Kisah dan Makna Patung Titi Banda Ikut Parade Denfest
Denpasar (Metrobali.com)–
Patung Titi Banda kini telah menjadi ikon baru Pemerintah Kota Denpasar. Patung yang berdiri megah di Pintu Masuk Kota Denpasar dari arah timur tepatnya di pertigaan jalan by pass Ngurah Rai – By Pass Ida Bagus Mantra mengisahkan tentang perjalanan Rama yang ingin menjemput istrinya dari cengkraman Rahwana di negeri Alengka. Rama yang diiringi pasukan kera harus membuat jembatan untuk bisa sampai ke Alengka. Jembatan inilah yang dinamakan Titi Banda. Kisah yang diambil dari epos ceritra Ramayana ini ikut diparadekan pada pembukaan Denpasar Festival 7 di titik nol kilometer Patung Catur Muka, Minggu (28/12) lalu. Pada parade tersebut Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra juga sempat menanda tangani prasasti Patung Titi Banda yang ikut diarak dalam parade tersebut. Kisah ini dipentaskan dalam parade pembukaan Denfest 7 yang di bawakan oleh anak-anak dari SMA Negeri 4 dengan penuh penghayatan.
Diceritakan Sri Rama yang hendak menyelamatkan istrinya Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana dan dibawa ke Negeri Alengka. Saat para tentara kera dan Sri Rama bersiap-siap menuju Alengka mereka harus berhenti karena terhalang oleh luasnya lautan yang membentang di hadapan mereka. Oleh sebab itu Dewa Baruna menyarankan kepada Sri Rama agar para wanara (pasukan kera) membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau mengurangi kedalaman lautan. Pada saat itu di tunjuklah Nila salah satu pasukan kera sebagai arsitek yang dibantu oleh Panglima Kera Hanoman berserta jutaan kera untuk menimbun lautan dengan batu karang serta menggunakan batu dan pasir apung, sehingga sebuah jembatan dapat terselesaikan dalam waktu yang relatife singkat. Dan jembatan itu pun kemudian di beri nama “Jembatan Titi Banda”.
Patung Titi Banda ini didesain dengan konsep pendekatan budaya dan kental serta sarat dengan makna, dimana ada nilai kegotong royongan dan ada nilai kesetiaan dalam cerita ini. AD-MB
1 Komentar
Sangat diapresiasi upaya mewujudkan nilai-nilai budaya Bali dalam wujud fisik/ekspresi monumen patung, dalam hal ini “Patung Titi Banda”, yang berubah dari tema sebelumnya “Kumba Karna Lina” (konon satu-satunya Raksasa yang masuk sorga) sesuai tema patung-patung ephos “Ramayana” yang dibuat di Kota Denpasar, sedang di Kabupaten Badung adalah ephos “Mahabharata”.
Sebagai arsitek yang pernah menangani beberapa patung serupa di Bali (Badung, Denpasar, Gianyar) ijinkanlah saya berbagi pengalaman untuk kesempurnaan karya-karya selajutnya.
Ditinjau dari faktor jarak pandang dan skala wujud patung, sudah terjadi “out of human proportion”. Walupun wujud patung secara partial/figur/sosok individu/patung bagus, tetapi secara keseluruhan tidak semua keindahan komponen monumen patung ini dapat ternikmati dengan baik dan nyaman, terutama dalam kondisi naik kenadaraan/sebagai driver/penumpang di depan. Skala proporsi figur patung tidak seimbang satu dengan yang lainnya, wujud Rama terlalu besar dipanding Sang Nala/Sang Hanoman atau yang lainnya. Dalam kondisi terusir/mengembara ke hutan pakaian & atribut Rama semestinya pakaian pengembara seperti Rsi, tidak sebagai Raja Ayodya yang memakai Mahkota/Gegelungan dan atribut lengkap, dimana saat itu kedudukan Rama sebagai raja sudah digantikan oleh adiknya Bharata. Hal ini agar kita tidak memberikan penafsiran yang keliru dan tidak logis terhadap pakem/kaidah yang ada, khawatir ditiru oleh generasi kita mendatang. Akan tampak keliru apabila kisah Sang Rama ini ditulis sebagai ceritera yang melengkapi keberadaan patung Titi Banda ini.
Monumen Titi Banda sudah terwujud, hanya dapat dinikmati kelebihan dan kekurangannya dengan iklas.
I Wayan Gomudha