SAKIT berhari-hari dan harus dievakuasi bersama rekan-rekannya untuk mendapatkan perawatan gara-gara mabuk laut, itulah pengalaman membekas di benak I Made Agus Swesnawa saat pertama kali menjadi relawan di kapal legendaris milik Greenpeace pada awal 2004.

Putra Bali berusia 32 tahun ini sempat harus mendapat perawatan akibat mabuk laut karena saat itu dibuai ombak ganas lautan Tasmania menuju Selandia Baru. “Pas dibawa kapal kecil ke daratan, dalam hati saya berkata tak akan pernah lagi kembali. Ini yang terakhir,” kenangnya.

Tetapi setelah sekitar tiga pekan berada di kampung halamannya di Jembrana atau kabupaten paling barat Pulau Bali ini, telepon Agus berdering dan memintanya kembali naik ke kapal. “Kapalnya berlabuh di depan rumah, ya saya akhirnya naik lagi,” ucapnya.

Dari peristiwa itulah, aktivitas yang awalnya bersifat sukarela kini justru menjadi pekerjaan bagi Agus. Ketika menjadi relawan, ia lebih banyak mengurusi persoalan logistik membantu kesuksesan aksi para aktivis saat berkampanye di Sumatera dan Kalimantan karena Greenpeace belum membuka kantor perwakilan di Jakarta.

Namun kini ia sering dikontrak Greenpeace sebagai kru (dechand) Kapal Rainbow Warrior dan dua kapal lainnya yakni MY Esperanza dan MY Arctic Sunrise.

Posisi yang sama juga dilakoninya ketika Kapal Rainbow Warrior generasi ketiga singgah di Bali pada akhir Mei lalu. Agus masih sama menjalankan tugas pokok sebagai “deckhand” yang melakukan pemeliharaaan kapal seperti pengecatan bagian kapal yang mulai berkarat, pengecekan layar dan jaga malam. Ia pun harus mengemudikan kapal dan “speedboat” termasuk manuver untuk berlabuh.

“Apapun itu, yang jelas saya sangat senang dapat berlabuh di Bali setelah tiga minggu lebih berlayar dari Papua. Untuk saya tidak begitu penting upah yang saya terima, tetapi melakukan hal yang saya sukai itu yang utama,” ucapnya.

Agus menjadi satu-satunya kru, di kapal itu yang berasal dari Indonesia. Kapal Greenpeace jenis Rainbow Warrior generasi ketiga telah singgah ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada 31 Mei-2 Juni 2013 untuk mengampanyekan isu bersama menjaga kelautan dan kehutanan. Dipilihnya Pulau Dewata sebagai daerah persinggahan kapal karena dipandang merupakan gerbang utama untuk ke perairan timur lainnya di Indonesia.

“Bali juga strategis untuk mengampanyekan isu kelautan di tengah kepariwisataannya yang mengutamakan keindahan laut dan daerah pesisir,” kata Rahma Shofiana dari Media Kampanye Greenpeace Indonesia, di Denpasar belum lama ini.

Ia mengemukakan kapal milik organisasi lingkungan internasional itu telah berada di Indonesia sejak 9 Mei 2013. Kapal ini usai dari perjalanan sebelumnya di Australia, telah singgah di Jayapura, Manokwari, dan Raja Ampat. Setelah dari Bali, tujuan terakhir dari kapal ini adalah DKI Jakarta sebelum menuju kawasan Asia Timur.

Tertarik Seni Budaya Jauh sebelum mengenal Greenpeace, Agus mengaku tertarik pada dunia seni budaya. Setamat dari sekolah seni rupa, ia melanjutkan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dengan mengambil jurusan seni murni. Pendidikan strata duanya juga mengambil jurusan yang sama. Masih merasa kurang puas, ia kembali mengambil S2 jurusan kajian budaya hingga sekarang.

Ratusan lukisan hasil karyanya juga telah tersebar di sejumlah galeri dan kolektor di Pulau Dewata, serta di negara lain seperti Jerman, Australia, dan Amerika. “Temanya macam-macam, ada soal kekerasan juga. Sekarang lebih suka soal lingkungan dan HAM, tetapi paling banyak parodi,” ujarnya.

Pria berambut gimbal ini pun kerap diminta teman-teman dosennya untuk mengisi sejumlah seminar dan kuliah umum baik di universitas di Bali maupun Australia. Terkadang dia juga mengisi segmen kolom di sejumlah media cetak.

“Namun kalau sudah libur dan tidak ada jadwal berlayar, saya lebih banyak tinggal di rumah. Ngabisin waktu melukis saja. Sekarang karena sudah ada anak, jadi banyak juga waktu untuk dia,” kata ayah Onix Swesnawa itu.

Seniman Bali yang sudah 12 tahun bekerja bersama Greenpeace ini pun menceritakan kisahnya saat ikut membantu penanganan pascabencana tsunami Aceh pada 2004.

Saat itu kapal mengangkut bantuan obat-obatan dari organisasi kemanusiaan MSF (Medecins Sans Frontieres) dan Rainbow Warrior tiba di hari kedua.

“Kami semua tidak bisa berekspresi di saat ada kekuatan alam yang lebih dahsyat dari yang manusia bayangkan. Dalam kondisi demikian tidak penting lagi memandang uang, agama, maupun politik,” katanya.

Tanggung Jawab Bersama Menjadi relawan dan bekerja sebagai kru kapal Greenpeace, membuat cara pandang Agus semakin kuat tentang satu hal bahwa kerakusan perusahaan besar telah membuat lingkungan menjadi semakin mengkhawatirkan dan negara yang seharusnya berposisi mengatur justru dikendalikan oleh pemodal.

Agus pun mengingatkan pada masyarakat Bali karena telah secara sadar menyerahkan diri pada kepentingan pariwisata.

“Artinya dari tindakan itu ada konsekuensi logis bahwa Bali sangat mungkin mengalami kerusakan lingkungan, bahkan mengalami kekurangan stok air,” ujarnya.

Oleh karena itu ia berpesan supaya masyarakat Bali mulai memandang masalah lingkungan sebagai persoalan yang serius. Jika tidak segera dipecahkan akan berimbas tidak baik bagi generasi mendatang.

“Kita mestinya bersyukur sebagai orang Indonesia yang wilayahnya berbasis kelautan, demikian juga Bali yang pariwisatanya banyak mengandalkan keindahan laut dan pesisirnya,” ucapnya.

Sebelum kerusakan lingkungan makin parah, kata dia, sebenarnya masih memungkinkan diadakan perbaikan kualitas lingkungan. “Semua orang harus bertanggung jawab untuk mengambil peran baik itu masyarakat sipil, pemerintah, swasta hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM),” katanya, Ia menambahkan dengan makin menjamurnya LSM lingkungan, berarti akan lebih banyak orang yang mendedikasikan dirinya untuk kelestarian lingkungan Bali. “Saya melihat sejauh ini hanya organisasi non pemerintah satu-satunya kekuatan untuk melawan pemodal dan keberadaannya juga diakui negara,” ujarnya.

Hal itu pula yang kemudian membuatnya rela menghabiskan waktu berbulan-bulan bekerja untuk Greenpeace di laut dan menyuarakan rintihan bumi. INT-MB