77nelayan-acehkita.com

Jakarta,  (Metrobali.com) –

Ketika kantor berita dari Amerika Serikat, Associated Press, memuat peliputan investigatif berjudul “Are Slaves Catching the Fish You Buy?”, hal itu menarik perhatian mata dunia perikanan internasional kepada daerah Benjina di Maluku.

Di lokasi tersebut, ternyata disebutkan bahwa terdapat ratusan orang yang menjadi tenaga kerja asing dari PT Pusaka Benjina Resources (PBR), perusahaan penanaman modal Thailand di Indonesia.

Kondisi para nelayan yang dipekerjakan PBR itu ternyata kerap mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, sehingga layak untuk dikategorikan sebagai sebuah perbudakan pada abad XXI.

Kebanyakan dari tenaga kerja asing PBR itu berasal dari Myanmar, yang dikenal sebagai salah satu negara yang tingkat pendapatan masyarakatnya berada di bawah rata-rata negara kawasan Asia Tenggara lainnya.

Berdasarkan pemberitaan dari artikel investigatif AP tersebut, bahwa mereka dipaksa untuk bekerja hingga 20-22 jam per hari dan mendapatkan air minum yang kotor.

Selain itu, masih menurut AP, mereka juga pernah ditendang, dipukul, bahkan hingga dipecut. Namun, bayaran mereka sangat minimal bahkan ada yang belum dibayar.

Dari hasil tangkapan yang dilakukan di kawasan perairan Indonesia, kemudian komoditas tersebut dibawa ke Thailand untuk selanjutnya diekspor ke berbagai lokasi yang ada di seluruh dunia, termasuk kepada peritel terbesar di AS, Wal-Mart.

Berita itu menyentakkan berbagai pihak. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak berbagai pihak terkait, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera melaksanakan investigasi menyeluruh terhadap temuan praktik perbudakan nelayan.

“Investigasi menyeluruh terhadap kasus (praktik perbudakan terhadap nelayan di perairan Indonesia) ini akan menjadi kunci menjawab sentimen negatif yang dituduhkan ke RI,” kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik.

Ia menambahkan selain KKP, investigasi yang dilakukan juga perlu melibatkan Komnas HAM, pihak imigrasi, Kementerian Luar Negeri, TNI-Polri, hingga kelompok masyarakat.

Pemerintah, ujar dia, juga dapat mengeluarkan notifikasi mengajak masyarakat ASEAN dan dunia internasional memberikan sanksi penutupan akses pasar terhadap perusahaan yang terlibat dalam praktik perbudakan. “Termasuk membatalkan seluruh sertifikasi produk perikanan yang pernah diterimanya,” tukasnya.

Tolak perbudakan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti juga dengan tegas menolak praktik perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) pada usaha perikanan di Indonesia, dan berkomitmen menindak tegas pelaku-pelaku yang terlibat.

“Pemberantasan praktik ‘illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing’ adalah fokus pemerintahan kita. Karena dari awal saya menjabat, saya sudah mengatakan bahwa IUU fishing itu adalah kendaraan dari kejahatan lainnya seperti penyelundupan barang termasuk narkoba, serta ‘human trafficking’ dan perbudakan,” ucap Susi Pudjiastuti, Sabtu (28/3).

Menteri Susi menyatakan bila Indonesia memberantas IUU fishing, juga berandil dalam memberantas kejahatan-kejahatan tersebut.

KKP juga dengan tegas menolak perbudakan modern dalam bentuk eksploitasi tenaga kerja perusahaan sektor kelautan dan perikanan, karena merupakan tindakan tergolong dalam kejahatan kemanusiaan.

“KKP menolak perbudakan usaha perikanan di Indonesia,” ujar Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung di Jakarta, Jumat (27/3).

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP menegaskan, praktik semacam itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat ditoleransi dan jelas merugikan negara.

“Perbudakan bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal martabat manusia yang memiliki kebebasan. Walaupun secara ekonomi tampak menguntungkan, namun sistem perbudakan menyangkal status kemanusiaan tiap orang,” jelasnya.

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kedutaan Besar RI di Amerika Serikat telah bertindak cepat dalam menanggapi pemberitaan dugaan kasus perbudakan dalam perusahaan perikanan yang dilaporkan AP.

“Tindakan cepat telah dilakukan yaitu pada tanggal 27 Maret, KBRI telah bertemu asosiasi perikanan AS,” kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut Hutagalung di Jakarta, Rabu (1/4).

Menurut dia, pihak KKP telah memberikan penjelasan mengenai hal itu dan bukan hanya di Amerika Serikat, tetapi juga kepada perwakilan RI di berbagai negara yang ada di kawasan Uni Eropa.

Ia berpendapat sampai saat ini masih belum ada dampak serius dari pemberitaan terkait indikasi kasus perbudakan itu terhadap ekspor komoditas sektor kelautan dan perikanan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mewanti-wanti bahwa kasus perbudakan tenaga kerja yang dituduhkan terjadi di kawasan perairan Indonesia dinilai berdampak serius terhadap kinerja sektor perikanan.

“Kasus ini berimplikasi serius terhadap performa perikanan Republik Indonesia di mata internasional,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Selasa (31/3).

Ia memaparkan, langkah strategis yang perlu dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti adalah mencabut izin perikanan yang dimiliki perusahaan yang terindikasi pelanggaran berat perbudakan.

Kiara juga sepakat bila pemerintah memanggil Dubes Thailand, karena Thailand memiliki pengalaman buruk terkait pola perbudakan yang terjadi di atas kapal-kapal pemasok ikan untuk pembuatan pakan oleh sejumlah perusahaan yang berasal dari negara tersebut.

Kecaman AS Sementara itu, Amerika Serikat pada Kamis (4/2) mengecam perbudakan terhadap ribuan nelayan dari sejumlah negara di Asia Tenggara yang diduga terjadi di Aru, Maluku, dan berjanji akan menghentikan impor ikan yang diketahui berasal dari kerja paksa.

“Kami mengecam dengan keras praktik kerja paksa dalam bentuk apapun termasuk di sektor perikanan dan aturan di Amerika Serikat melarang impor barang hasil perbudakan,” kata Deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat urusan Lingkungan Hidup, Catherine A. Novelli di Jakarta.

Menurut keterangan Novelli, Amerika Serikat yang merupakan importir ikan terbesar kedua di dunia, sampai saat ini belum mempunyai kerja sama dengan Indonesia untuk melacak produk-produk laut ilegal.

Dia juga mengakui bahwa pemerintahnya belum bisa melacak asal ikan dari hasil perbudakan, sehingga ada kemungkinan produk tersebut sampai ke konsumen Amerika Serikat.

Dari hasil investigasi AP, ikan dari PT Pusaka Benjina Resources memang tidak mungkin dilacak, karena secara ilegal dikirim ke Thailand. Di negeri Gajah Putih itu, ikan-ikan tersebut kemudian bercampur dengan produk legal untuk diolah oleh pengusaha lokal sebelum diekspor.

Thailand sendiri adalah negara eksportir ikan ketiga terbesar di dunia, dan mempunyai pangsa pasar besar di Amerika Serikat.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo mengatakan, tim dari Thailand telah datang dan melakukan penyelidikan di Benjina, Maluku, terkait dugaan praktik perbudakan terhadap tenaga kerja di perusahaan perikanan.

“Tim Thailand sudah ada di Benjina hari ini,” ungkap Menko Maritim Indroyono Soesilo di Jakarta, Rabu (1/4).

Menurut Indroyono, penyelidikan yang dilakukan tim Thailand antara lain guna mengetahui asal negara tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.

Sementara di Ambon dilaporkan, tim kepolisian Thailand melakukan investigasi terkait kabar ABK asal negara mereka yang bekerja di PBR yang diperlakukan seperti budak.

“Tim dipimpin Wakil Kepala Polisi Thailand Letjen Siridchai Anakeveing menjadwalkan investigasi di Benjina selama tiga hari, terhitung 1 April 2015,” kata Penjabat Sekda Kepulauan Aru, Arens Uniplaitta dihubungi dari Ambon, Rabu (1/4).

Dari kunjungan itu, kata Arens, terlihat adanya ruangan pengamanan khusus dalam rangka karantina oknum-oknum nelayan yang mabuk dan berkelahi di kapal.

“Para oknum nelayan itu dikarantina, sehingga tidak diperkenankan mengikuti pelayaran kapal penangkap ikan dengan jaminan makanan dan lainnya diatur manajemen PT PBR,” tukasnya.

Ia menyatakan hasil pengawasan di Benjina itu dilaporkan Kepada Gubernur Maluku, Said Assagaff guna diteruskan ke Menteri kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Larang ekspor Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan larangan ekspor komoditas perusahaan perikanan PT PBR yang terindikasi melakukan praktik-praktik perbudakan atau tidak manusiawi terhadap tenaga kerjanya.

“Saya sudah mengeluarkan kebijakan bahwa ikan yang berasal dari PT PBR tidak boleh keluar untuk diekspor,” tutur Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis (2/4).

Selain itu, ujar Susi, pihaknya juga bakal menjerat perusahaan tersebut lebih besar lagi dengan tidak lagi menerbitkan Surat Izin Penangkapan Ikan dan Surat Izin Usaha Perikanan.

Menteri Susi memaparkan, praktik-praktik yang tidak manusiawi itu antara lain adalah mempekerjakan tenaga kerja yang berasal antara lain dari Kamboja dan Myanmar hingga mencapai 22 jam per hari.

“Itu saja sudah melanggar hak asasi pekerja dan bertentangan dengan aturan ILO (Organisasi Buruh Internasional),” tandasnya.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Benjina tidak memiliki dokumen resmi seperti terkait keimigrasian yang seharusnya dimiliki warga negara asing yang bekerja di Indonesia.

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta agar sebaiknya mencabut izin PT PBR di Kabupaten Kepulauan Aru bila terbukti terjadi praktek perbudakan manusia terhadap para anak buah kapal dari berbagai negara asing tersebut.

“Bila benar terbukti ada praktek seperti itu, maka pemerintah tidak perlu menutup pelabuhan perikanan di daerah itu sebab akan mematikan indutri perikanan dan merugikan masyarakat serta pemerintah daerah,” kata Anggota DPRD Maluku Samson Atapary di Ambon, Selasa (31/3).

Kabar terakhir menyebutkan bahwa terdapat sebanyak 327 orang warga negara asing yang dievakuasi dari Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Tenaga kerja yang akhirnya terlepas dari dugaan praktik perbudakan itu terdiri atas warga dari negara Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Laos.

Ratusan orang tersebut rencananya akan dibawa ke Tual oleh tim gabungan dari KKP, TNI AL, kepolisian dan juga pihak keimigrasian.

Dari Tual rencananya mereka akan diproses lebih lanjut untuk dapat dibawa pulang ke negaranya masing-masing.

Apapun alasannya, berbagai pihak harus dapat memastikan bahwa tidak akan ada lagi praktik perbudakan yang terjadi di kawasan perairan Indonesia, apalagi terjadi pada abad XXI!. AN-MB