Aksi warga Desa Pakraman Karangasem yang datangi Pemkab Karangasem

Karangasem (Metrobali.com)-

Warga perwakilan masing-masing banjar di Desa pakraman Karangasem yang berjumlah ratusan massa, Rabu (28/5/2014) mendatangi Pemkab Karangasem guna mendesak agar pemkab Karangasem tidak memberikan rekomendasi terhadap rencana pengukuhan Desa Adat Seledumi.

 Aksi ratusan warga dari berbagai banjar di Desa Pakraman Karangasem berlangsung cukup tertib. Sebelum melakukan dialog di wantilan kantor Bupati Karangasem, massa yang dikawal oleh aparat kepolisian Mapolres Karangasem ini terlebih dahulu membentangkan puluhan spanduk yang berisi penolakan atas rencana pengukuhan tersebut. Pun perwakilan massa yang terdiri dari keliang masing-masing banjar di Desa Pakraman Karangasem diterima di aula kantor bupati oleh Sekda Karangasem, I Gede Adnya Mulyadi,  didampingi Kadis Budpar I Wayan Purna, Asisten Tata Praja I Ketut Wage Saputra,  Camat Karangasem I Komang Agus Sukasena. Selain itu, perwakilan massa ini diterima  Ketua MUDP  (Bendesa Agung) Propinsi Bali Jro Gede Suwena  Putus Upadesa  dan Ketua MMDP (Bendesa Madya) Kabupaten Karangasem  I Wayan Artha Dipa.

 Dalam kesempatan tersebut, perwakilan Desa Pakraman Kararangasem, I Wayan Bagiarta mengatakan, kedatangan warga se-Desa Pakraman Karangasem ini bertujuan untuk menyikapi adanya surat undangan dari sekretariat daerah untuk membahas permohonan pengukuhan desa adat Seledumi. Namun, mengingat Seledumi masih menjadi bagian dari Desa Pakraman Karangasem, dan Desa Pakraman juga tidak menyetujui untuk memisahkan diri maka krama Karangasem meyepakati untuk  datang bersama ke Pemda.  “Surat undangan dari secretariat daerah tersebut kami bagikan ke masing-masing kelian Banjar adat, dan memutuskan untuk datang ke Pemkab Karangasem, jangan sampai pemkab Karangasem membuat perpecahan di masyarakat,” ujar mantan ketua PHDI Karangasem ini.

 Pun Bagiarta menceritakan secara singkat kronologis Desa Adat Karangasem yang merupakan Desa Adat tua, luas dan terpadat  wilayahnya  di Kabupaten Karangasem dengan 29 pendukung Banjar Adat, menolak pemekaran desa adat Seledumi, untuk melepaskan diri dari Desa Pakraman Karangasem. Penolakan dilakukan karena disamping tidak memenuhi unsur-unsur berdirinya sebuah Desa adat,  selain unsur  pendukung utama yakni  keberadaan krama relatif minim yakni 130 KK.  Dalam kesempatan itu, Pihaknya pun mendesak agar pemerintah tidak  serta merta  memberikan rekomendasi atas permohonan pendirian desa adat. Jika pemerintah sampai mengakui keberadaan pendirian Desa Adat Seledumi  berarti memecah keutuhan Desa Adat Karangasem dan berdampak  merugikan bagi Desa Pakraman Karangasem. “Tidak ada yang namanya Desa Pakraman Seledumi, yang ada hanya banjar Bale Punduk Kaler, Jangan sampai pemkab mengakui keberadaan pendirian Desa Adat Seledumi, karena ini akan menimbulkan perpecahan di masyarakat,” ujarnya lantang.

 Atas desakan itu, Sekda Karangasem I Gede Adnya Mulyadi mengatakan, Pemkab Karangasem tidak ada itikad untuk merestui, melegalisasi atau mengesahkan usulan pendirian Desa Adat, dalam hal ini dari Banjar Adat Seledumi, karena memang tidak berhak dan tidak memiliki kewenangan. Pun dikatakan, yang memiliki kewenangan meresmikan, mengesahkan dan mengakui itu adalah Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali dan setelah disahkan,  pemerintah hanya bersifat mencatatkan setelah menjadi keputusan dari MUDP. “Untuk proses pemekaran menjadi Desa Pakraman itu prosesnya sangat penjang, Pemkab akan mengembalikan surat permohonan pengukuhan yang dilayangkan sebelumnyam kepada pihak Seledumi, karena Pemkab menyadari tidak memiliki kewenangan sama sekali. Dari  hasil pemaparan majelis alit juga tidak akan menyetujui pemekaran seledumi karena persyaratan tidak memungkinkan  seperti persetujuan desa pakraman induk, ketentuan jumlah pedukung,” ujar Adnya Mulyadi dihadapan perwakilan Desa Pakraman Karangasem.

 Sedangkan, ketua MMDP Karangasem I Wayan Artha Dipa mengaku, permohonan pendirian desa adat dari Banjar Adat Seledumi, masih dalam taraf rencana penyelidikan dan bahkan tim pun belum dibentuk, sehingga  belum ada gambaran maupun informasi perihal niat tersebut. Sedangkan kriteria pendirian desa adat sesuai aturan yang ada sangat ketat dan panjang, harus memenuhi unsur-unsur prinsip yang penting seperti adanya wilayah, jumlah dukungan krama, memiliki kahyangan tiga (Pura Puseh, Dalem, Bale Agung), setra dan  persyaratan lain yang juga penting yakni adanya pengakuan atau tidak keberatan dari desa adat   lainnya. “Jadi itu prosesnya masih panjang, karena harus mendapat persetujuan di MUDP Bali, dan MUDP Bali pun tak serta merta langsung menyetujui, dan melakukan pengcekan kelapangan lagi,” ujar Artha Dipa.

 Hal senada juga dikatakan, Ketua MUDP Bali, Jro Gede  Suwena Putus Upadesa yang meminta agar masalah yang muncul di lingkungan  desa adat / pakraman, hendaknya  diselesaikan secara intern terlebih dahulu, dengan  melalui metode  mediasi, diskusi dan muswarah sehingga memperoleh solusi terbaik.  Disamping itu yang terpenting adalah agar awig-awig yang dimiliki  desa adat/pakraman  dijalankan dan dilaksanakan,  jangan langsung menjatuhkan sangsi baik kepada krama maupun secara kelembagaan. “Selesaikan terlebih dahulu dengan mediasi di intern Desa Pakraman, jangan langsung menjatuhkan sanksi,” ujarnya. BUD-MB