Dhamantra di Buleleng

Gianyar (Metrobali.com)-

Pengelolaan anggaran negara adalah suatu aktivitas ekonomi politik yang sebenarnya sangat sederhana. Namun, menjadi (dibuat) rumit karena beberapa keputusan yang diambil sarat muatan politik. Dimana, sejumlah ‘rekayasa’ anggaran dilakukan dalam mendukung popularitas pemimpin atau penguasa, melalui program jangka pendek seperti hibah, bantuan sosial (Bansos) dan sejenisnya, yang mengabaikan tujuan jangka panjang yakni kesejahtraan, kemandirian ekonomi dan berkebudayaan Indonesia. Termasuk, munculnya sejumlah rencana pembangunan yang kontroversial, seperti reklamasi Benoa, KSPN Besakih dan sejenisnya. Demikian catatan Nyoman Dhamantra dalam sosilisasi dan sima krama di Banjar Serongga Kaja, Desa Serongga, Gianyar, yang dihadiri  Kepala Desa, A.A Udayana, Bendesa Adat Serongga Ida Bagus Semara Putra, Kelian Adat Br. Serongga Kaja I Nyoman Sadra, sertaa Kelian Dinas Br.Serongga Kaja, Ida Bagus Eka Ananda dan ratusan warga, Sabtu 22/2/14.

Dalam kesempatan tersebut, Nyoman Dhamantra menjelaskan secara umum bahwa, anggaran Negara memiliki tiga fungsi strategis, yakni: Pertama, fungsi referensi, maksudnya anggaran negara berfungsi sebagai panduan pengambilan keputusan negara bagi individu, rumah tangga dan dunia usaha dalam mengambil keputusan strategis dalam aktivitas konsumsi dan produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi perekonomian.

Kedua, fungsi stimulus, artinya  anggaran negara didorong untuk mampu menggerakkan tingkat permintaan agregat untuk merangsang investasi dan produksi barang dan jasa.

Ketiga, fungsi keadilan, adalah bahwa anggaran negara berfungsi sebagai pemenuhan hak-hak dasar (HAM), karena negara berkewajiban “to provide, to preserve and to protect” hak tersebut, bagi peningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Menurut Dhamantra, selama lima belas tahun terakhir perjalananan era reformasi, anggaran negara di Indonesia sangat sulit memenuhi ketiga fungsi di atas, apalagi secara sekaligus. “Faktor yang utama dari buruknya kinerja anggaran negara menjalankan ketiga fungsi di atas adalah karena kinerja pengelolaan anggaran memang sangat jauh dari memadai, dari perencanaan, perumusan, pembahasan, legislasi, pelaksanaan, monitoring dan pengawasan. Kedepan, hal ini membutuhkan perhatian serius dari segenap komponen (stake holder) pembangunan,” ajak Nyoman Dhamantra

Sebelum memiliki kekuatan hukum tetap, suatu anggaran negara didahului oleh suatu “rencana” sehingga lazim digunakan istilah RAPBN, RAPBD, dan nantinya RAPBDES. Umumnya diantarkan oleh seorang kepala eksekutif pemerintahan di depan sidang para wakil rakyat di lembaga legislatif disetiap tingkatan. “Harus dicegah alokasi yang bersifat normatif dan urusan rutin, atau belanja pemerintah lebih tinggi dari biaya pembangunan. Bagaimana mencapai kesejahteraan, kemandirian dan kedaulatan ekonomi, jika komposinya jomplang dan berjangka pendek? Hal ini harus diatasi bersama,” katanya.

Sementara itu, dalam kesempatan Simakrama di Balai Banjar Suwung Kangin, Sidakarya, Kodya Denpasar, Minggu 23/2, Nyoman Dhamantra, yang didampingi sejumlah Caleg dan Tim Sukses PDI-P seperti Wayan Suadi Putra, Kompyang Raka, Ketut Ari Wartini, Gede Mulh Sartana dan Dewa Sutarba, ditodong dengan pertanyaan dan sikap politik para caleg atas Reklamasi Benoa oleh sejumlah tokoh Sidakarya, seperti Made Rapia (Sekdes), Nyoman Kantun (Bendesa), Wayan Lama (Kelian Banjar dan, Kelian Dusun, Nyoman Sarta.

“Secara pribadi, saya menolak proyek reklamasi Benoa, dan itu sudah saya sampaikan diberbagai media massa sejak pertengahan tahun 2013. Dalam kesempatan ini, saya salut dengan aksi cap ‘jempol darah’ krama desa Sidakarya, dan mudah-mudahan desa-desa lain di seputar Denpasar, Badung dan Gianyar ikut bersolidaritas. Saatnya rakyat Bali bangkit dan berjuang untuk itu!” tegas Nyoman Dhamantra.

Lebih lanjut disampaikan, proyek jenis ini merupakan bentuk arogansi pemerintah pusat atas pembangunan Bali. Sembari membagikan buku “Berjuang Merebut Hak Bali”, Nyoman Dhamantra menyatakan, “Proyek reklamasi Benoa, dan juga KSPN Besakih menjadi bagian dari program Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dimana Bali Nusra diposisikan sebagai koridor pariwisata, tanpa ada konsultasi publik. Hal ini tidak boleh dibiarkan. Untuk itu, saya mendesak kembali, Komisi Pembarantasan Korupsi untuk memeriksa para pihak yang terlibat, termasuk Gubernur Bali.” RED-MB