Foto: Penasehat hukum warga Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, saat bertemu warga yang menjadi korban mafia tanah ini Senin (1/7/2019).

Gianyar (Metrobali.com)-

Raut wajah sedih dan trauma mendalam tak bisa disembunyikan Desak Ketut Sukerti, salah satu warga yang tinggal di tanah sengketa di kawasan Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Betapa tidak, ia dan sekeluarga harus rela menerima nasib satu-satunya rumah mereka rata dengan tanah dibuldoser pada tahun 2017 silam. Kini hanya rumah bedeng sederhana, tak lebih dari 3 m x 3 m yang satunya-satunya menjadi tempat berkumpul bersama keluarga, anak-anak dan cucunya tercinta

Sedihnya lagi, sang suami yakni Dewa Ketut Raka Sudarma hingga meninggal dunia karena merasa terkesan dan syok rumahnya tiba-tiba dibuldoser paksa. Hingga maut menjemput, ia pun tak rela rumah dan tanah kelahirannya dirampas mafia tanah.

“Saya sudah sempat bilang ke suami agar jangan melawan, ikhlaskan saja rumah dibuldoser. Tapi suami saya tetap melawan dan akhirnya meninggal pada September 2017. Saya sangat sedih kalau ingat kejadian saat itu,” kata Desak Ketut Sukerti tak kuasa menahan linangan air mata saat sejumlah wartawan menanyakan tentang kondisi rumahnya, Senin (1/7/2019).

Seperti itulah potret kisah mengharukan korban mafia tanah sekaligus ibarat menjadi tamparan telak bagi pemerintah daerah. Sebab di tengah geliat pariwisata Bali khususnya di Gianyar, tenyata ada warga yang mengalami nasib merana, tanpa rumah yang layak lalu menjadi korban mafia tanah pula.

Desak Ketut Sukerti dan keluarga hanyalah salah satu dari total 68 KK dari empat banjar yang tinggal di lahan seluas 40 hektar di kawasan Tegal Jambangan, Desa Sayan ini yang menjadi korban siasat licik dan keserakahan mafia tanah yang “bersekutu” dengan kalangan pengusaha dan investor tamak yang ingin merampas hak warga.

Tanah yang sudah ditempati warga secara turun temurun sejak berabad-abad ini belakangan diklaim telah disertifikatkan oleh pengempon Pura Taman Kemuda Sari Saraswati kemudian dijual kepada sejumlah investor dan perusahaan.

“Dicuekin” Pemerintah hingga Diintimidasi Oknum Aparat

Sayangnya para warga polos dan lugu yang berada dalam cengkeraman mafia tanah ini  juga tidak mendapatkan perlindungan serius dari pemerintah daerah hingga juga aparat penegak hukum.

Cara-cara intimidasi pun dilakukan kepada warga agar mau meninggalkan tanah tempat mereka tinggal dan mencari nafkah untuk menyambung hidup. Bahkan oknum aparat pun dilibatkan pihak mafia tanah dan pengusaha untuk mengusir warga.

“Warga mendapatkan intimidasi sudah biasa. Tapi warga tetap bertahan karena mereka yakin tanah itu hak mereka dan banyak kejanggalan serta rekayasa dalam proses penerbitan sertifikat oleh yang katanya mengaku sebagai pengempon Pura Taman Kemuda Sari Saraswati,” kata penasehat hukum warga, Putu Arsana, Senin (1/7/2019) kemarin saat bertemu warga yang menjadi korban mafia tanah ini.

Arsana bersama warga pun mempertanyakan dimana bentuk perhatian dan perlindungan pemerintah hingga aparat penegak hukum kepada masyarakat yang menjadi korban ini. Bahkan terkesan pemerintah daerah dan penegak hukum tutup mata bahkan bisa saja juga telah “masuk angin”.

“Kami bela masyarakat kecil, harusnya ada pembelaan juga aparat dan pemerintah. Tapi warga seperti dibiarkan tanpa kejelasan,” kata Arsana.

“Dicuekin” KomnasHAM, Nasib Warga Kian Merana

Karena merasa tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah daerah di tanah kelahirannya sendiri, warga pun sempat meminta tolong KomnasHAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) agar ikut memperjuangkan nasib mereka.

Janji manis pun terlontar dari pihak KomnasHAM, tapi nyatanya juga tidak ada aksi konkret yang dilakukan. Warga dibiarkan berjuang sendirian, tertindas melawan ketidakadilan.

“Kami mengadu ke KomnasHAM pada tahun 2015. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan tindak lanjut. Kami sayangkan Komnasham seperti tidak membela rakyat kecil,” kata salah satu warga yang ikut melapor ke KomnasHAM, Dewa Made Suanda (58 tahun).

Pihaknya juga menyayangkan upaya pengusiran paksa dengan membuldoser tujuh rumah warga yang sebelumnya tinggal di kawasan Tegal Jambangan ini.

“Tanpa apa pemberitahuan langsung rumah kami dibuldoser. Warga mau melawan tapi diintimidasi oknum aparat. Ini sepertinya alat negara tidak memihak kami. Warga sampai trauma dan takut berurusan dengan pihak kepolisian,” kata Dewa Made Suanda.

Pantauan di lokasi saat ini sejumlah warga memang masih tinggal di tanah ini. Walau rumah mereka telah hancur dan rata dengan tanah, mereka rela tinggal di rumah bedeng sederhana yang sebenarnya tidak layak huni.

Ada tatapan nanar dan raut kesedihan yang tak bisa disembunyikan dari warga. Namun mereka tampak tetap tegar menghadapi cobaan hidup dan berhadapan dengan pengusaha, investor besar, mafia tanah hingga oknum aparat maupun pejabat yang ikut dalam lingkaran setan praktik mafia tanah yang merampas hak wong cilik ini.

“Kami akan tetap tinggal disini sebab dari leluhur kami sudah  disini selama berabad-abadad-abad. Apalagi kami tidak punya tempat lain, mau kemana lagi kami,” kata Dewa Made Rai (70 tahun) salah satu warga yang rumahnya dibuldoser dan kini ia tinggal di rumah bedeng.

Penerbitan Sertifikat Penuh Rekayasa

Putu Arsana selaku pengacara warga tak menampik jika ada mafia tanah yang bermain dalam kasus sengketa lahan dengan warga yang lugu dan tidak tahu kemana harus meminta pertolongan ini.

“Ini jelas ada indikasi mafia tanah .Saya ingin bongkar dari bawah bahwa ada pemalsuan sertifikat. Faktanya pengempon pura hanya punya bukti tanah 20 are tapi kok terbit sertifikat 40 hektar,” katanya.

“Apalagi juga banyak fakta-fakta yang ditutupi. Jangan masyarakat dihadapkan untuk melawan investor,” imbuh advokat yang sudah lebih dari 12 tahun mendampingi warga Tegal Jambangan memperjuangkan keadilan dan hak mereka.

Hingga saat ini  sebanyak 68 KK dari 4 banjar yang tinggal di kawasan Tegal Jambangan ini masih menuntut kejelasan sertifikat lahan tersebut. Sebab, sejak berabad-abad warga Tegal Jambangan telah tinggal hingga beranak cucu. Warga ini pun sejak dulu rutin membayar pajak.

Arsana menceritakan kasus ini berawal dari sekitar tahun 1970an ada orang suruhan datang dengan modus ingin bantu warga yang belum sertifikatkan tanah. Sehingga warga diminta mengumpul kelengkapan, termasuk diantaranya tanda bukti pembayaran pajak.

Lalu berkas-berkas ini disetorkan di kantor Camat Ubud. Namun berselang 4 sampai 5 tahun tidak ada cerita. Ketika warga meminta berkas, dikatakan hilang.  Lalu sekitar tahun 1990-an, pembayaran pajak dari warga distop. “Tahunya keluar pembayaran pajak duwe Pura. Disini kami yakin mulai ada yang gannjil,” terang Arsana.

Selama bertahun-tahun warga hanya bisa diam, hingga dikejutkan dengan adanya informasi bahwa tanah seluas 40 hektar telah disertifikatkan sejak tahun 2000-an. “Katanya tanah ini sudah disertifikatkan dan dijual oleh pengempon pura. Ada intimidasi, warga gak tahu menahu siapa yang jual siapa yang beli,” jelas Arsana.

Barulah sekitar tahun 2008, warga mendapatkan pendampingan hukum. Berbagai upaya telah dilakukan, untuk menuntut kejelasan status tanah itu hingga juga mendatangi KomnasHAM. Namun hingga kini warga tidak mendapatkan kejelasan. (wid)