Foto: Anggota Komisi IV DPR RI/Anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil Bali AA Bagus Adhi Mahendra Putra (Gus Adhi).

Denpasar (Metrobali.com)-

Banyak kalangan menghawatirkan besarnya dana pemerintah pusat dan pemerintah daerah  untuk penanganan Covid-19 sebagai bencana nasional non alam rawan ada penyimpangan hingga korupsi jika tidak dibarengi dengan komitmen pengawasan yang memadai.

Dengan adanya realokasi atau refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19 dan penggunaannya di tengah kondisi darurat, celah-celah korupsi bisa saja “menganga” dan “terbuka lebar”.

Terkait kekhawatiran publik tersebut, Anggota Komisi IV DPR RI Dapil Bali AA Bagus Adhi Mahendra Putra (Amatra) berharap jangan sampai dana bencan ini jadi ladang baru tindak pidana korupsi.

“Korupsi dana bencana Covid-19 jangan sampai terjadi,” kata Adhi Mahendra Putra ditemui di kediamannya di Kerobokan, Badung, Minggu (10/5/2020).

Anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil Bali yang akrab dipanggil Gus Adhi lagi-lagi mewanti-wanti dan mengingatkan jangan sampai tidak pidana korupsi terjadi pada angggaran penanganan wabah Covid-19 yang telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional non-alam.

“Ingat ini adalah masalah kemanusiaan. Masak tega melakukan korupsi di tengah penderitaan bangsa ini,” kata Gus Adhi mewanti-wanti.

Ia mengungkapkan setiap tidak kejahatan termasuk tindak pidana korupsi pada umumnya kata bisa terjadi karena karena ada dua faktor utama. Yakni adanya niat dan adanya kesempatan bagi para pelakunya.

“Walaupun ada kesempatan untuk korupsi di tengah situasi darurat bencana wabah Covid-19, anggap itu cobaan, godaan dan jangan dilakukan,” tegas Gus Adhi.

Untuk mencegah celah-celah penyimpangan inu, Gus Adhi berharap pengawasan dari legislatif baik DPR dan DPRD harus tetap lakukan. Publik jika diminta ikut mengawasi penggunaan anggaran ini.

“Pengawasan agar tetap melekat dalam penggunaan anggaran penanganan Covid-19 dan jangan sampai pengawasan terlupakan.  pengawasan,” pinta Gus Adhi.

Gus Adhi pun mendukung komitmen Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dana bencana akan dituntut hukuman mati.

“Jangan keterlaluan mengkorupsi dana bencana di tengah pandemi Covid-19 dan suasana bulan ramadhan. Karenanya saya sependapat dengan KPK agar koruptor dana bencana dihukum mati,” tegas Gus Adhi.

Sejarah Buktikan Dana Bencana Rawan Dikorupsi

Sementara itu fakta sejarah menunjukkan memang dana bencana di Indonesia memang rawan dikorupsi. Contoh kasus korupsi penyalahgunaan dana bencana seperti tsunami di Aceh, Nias, Donggala, dan Sukabumi. Lalu pada gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Catatan Indonesia Corruption Watch menunjukkkan pada 10 tahun terakhir ada 87 kasus korupsi dana bencana baik yang ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, KPK. Titik rawan korupsi dana bantuan bencana terletak pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan pemulihan atau rekonstruksi lokasi bencana.

Karena alasan bencana dan darurat, uang jutaan bahkan miliaran rupiah sering digelontorkan tanpa pengawasan dan pertanggungjawaban yang jelas. Nilai kerugian negara maupun praktik suap yang berkaitan dengan dana bantuan bencana beragam dari puluhan juta hingga miliaran rupiah.

Contohnya BPK  pada 2005 mengungkapkan penyimpangan dana bencana tsunami di Aceh dan Nias mencapai lebih dari Rp 150 miliar.

Contoh lain pada Desember 2018, OTT KPK terhadap delapan pejabat PUPR  berkaitan dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM). Beberapa proyek ini berada daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah yang saat itu baru terkena bencana tsunami.

Jerat Hukuman Mati Koruptor Dana Bencana

Jerat hukum untuk pelaku tindak pidana korupsi ini termasuk korupsi dana bencana sudah sangat tegas diatur dalam  Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor Perubahan)

Pasal 2 UU Tipikor menyebutkan:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatkan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dana bencana.

Hal ini disampaikan Firli dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/4/2020).

“Bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain, yaitu menegakkan hukum tuntutan pidana mati,” kata Firli.

Jenderal bintang tiga aktif ini menegaskanKPK akan bertindak tegas dan keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi, khususnya dalam situasi wabah Covid-19 yang telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional non-alam. (dan)