Press conference Bali Kakao International Festival
Denpasar (Metrobali.com)-
Posisi tawar petani kakao Indonesia masih sangat rendah. Hal ini disampaikan Direktur Kalimajari I Gusti Agung Ayu Widiastuti. Menurutnya, posisi petani kakao di Indonesia masih lemah disebabkan oleh beberapa hal antara lain, akses pasar atau ke pabrik belum ada, kualitas dan kapasitas produksi yang masih lemah, pengembangan lahan dan keberlanjutan kakao juga belum maksimal.
“Semua elemen ini menyebabkan posisi tawar petani kakao sangat lemah. Banyak harga kakao dipermainkan oleh para cukong atau tengkulak sehingga petani kakao Indonesia tetap di posisi yang sangat lemah,” ujarnya dalam Press conference Bali Kakao International Festival, di Denpasar, Senin (25/8).Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia sebagaia negara penghasil Kakao nomor 3 di dunia setelah Gana dan Pantai Gading.

“Kita negara penghasil kakao terbesar nomor 3 dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Kualitas produksi pun tidak kalah dengan negara-negara lainnya di dunia. Namun posisi tawar petani kita sangat lemah. Ini sangat memprihatinkan,” katanya yang didampingi oleh Sterring Comitte Subiakto.
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia dari sektor perkebunan, yang memiliki peran penting dalam dinamika ekonomi kerakyatan di Indonesia. Lahan perkebunan kakao pada tahun 2009 tercatat seluas 1.432.558 Ha. dan terus menunjukan kecenderungan peningkatan.
Kurang lebih 95 persen perkebunan kakao dimiliki oleh petani perorangan yang mencakup sekitar 1,7 juta petani di seluruh Indonesia dengan total produksi biji kakao nasional di tahun 2012 mencapai 450.000 ton dan mampu menyumbang sebesar 1,05 miliar US dolar untuk devisa negara dari ekspor biji kakao dan produk kakao olahan di tahun 2012.
Pengembangan daya saing produk kakao diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, yang memerlukan peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.Menurutnya, berangkat dari pengalaman itu, Yayasan Kalimajari yang konsen terhadap komoditas Indonesia melakukan pendampingan terhadap petani kakao. Salah satunya adalah 780 petani di Jembrana yang konsen dengan kakao. Mereka tergabung dalam sebuah koperasi yang disebut dengan Koperasi Kerta Semaya Samaniya di Jembrana. Melalui wadah koperasi tersebut, hasil komoditas kakao dapat diakses langsung ke pabrik dengan harga yang fantastis.

“Kalau semua petani bersatu, maka mereka akan kuat. Kalau bergerak sendiri-sendiri maka mereka akan lemah,” katanya.
Dalam koperasi tersebut, para petani dididik dan dilatih untuk menerapkan sistem pertanian kakao secara berkelanjutan, mulai dari proses produksi hingga pemeliharan dan fermentasi. Harganya meningkat pesat. Bila petani lain dijual dengan harga Rp 10 ribu perkilogram, maka petani kakao di Jembrana dijual dengan harga lebih dari Rp 20 ribu perkilogram.
“Ada selisih harga hingga Rp 2500 lebih perkilogram. Belum lagi kalau merujuk pada harga asli sebesar Rp 40.900 perkilogram,” ujarnya.Sementara Peneliti World Bisnis Indonesia (BWI) Teresia Widiyanti menjelaskan, salah satu posisi tawar petani kakao di Indonesia harus memiliki sertifikat badan standar internasional. Koperasi Kerta Semaya Samaniya di Jembrana Bali sudah memiliki sertifiksi UTZ yang berpusat di Belanda.

“Makanya, dengan mengantongi sertifikat berstandar internasional tersebut, posisi tawar petani kakao di Indonesia terus meningkat. Harga kakao juga meningkat. Bahkan, petani di Jembrana sudah mendapatkan premium harga yakni harga yang diperoleh setelah mendapatkan sertifikat,” ujarnya.
Sertifikat tersebut diperoleh karena telah memenuhi berbagai kriteria sebagaimana yang disyaratkan badan standar internasional. SIA-MB