PVMBG
Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil.
Karangasem, (Metrobali.com) –
Sejak ditetapkan menjadi awas, Gunung Agung mengeluarkan asap putih tipis dari dalam kawah. Pengamatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), asap tersebut masih tipis dengan ketinggian rata-rata sekitar 50-200 meter. Asap yang solfatara yang merupakan representasi gas di dalam perut Gunung Agung tercatat paling tinggi sekitar 600 meter pada 26 September lalu.
Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil ‎menjelaskan mengenai fenomena asap solfatara tersebut. “Jadi begini, di bawah Gunung Agung itu ada kawasan yang lembut, lalu ada fluida, ada zona transisi. Karena dia sudah pernah meletus, maka dia punya leher magma. Dia juga punya patahan-patahan. Ketika pergerakan magma, dia datang dari bawah. Dia bergerak terus, dia bermigrasi,” jelas Devy, Senin 2 Oktober 2017.
Begitu sampai di permukaan bawah leher magma, dia tertahan. Magma kemudian menggumpal di bawah leher lantaran tak memiliki saluran untuk ke luar. Sementara leher saluran magma begitu keras dan belum dapat ditembus. “Tapi datang terus menerus tekanan. Akhirnya dia menghasilkan gelembung gas yang terpisah dari cairan. Lama-lama gelembung gas itu makin banyak dan terus bertambah. Sampai akhirnya banyak sekali dan menjadi gelembung besar,” papar dia.
Jika sudah menjadi gelembung besar ditambah tekanan terus menerus dari bawah, Devy menjelaskan magma akan mencari sisi lemah dari Gunung Agung.‎ “Ketika dia belum bisa lewat leher magma, akhirnya dia lewat patahan, maka akhirnya terjadi gempa. Akhirnya gempa-gempa ini muncul banyak sekali. Dia manifestasi dari pergerakan magma,” urainya.
Dari data BMKG, lokasi gempa itu berada di lokasi identik. Artinya, ada patahan di Gunung Agung yang teraktivasi. ‎”Sekarang pertanyaannya, selain gempa tektonik dia juga menghasilkan gempa vulkanik. Gas itu tadi kan berusaha menekan, dia naik terus sampai akhirnya nanti dangkal gitu kan. Kalau dangkal itu tu sudah di atas lima kilometer. Gempa misalnya hari ini 4 kilometer kedalamannya, nanti akan terus kecil jadi 3 kilometer, itu pemahaman salah. Magma itu satu kesatuan. Bisa jadi dia gempa di kedalaman 4 kilometer, nanti 10 kilometer dan lainnya,” kata Devy.
“Dia kan kumpulan gas. Dia kepingin ke luar. Dia berusaha terus untuk itu. Nah, sekarang kalau stiming ke atas dia terus mencari celah. Dan akhirnya September ketika dibombardir sekian banyak gempa ke luarlah asap solfatara,” tambah Devy. Menurut Devy, bagi sebagian pendaki mungkin sudah biasa melihat asap solfatara. Namun, tidak halnya dengan Gunung Agung. Ia melihat hal itu justru suatu keanehan. Sebab, sebelum bulan Juli, Devy mengaku dari pengamatan PVMBG tak ada asap solfatara yang ke luar dari kawah Gunung Agung.
“Tapi bagi kami itu aneh. Sebelum Juli kita amati itu tidak ada. Akhirnya setelah Juli itu mulai ke luar kecil. Mulai Agustus dan September mulai rutin tapi tipis. Tapi sekarang sudah berbunyi zzzzzzz. Itu namanya stiming jet. Sudah kebayangkan seperti apa itu,” katanya menjelaskan.
‎”Kalau ada lubang yang bisa dia tembus kemungkinan gas terbuang besar. Pertanyaannya ada kemungkinan tidak meletus? Bisa. Tapi kalau injeksi dari bawah terus menerus dan lebih besar dari yang ke luar, dia bisa meletus. Sekarang tidak ada yang bisa mengukur yang terbuang dan masuk itu besaran mana.”
Jika ternyata gas yang terbuang lebih kecil dari yang dihasilkan, Devy tak menampik akan terjadi letusan. ‎Begitu pula sebaliknya, jika gas yang terbuang lebih besar dari gas yang diproduksi, maka dia kemungkinan gagal meletus. “Jadi, kalau kita lihat asap yang ke luar sedikit, itu justru waswas kita, karena gasnya tidak rilis kan. Inginnya kita rilis terus, kalau bisa membesar asapnya,” imbuh dia. JAK-MB