Keterangan foto: Sekretaris Jenderal PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana, dalam seminar UGM Talks, Sinergi KAGAMA dan UGM: Membangun Budaya Tatanan Baru Melalui Pengelolaan Perilaku, pada Minggu (12/07/2020) secara daring/MB

Jakarta, (Metrobali.com) –

Terdapat kesalahan persepsi di masyarakat dalan menangkap diksi normal baru (new normal) di masa pandemi Covid-19. Karena yang lebih diingat menjadi memori kolektif masyarakat justru adalah diksi normal dibandingkan pada diksi new (baru) dalam new normal. Jika persepsi itu terbentuk maka hal itu akan bisa kontra produktif bagi upaya bersama untuk pengendalian penyebaran Covid-19.

Karena itu diperlukan methode sosialisasi dan juga edukasi publik yang lebih memahami karakteristik masyarakat dari sisi psikologis, sosiologis maupun juga budaya. Itu artinya dalam adaptasi budaya baru memerlukan pelibatan kolaborasi pendekatan multi disiplin keilmuan. Bukan hanya epidemolog, ahli kesehatan masayarakakat tapi antropolog, sejarawan, ahli bahasa, sosiolog, pakar budaya dan sebagainya. Dengan cara itu protokol kesehatan akan bisa lebih efektif menimbulkan perubahan perilaku dan membentuk tatanan budaya baru dalam masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana, dalam seminar UGM Talks, Sinergi KAGAMA dan UGM: Membangun Budaya Tatanan Baru Melalui Pengelolaan Perilaku, pada Minggu (12/07/2020) secara daring.

Dalam memberi pengantar diskusi ini, kata Ari, menekankan pentingnya interdisipliner. Artinya melibatkan banyak pakar atau ahli dari berbagai ilmu.

Dengan demikian, pengelolaan perilaku memiliki basis yang kuat secara akademik maupun praktik.

“Jika kita bicara tentang pengelolaan perilaku, berarti kita juga bicara soal sejarah wabah, pandemi, dan bencana alam. Ini sebetulnya memuat ingatan kolektif kita terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu dan inilah yang dibangkitkan kembali,” ujar Ari.

Termasuk berbagai pandangan dari para antropolog dan sosiolog, menurutnya sangat penting dalam mempersiapkan masyarakat untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru.

“Jangankan dalam jangka pendek, dalam jangka panjang pun perubahan perilaku membutuhkan suatu kolaborasi antar berbagai disiplin keilmuan. Saya yakin UGM bisa memfasilitasi pembahasan ini,” ungkap alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan UGM itu.

Pendekatan Multi Jalur

Kemudian yang tak kalah penting juga yaitu, membahas strategi multi jalur. Ari mengatakan bahwa, perubahan perilaku memerlukan kombinasi proses pembudayaan dengan edukasi terus menerus yg dikombinasikan dengan penerapan kerangka sistem yang mengkondisikan perubahan perilaku masyarakat.

“Kerangka sistem ini juga berfungsi untuk memastikan masyarakat disiplin menjalankan tatanan baru. Misalnya kerangka sistem di area publik dan ruang-ruang lain, sehingga ruang pembudayaan itu tersedia dengan baik,”

Narasi Optimis

Saat Covid-19 mewabah di Indonesia, masyarakat dihadapkan pada narasi-narasi ketakutan soal penularan penyakit ini, sampai akhirnya menimbulkan risiko stres hingga penurunan imunitas tubuh.

“Narasi ketakutan itu sebetulnya kontraproduktif. Kalau dibiarkan masyarakat juga akan mengabaikan protokol kesehatan. Nah, ini perlu dicari satu narasi yang menjembatani narasi optimisme tapi disertai dengan kewaspadaan,”

Senada dengan Ari, Ketua IV PP KAGAMA sekaligus Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Prof. Paripurna Sugarda, menyampaikan, masyarakat saat ini dituntut untuk tanggap pada cobaan.

Termasuk menguji kemampuan masyarakat dalam memahami situasi, serta mengubah diri sendiri dan orang lain.

“Sebagai kampus terbaik di Indonesia, sudah selayaknya UGM menunjukkan sikap maupun perilaku yang diperlukan dalam tatanan baru ini,”

Parip mengajak seluruh sivitas dan KAGAMA untuk bahu membahu memberi teladan bagi masyarakat, dalam menghadapi berbagai tantangan di masa pandemi Covid-19.