Foto : Lailatul Ijtima: Istighatsah dan Kajian Kontemporer mengangkat  tema “Menyikapi Zaman yang Penuh Berita Bohong”, digelar Sabtu (29/9/2018) malam di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Bali.

 

 

Denpasar (Metrobali.com)-

 

Hoaks atau kabar bohong kini bisa bertransformasi menjadi lebih canggih dalam bentuk video berkat adanya teknologi DeepFakes yang bisa membuat video palsu dengan mudah. Hoaks dalam bentuk video palsu ini pun dikhawatirkan semakin marak dan menjadi alat untuk melakukan kampanye hitam atapun pembunuhan karakter dalam kontestasi Pilpres 2019.

 

Demikian disampaikan ekonom yang juga politisi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Bali H.M. Eko Budi Cahyono, S.E.,M.M.,M.H.,yang juga caleg DPR RI dapil Bali dari PKB nomor urut 2, kepada wartawan usai menghadiri acara Lailatul Ijtima: Istighatsah dan Kajian Kontemporer yang mengangkat tema “Menyikapi Zaman yang Penuh Berita”, Sabtu (29/9/2018) malam di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Bali.

 

Eko menjelaskan berkat kemajuan dan kecanggihan teknologi DeepFakes suatu video bisa  direreka ulang atau dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seseorang di video tampak mengucapkan suatu hal yang tidak pernah mereka katakan dalam rekam sebelumnya.

 

Hal itu tentu sangat berbahaya jika video manipulasi ini dilakukan terhadap para tokoh-tokoh bangsa, elite politik dan pimpinan negeri ini. Apalagi kontennya dibuat terkait dukung mendukung salah satu pasangan capres-cawapres ataupun terkait ujaran kebencian dan isu SARA.

 

“Bisa kita bayangkan jika misalnya dibuat video palsu tentang salah satu capres-cawapres mengina kitab suci agama tertentu atau bicara isu SARA. Atau ada video palsu pimpinan parpol di satu kubu dibuat mendukung pasangan capres-cawapres rivalnya. Lalu video seperti itu diviralkan. Maka negeri ini akan chaos, kacau balau,” kata Eko mewanti-wanti.

 

Untuk itu Eko menekankan pentingnya perang melawan berita bohong atau hoaks dalam bentuk apapun karena hal ini sangat mengancam keutuhan bangsa dan negara serta dalam memecahkan belah sesama anak bangsa. Maka salah satunya caranya agar terhindar dari korban hoaks dan menjadi penyebar hoaks adalah dengan bersikap super kritis.

 

Jangan langsung menelan mentah-mentah informasi baik berupa postingan foto, berita online, maupun video di khususnya di media sosial seperti Facebook maupun Instragram termasuk YouTube dan aplikasi chatting seperti WhatsApp.

 

Apalagi berdasarkan temuan riset DailySocial bersama Jakpat Mobile Survey Platform dalam laporannya yang dipublikasikan Agustus 2018 disebutkan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25 persen), WhatsApp (56,55 persen), dan Instagram (29,48 persen).

 

Parahnya, sebagian besar responden (44,19 persen) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks. Mayoritas responden (51,03 persen) juga memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoaks.

 

“Jadi masyarakat harus super kritis, menggunakan nalar, logika ketika terpapar suatu informasi. Jangan langsung percaya tapi crosschek ke sumber-sumber berita yang kredibel. Jangan juga berdiam diri terhadap hoaks. Harus kita lawan bersama dan ingatkan orang-orang di sekitar kita,” saran Eko yang juga pendiri Bali Ekonomi Creatif itu dan juga pernah mengabdi sebagai Tenaga Ahli Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal.

 

Ia mencontohkan video palsu yang dibuat dengan teknologi DeepFakes beberapa kali menghebohkan negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Korbannya pun para publik figur yang punya  daya pengaruh dan massa luas. Misalnya pernah sebuah akun Reddit di akhir tahun 2017 menyebarkan video porno dengan wajah pemeran WonderWoman, GalGadot.

 

Wajah artis asal Israel itu tampak begitu nyata menyatu dengan tubuh artis porno dalam video tersebut, sehingga seolah-olah dia yang memerankan video dewasa itu. Beberapa selebriti papan atas dunia pernah menjadi korban video palsu seperti Taylor Swift, Maisie Williams, Aubrey Plaza, Emma Watson, hingga Scarlett Johansson.

 

Teknologi DeepFakes ini bekerja dengan cara melakukan reka ulang setiap gerakan mulut seseorang di video. Namun salah satu syarat utamanya, DeepFakes harus memiliki dan mengumpulkan cukup banyak sampel data rekaman wajah, video, dan suara agar bisa menirukan dan mereka ulang gerakan mulut dan gestur calon korban yang akan dibuatkan video palsu.

 

“Jadi kita semua harus waspada dengan keberadaan hoaks yang semakin canggih. Maka kita juga harus semakin pintar dan kritis menyikapinya,” tandas pria pria yang juga penulis buku ekonomi bisnis “bestseller” berjudul “Sukses Ada di Pikiran dan Infrastruktur Ekonomi” itu.

 

 

Pewarta : Widana Daud

Editor     :  Hana Sutiawati