Tokoh Veteran Bali Desak Pemerintah Bangun PLTS Berbasis BUMDA dan BUMDES
Putra Astaman/MB
Denpasar (Metrobali.com)-
Bali telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi Green energi dengan mengembangkan pembangkit listrik berbasis energi yang terbaru kan dan berkelanjutan bahkan yang tidak pernah habis yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun untuk membangun PLTS dibutuhkan dana atau modal usaha yang besar, hal ini tentu saja membutuhkan investor yang mau membangun proyek tersebut.
Namun dengan keterbatasan dana dalam pengadaan listrik yang berorientasi demi masyarakat ini dan terlalu tergantung pada investor semestinya pemerintah tidak usah menghitung untung dan rugi karena ini demi kepentingan rakyat meski pun pemerintah dalam hal ini harus memberikan subsidi.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pembina Paguyuban Merah Putih Bali (PMPB) Mayjen Pol Purnawirawan I Gusti Made Putera Astaman dalam diskusi yang bertajuk Ekonomi Kerakyatan Berbasis Bumda dan Bumdes “Daya Listrik PLTS Sebagai Komoditi,”.
Menurutnya, subsidi pemerintah terlihat dalam menentukan Feed in Tariff (FIT) sebesar 25 sen dollar yang dirasakan menggairahkan seluruh Badan Usaha Milik Daerah (BUMDA) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) di Indonesia, termasuk di Bali.
“Bumda dan Bumdes akan menjadikan PLTS sebagai salah satu bidang usaha yang memberikan lapangan kerja dan memberi keuntungan bisnis untuk mendukung aktivitas sosial dan usaha bisnis lainnya di desa,” ujarnya di Denpasar, Selasa (19/01).
Meski demikian, Bumdes tidak bisa diadu dikompetisikan dengan menggusur ekonomi kerakyatan yang berbasis Bumdes ini, ujarnya.
“Hitung-hitungan IPP dengan Bumdes dalam bertransaksi dengan pemerintah (PLN) harus beda. IPP tetap menggunakan dasar hukum Permen No 17 tahun 2013 sedangkan Bumdes harus menggunakan Permen baru tentang Feed in Tariff sebesar 25 sen dollar,” imbuh mantan Deputi Kapolri Bidang Operasi ini.
Lanjutnya, listrik dibeli pemerintah dan yang membeli adalah PLN dasar yang membeli ini adalah keputusan menteri ESDM, yang hanya Permen no 17 tahun 2013 dan pemerintah harus membeli listrik dari masyarakat sebesar 2 sen dollar atau Rp3200 sampai Rp3500 itu harga tertinggi.
Dia pun menegaskan bahwa ide untuk memunculkan atau membangkitkan PLTS Khususnya di Bali lantaran dia miris melihat kondisi dua PLTS di Bali yakni di kabupaten Karangasem dan Bangli yang mangkrak. Karena itu dia mengajak seluruh komponen untuk menggairahkan ini kembali jika tidak ingin Indonesia khususnya Bali ketinggalan dengan negara di dunia yang sudah terlebih dahulu maju dengan PLTS nya.
Dia menggambarkan bagaimana proyek PLTS dengan format Bundesliga bisa dilakukan yakni dengan modal sekitar Rp5 milyar akan dapat terpasang panel solar cell lengkap dengan inverter, controller dan kamar petugas jaganya. PLTS ini berkapasitas 250 ribu Watt atau 0,25 MW. Kalau malam daya listriknya dipakai sendiri 25 KWh dengan daya yang tersimpan di baterai. Kalau siang baterai diisi kembali sampai penuh, sedangkan daya listrik yang dihasilkan dialirkan dijual ke PLN tercatat otomatis secara digital di panel khusus sesuai dengan nomor surutnya sebagai pemasok.
“Harga pasokan sesuai dengan tarif FIT itu tadi sebesar 25 sen dollar. Pasokan daya listrik ini langsung terkoneksi dalam sistem atau sub sistem jaringan listrik PLN untuk dijual kepada pelanggan yang memerlukan dalam hal ini PLN dan PLN akan memasang meter listrik ekspor dan impor. PLN akan membayar Rp103 juta lebih per bulan sehingga modal investasi akan kembali dalam waktu 50 bulan atau 4 tahun 2 bulan,” urainya.
Apalagi di Bali dimana memiliki 716 desa dan 400 diantaranya memiliki PLTS masing-masing dengan kapasitas 0,25 MW maka akan dihasilkan 100 MW dengan tagihan PLN sebesar 400 X Rp103.125.000 = Rp40.312.500.000.
“Besaran ini cukup membuat ekonomi pedesaan menggeliat signifikan berbarengan terbangunnya gaya hidup atau electric minded di pedesaan,” ujarnya.
Dia membandingkan, seperti negara Malaysia dimana PLTSnya berkapasitas 4 KWh FITnya 1,49 ringgit per KWh setara 33 sen dollar untuk waktu 21 tahun menghasilkan 400 KWh per bulan. “PLN Malaysia membayar 596 ringgit per bulan dengan modal investasi 13 ribu ringgit per kW jadi total investasi 52 ribu ringgit dan modal kembali dalam waktu 7 tahun 2 bulan, apakah Indonesia mau tertinggal dengan Malaysia,” tanyanya. Sementara PLN kita belum akibatnya mereka sudah maju, Thailand sudah punya 3500 mega watt dari PLTS. Indonesia punya berapa 142 mega watt gak sampai 1000 ini membuktikan kita ini tertinggal dalam menggunakan sang surya,” tandasnya.
Bahkan, negara terdingin seperti Rusia sudah memakai PLTS sebanyak 5 unit. Sementara Indonesia kok malah ketinggalan dan dia menyayangkan orientasi pemerintah yang hanya masih mencari investor-investor yang menguntungkan. Karena itu dia mengajak seluruh komponen untuk menghidupkan Bumdes. Dalam format Bumdes dan Bumda dengan syarat dari Kementerian ESDM dirasakan rakyat akan berusaha atau berbisnis daya listrik PLTS daya listrik akan melimpah hingga ke seluruh tanah air sesuai dengan amanat Pancasila sila ke 5.SIA-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.