Ilustrasi Demokrasi Baliho

Ilustrasi Demokrasi Baliho

SUATU Hari Kamis, penulis menjadi nara sumber dalam program kelas pemilu. Kelas pemilu merupakan program rutin mingguan pendidikan pemilih di  sekolah-sekolah SMA/SMK yang ada di Kota Denpasar. Saat sesi Tanya jawab salah satu siswa sebut saja namanya Wayan bertanya berkaitan dengan maraknya baliho politik yang terpasang di ruang-ruang publik akhir-akhir ini. Siswa ini mengkritisi bagaimana baliho-baliho terpasang mengotori keindahan kota, kemudian menanyakan sikap KPU Kota Denpasar berkaitan dengan hal tersebut. Pada kalimat akhir pertanyaan, Wayan menyebut “demokrasi baliho”. Dalam sesi Tanya jawab ini ada lima pertanyaan dari tiga penanya. Pertanyaan berkaitan demokrasi baliho penulis geser pada jawaban terakhir agar dapat menjawab dengan baik pertanyaan berkaitan dengan masalah baliho ini.

Jawaban Penulis adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa baliho yang dimaksud adalah baliho yang statusnya sama dengan baliho masyarakat pada umumnya. Baliho yang sama dengan baliho iklan, baliho pengumuman, ataupun baliho sosialisasi lainnya. Sehubungan dengan pemasangan dan perijinannya merupakan tanggung jawab instansi terkait di permerintah daerah. Status baliho tersebut adalah tanggung jawab pemerintah daerah. KPU dalam hal ini baru dapat melakukan tindakan apabila baliho merupakan baliho calon yang  sudah resmi ditetapkan sebagai pasangan calon yang harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Pilkada Serentak Nomor 10 Tahun 2015.

Kedua, fenomena baliho merupakan suatu yang tidak dapat kita hindari dalam proses demokrasi kita. Perhelatan pemilu maupun pilkada identik dengan ramainya bertebaran alat peraga termasuk baliho. Pemasagan alat peraga dilakukan saat masa kampanye. Kampanye merupakan salah satu momen dalam pemilu yang paling ditunggu. Masa kampanye merupakan kesempatan calon kepala daerah memperkenalkan diri kepada  calon pemilih, melalui pemaparkan visi, misi dan program kerja.  Pada kesempatan masa kampanye dimanfaatkan  semaksimal mungkin oleh para calon pemilih mengetahui ide dan gagasan yang ditawarkan oleh calon pemimpin kita. Agar baliho tidak mengotori maka penempatannya diatur pada zonanisasi yang diijinkan dengan jumlah yang ditentukan sesuai dengan Undang-Undang No. 10  tahun 2015. Demikian jawaban singkat penulis waktu itu yang kemudian direspon dengan anggukan kepala agak pelan oleh Wayan. Gestur Wayan menunjukkan tanda paham dengan paparan penulis, namun ada hal yang masih mengganjal yang masih perlu penjelasan lebih dalam.

Istilah Demokrasi Baliho yang disebut oleh Wayan menjadi hal yang patut kita renungkan. Pemasangan Baliho ini, mungkin bertujuan untuk meningkatkan nilai keterpilihan atau elektabilitas tokoh yang menjadi bakal calon. Menurut Qudori (2010) Elektabilitas merupakan indikasi arah pilihan terhadap satu kandidat. Rumus sederhana elektabilitas bertumpu pada kekuatan dua komponen: tingkat pengenalan calon (recognition) dan tingkat persetujuan terhadap calon (likeability). Tingginya angka kedua komponen itu cenderung ditranslasikan menjadi elektabilitas yang unggul. Sementara indikator untuk kandidat petahana biasanya ditambah komponen tingkat kepuasan kinerja. Angka elektabilitas kemudian dijadikan rujukan oleh konsultan pencalonan untuk menentukan strategi dan perlakuan terhadap kandidat. Tim konselor politik merancang dan/atau sekaligus melaksanakan berbagai aktivitas untuk menaikkan tingkat pengenalan, persetujuan, dan elektabilitas.

Menurut Wawan Sobari dalam tulisan berjudul “Tirani Elektabilitas”, elektabilitas bisa menutup kesempatan bagi para calon berprestasi karena tingkat keterpilihannya tak terpantau. Atau, para calon dengan rekam jejak kepemimpinan daerah yang baik masuk dalam pantauan, tetapi elektabilitasnya tidak memadai. Konsekuensinya, apabila elektabilitas mendorong parpol menominasikan kandidat secara terbatas, itu akan mempersempit ruang memilih warga. Elektabilitas telah mereduksi kedaulatan warga untuk mengekspresikan kebebasan pilihan politiknya. Kemudian upaya-upaya memasarkan kandidat menjadi lebih penting daripada memikirkan keberlanjutan kemajuan daerah. Bahkan, sering kali kandidat berkualitas harus gigit jari tatkala elektabilitasnya rendah. Rekayasa elektabilitas pada akhirnya merupakan bagian dari transaksi dan arena keputusan elite parpol dalam pencalonan pilkada. Hasil survei sepenuhnya menjadi rujukan keputusan para petinggi parpol. Dengan kata lain, elektabilitas dan pencalonan menjadi bagian dari kompetisi politik elite.

Pendekatan elektabilitas hendaknya diperkuat lagi dengan pendekatan kapabilitas. Lebih lanjut Wawan memaparkan pendekatan kapabilitas setidaknya bisa mengurangi sifat alami publik yang memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality). Warga sulit dipaksa secara mandiri untuk mencari informasi yang relevan terkait rekam jejak, visi, misi, dan program yang dikampanyekan calon kepala daerah karena pilkada tidak menawarkan manfaat langsung. Namun, keterbatasan informasi publik bisa diminimalkan dengan produksi pengetahuan yang dapat menjadi bahan penilaian tentang kelayakan kandidat kepala daerah. Demokrasi Baliho belum cukup menjawab keinginan itu. Sehingga dibutuhkan penguatan literasi masyarakat dengan pendekatan kapabilitas dan rekam jejak oleh lembaga-lembaga independen terkait untuk mengimbangi keterbatasan rasional masyarakat.

Penulis:

IGN Agung Darmayuda/Komisioner KPU Kota Denpasar