drg, Taha dkk di ruang kerja Ketua Komisi A DPRD Bali

Di desa Serangan terdapat tujuh banjar, salah satunya lingkungan Kampung Bugis dengan jumlah 300 jiwa orang, 96 Kepala Keluarga. Mereka hidup berdampingan dengan warga yang lainnya, sikap saling menghormati dan membantu antar agama terjalin baik sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagain besar mata pencarian warga Kampung Bugis sama dengan masyarakat Serangan lainnya yaitu Nelayan.

Pada tahun 2009 terjadi Konflik Agraria di desa serangan tepatnya di Kampung Bugis. Warga Kampung Bugis dilaporkan ke Kepolisian Sektor Sanur oleh salah seorang warga yaitu Sarah, karena tanah yang ditempati warga Kampung Bugis seluas 9.400 M2 di klaim sebagai tanah milik Sarah dengan bukti sertifikat tanah tahun 1992.

Atas kejadian tersebut para warga Kampung Bugis tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan dengan jalur hukum hingga ke Mahkamah Konstitusi (MA), upaya jalur hukum yang dilakukan oleh warga kampung bugis berakhir kekalahan karena di anggap tidak cukup bukti. Pada 27/02/14, melalui Juru sita dari PN dan dibantu oleh Polresta Denpasar dan TNI eksekusi tanah dilakukan, warga Kampung Bugis dipaksa untuk meninggalkan tanahnya.

Namun upaya eksekusi pembongkaran tersebut gagal karena ada perlawanan dari warga. Untuk menghindari bentrok fisik antara aparat dan warga, maka warga diberikan waktu selambat-lambatnya selama tiga bulan untuk melakukan pembongkaran sendiri dan meniggalkan tanahnya.

Paska disepakatinya pengunduran eksekusi hingga tanggal 28/05/2014, warga masih melakukan perlawanan melalui jalur hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). PK tersebut atas dasar temuan bukti baru dari warga, bahwa ada kesalahan sasaran obyek tanah di dua lokasi yang berbeda. Terlepas dari salah sasaran obyek tanah bahwa persoalan ini sangat timpang, karena warga Kampung Bugis di Serangan sudah menempati tanahnya sejak ratusan tahun silam dan hingga saat ini sampai generasi yang ke empat.

Tanah yang di huni oleh warga Kampung Bugis, merupakan tanah hibah dari Puri Pemecutan berdasarkan catatan mutasi pajak tahun 1942. Selama itu pula warga tidak melakukan jual beli tanah kepada pihak siapapun, namun tiba-tiba muncul sertifkat tanah tahun 1992 atas nama perseorangan di atas tanah Kampung Bugis di Serangan.

Selain itu, keberadaan Kampung Bugis Serangan patut dijaga dan dilestarikan karena memliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama dan kebudayaan di Bali, terbukti dengan adanya bangunan kuno seperti Masjid, Kuburan dan Rumah Adat kuno yang menerangkan kejadian masa lalu yaitu masuknya sejarah Agama Islam di Badung.

Bangunan kuno yang berada di Kampung Bugis di Serangan tersebut dapat di katakan sebagai Cagar Budaya, berdasarkan UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sehingga keberadaannya harus diselamatkan. Warga Kampung Bugis di Serangan mayoritas sebagai Nelayan, keberadaannya juga harus di pertahankan karena mereka satu kesatuan dari kelompok para Nelayan di Serangan.

Berdasarkan data BPS Provinsi Bali tahun 2010-2013, produk hasil dari Nelayan merupakan salah satu pemasukan ekonomi ke dua setelah perdagangan, hotel dan restoran di Bali, sehingga keberadaan para Nelayan di Serangan Pesisir kota Denpasar harus terus terjaga dan dilestarikan.

Dengan ini kami dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali, menyatakan bahwa: 1.Batalkan eksekusi tanah warga Kampung Bugis di Serangan.2. Kembalikan hak warga Kampung Bugis atas tanahnya di Serangan.3. Selamatkan dan lindungi Cagar Budaya di Kampung Bugis Serangan dari penggusuran.4.Lestarikan Kampung Bugis sebagai salah satu Kampung Nelayan Serangan pesisir kota Denpasar.Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, semoga persoalan Konflik Agraria yang dialami oleh warga Kampung Bugis Serangan dapat terselesaikan dengan baik dan cepat.

 

Denpasar, 23 Mei 2014
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Wilayah Bali

 
Ttd

 Ni Made Indrawati

Koordinator