Foto: Para narasumber pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” (Atas-dari kiri ke kanan): Kadek Wahyudita, Nyoman “Sengap” Ardita, Mangku Alit Basudewa Made Bakti Wiyasa, (bawah dari kiri ke kanan): Guru Rai Dharmadwipa, Mangku Sara Yoga Semadi, Guru Ngurah Wisnawa, dan Guru Nyoman Sudarsana.

Denpasar (Metrobali.com)-

Ketulusan, dedikasi dan totalitas pelayanan para narasumber dalam pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” yang bertempat di Denpasar Art Space (DAS) Jl. Surapati No. 7, Denpasar patut diacungi jempol dan layak diapresiasi

Para narasumber ini yakni Kadek Wahyudita, Nyoman “Sengap” Ardita, Mangku Alit Basudewa Made Bakti Wiyasa, Guru Rai Dharmadwipa, Mangku Sara Yoga Semadi, Guru Ngurah Wisnawa, dan Guru Nyoman Sudarsana serta narasumber lainnya.

Dengan ikhlas mereka tidak pernah lelah melayani pengunjung termasuk dengan sukacita menjawab apapun pertanyaan yang dilontarkan pengunjung yang datang dari berbagai kalangan seperti pelajar (siswa SD, SMP, SMA/SMK), mahasiswa, pecinta heritage dan masyarakat umum.

 Para narasumber ini juga secara rutin tiap harinya memberikan edukasi  kepada pengunjung pameran lewat Kelas Budaya bertajuk “Tatanan Rohani Bali” yang mengupas tuntas konsep tiga wilayah rohani yang menjadi dasar pemujaan di Bali.

Dengan penuh semangat mereka mendampingi ratusan pengunjung yang tiap harinya datang ke pameran yang digelar digelar Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) dari tanggal 25 April hingga 9 Mei 2019 ini dan terbuka untuk masyarakat umum baik lokal maupun mancanegara.

Para narasumber ini memberikan materi dengan kemasan menarik dan interaktif serta kekinian dan mudah dipahami. Misalnya terkait konsep tatanan tiga wilayah rohani.

Kupas Tuntas Tiga Wilayah Rohani Bali

Dijelaskan Surya Candra, Lintang Tranggana (Matahari, Bulan, dan Bintang) adalah konsep tiga wilayah rohani dari tiga gunung yang dipuja di Bali. yaitu Batukaru sebagai pemujaan Surya (Maha Awidya), Gunung Agung sebagai pemujaan Candra (Maha Agung), dan Gunung Batur sebagai pemujaan Lintang Tranggana (Maha Rata).

Tiga wilayah rohani  ini menjadi landasan uger- uger ,sepat siki siku dan patitis yg disebut Trigana yaitu Agama, Adigama dan Siwagama. Tiga gunung tersebut sejatinya merupakan spirit pemujaan masyarakat Bali.

Dalam lontar Silakrama Sesana disebutkan “Kalingakna trya Gunung,banguriping sarat kabeh, tri, nga, tiga, Gunung, nga, Sang Singgih Luwih, karaning sang gunung tiga, maka panyiwian Wong mrecapada kabeh, Iwirnia Tri Gunung; Bujangga Brahmana,Prabu, Patih, Ika maka panyiwian baktining wong sanagara”.

Dalam penguraian dari tiga wilayah rohani tersebut terbentuklah dua lembaga yang mempunyai otoritas rohani yaitu Keprabon (Puri) dan Brahmana Bujangga (Griya) yang menciptakan serta mempola desa dan gumi.

Konsep pemujaan Kahyangan Cungkub dan Dalem adalah sebagai Ulun Desa,nUlun Seme, Ulun Alas, Ulun Jurang dan Pangkung. Sang Bujangga juga berkewenangan Anyuksamaning Pati, yaitu Karang Seme (kuburan) sebagai tempat dari sebuah proses  pengembalian unsur tubuh dan roh manusia kembali ke asalnya.

Sedangkan Sang Prabu berkewajiban membangun Prakertaning Jagat dan juga sebagai Tedung Jagat (Anyakrawerti) yang mengelola sistem pekraman sebagai pengayom dan pengelolaan tatanan masyarakat agar menjadi makmur dan sejahtera.

Lebih jauh dijelaskan, dari konsep Surya Candra Lintang Tranggana ini kemudian menjadi dasar adanya Kahyangan Tiga, yakni Kahyangan Dalem, Kahyangan Puseh, dan Kahyangan Desa.

Jangan Sembarangan Bongkar Pura

“Kalau umat Hindu di Bali memahami konsep tersebut maka hal itu akan membuat kita berpikir ulang melakukan perubahan terhadap pura. Sehingga harapan kita pura yang ada sekarang dengan bentuk ornamennya yang merupakan sumber sastra, lalu kode identitas dari konsep seperti kekarangan, pepalihan, bentuk palinggih dan lainnya tetapi bisa lestari,” ujar Mangku Sara Yoga Semadi.

Narasumber lainnya, Kadek Wahyudita menambahkan, karena kurangnya pemahaman akan tiga wilayah rohani Bali, maka saat ini begitu gampang terjadi perubahan tatanan pelinggih-pelinggih di pura, mengganti nama pura, atau meniadakan ritus yang seharusnya dilakukan.

Akibatnya banyak terjadi ketidakselaran antara nama pura, isi di dalamnya, dan cara pemujaannya. “Jika dasar spirit pemujaan tersebut dipahami dengan baik, maka tidak akan terjadi pembongkaran situs pura kuno dengan dalih perbaikan,” katanya.

Sebaliknya, masyarakat akan melakukan pemugaran dengan mempertahankan keaslian bentuk dan bahan bangunannya atau restorasi. Proses pemugaran yang demikian sebetulnya sudah dikenal di Bali dengan istilah “ngayum” yang berarti memperbaiki yang rusak saja.

Tampilkan Ratusan Koleksi Situs dan Ritus Jaga Taksu Bali

Sementara itu pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” ini berlangsung dari tanggal 25 April hingga 9 Mei 2019 ini terbuka untuk masyarakat umum. Pameran ini menampilkan lebih dari 130 foto, lukisan, dan drawing tentang situs dan ritus. Ada pula pemutaran video salah satu ritus kuno yang masih lestari di Bali.

Dalam kesempatan tertentu, alunan gender yang dimainkan di ruang pameran juga ibarat menjadi pengiring pengunjung saat berwisata rohani di pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” yang pertama kali ini.

Alunan gender yang gemerincang dengan nada-nada penuh harmoni “metaksu” membuat pengunjung pameran situs dan ritus semakin terhanyut menghayati betapa adiluhungnya tatanan peradaban tua yang kita miliki dan hanya ada dintanah Bali Dwipa. “Sungguh suasana penuh keagungan yang sulit diterjemahlan dengan kata-kata,” kata salah satu pengunjung.

Kelas Budaya “Tatanan Rohani Bali: Rekonstruksi Pemahaman tentang Situs & Ritus Bali” yang rutin digelar dalam pameran ini dengan melibatkan UNHI, IHDN, ISI Denpasar & IKIP PGRI Bali juga disambut antusias juga para pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum yang berkunjung ke pameran.

Ruang pameran ini juga ibarat menjadi “wisata edukasi” dan laboratorium budaya” bagi kalangan pelajar dan mahasiswa di Kota Denpasar. Tiap harinya ratusan siswa dan pelajar dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi “nongkrong” di pameran yang  sukses digelar Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) ini bahkan hingga diapresiasi peserta dan delegasi International Conference Organitation World Heritage City (OWHC) 2019.

Didukung Penuh Turah Kusuma Wardana dan Turah Mudhita

Yang cukup membanggakan pula, dua tokoh pelindung YBPJ AA Kusuma Wardana (Turah Kusuma Wardana) yang juga Panglingsir Puri Kesiman Denpasar  dan I Gusti Ngurah Bagus Muditha (Turah Muditha) dari Puri Pemayun Kesiman sangat berperan aktif memantau dan memberilan dukungan moral demi kelancaran jalannya pameran.

Kedua pelindung YBPJ ini juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada tim panitia pameran yang sudah saling mendukung dan melengkapi sejak persiapan sampai dengan pelaksanaan pameran hingga telah berjalan sukses sejauh ini.

Panitia pameran selalu kompak dengan sabar dan ketulusan hati terdalam “ngayah” melayani dan mengedukasi pengunjung yang datang dari berbagai elemen masyarakat. (wid)