaan Timur Jakarta, jika Sukarno dan Muhammad Hatta tidak membacakan naskah teks proklamasi, maka Indonesia tidak akan menikmati kemerdekaannya.

“Jikalau kita berpikir sederhana, jikalau kita tahu dan jikalau kita tidak tahu, bahwa seumpamanya kalau Sukarno dan Muhammad Hatta tidak membacakan sebuah naskah proklamasi, sampai saat ini kita tidak bisa disebut dengan merdeka”, kata Gus Marhaen, Kamis (17/08) di Taman Agung Proklamasi.

Tepat pukul 10.00 WITA, penaikan dan pengibaran dilakukan. Tiga orang peserta pembawa bendera, dengan langkah tegap menuju tiang bendera, yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah duplikat Proklamasi.

Dengan pakaian seadanya, ketiga “petugas” bergerak menaikkan dan mengibarkan bendera Merah Putih, diiringi lagu Indonesia Raya dan penghormatan dari peserta upacara “Upacara bendera setiap peringatan detik-detik Kemerdekaan, tidak hanya sebatas seremoni saja, namun adalah momentum sakral yang harus kita hormati sebagai rakyat Indonesia yang berdiri diatas tanah bumi ibu pertiwi dari Sabang sampai Merauke”, tegasnya penuh semangat.

Diungkapkannya juga, karena Taman Agung Proklamasi ini belum rampung, maka Ia mengajak teman-teman kuli bangunan untuk merayakan dan memperingati Hari Kemerdekaan.

“Apalagi lokasi upacara ini mengambil tempat di rumah duplikatnya Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta. Artinya teman-teman ini saya ajak ikut upacara bendera meski mereka kesehariannya sebagai kuli bangunan namun mereka punya semangat nasionalisme yang tinggi untuk bangsanya”, tutur pria yang juga Ketua Yayasan Kepustakaan Bung Karno ini.

Berbicara kemerdekaan, menurut Gus Marhaen, tidak lagi membedakan agama, budaya, status ekonomi maupun status sosial. Karena ketika sudah berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, semua rakyat Indonesia harus bersatu padu, memupuk semangat nasionalisme, menghargai perbedaan, dan yang paling penting menjaga empat konsensus kebangsaan, yakni Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

“Kalau kita berbicara kemerdekaan, sudah tidak ada urusan yang namanya ras minoritas mayoritas, pokoknya kita ini hidup berdampingan, berdiri sama tinggi duduk sama rendah”, ucapnya. Sebelum menutup upacara bendera ini, tak lupa Gus Marhaen memekikkan salam perjuangan. “Merdeka merdeka merdeka”, teriaknya lantang dan penuh semangat. ARI-MB